Oelamasi-InfoNTT.com,- Advokat senior sekaligus Ketua DPC Peradi Oelamasi, Herry F.F. Battileo, S.H.,M.H, sesalkan dirinya diminta keluar saat mendampingi kliennya di Kejaksaan Negeri Kabupaten Kupang, Senin (24/11/2025).
Dirinya kepada media menjelaskan bahwa ini merupakan sebuah skandal hukum yang mempermalukan institusi penegak hukum dan terjadi di Kejaksaan Negeri Kabupaten Kupang. Ini juga bukti arogansi kekuasaan terlihat nyata ketika jaksa secara terang-terangan melarang pendampingan kuasa hukum bagi saksi, disusul pemaksaan terhadap saksi dalam kondisi sakit akut.
Pendiri dan pengawas LBH Surya NTT ini mengatakan bahwa pelanggaran terjadi justru di dalam ruang pemeriksaan Kejaksaan. “Kami sudah masuk ke dalam ruangan bersama klien saya, karena klien dipanggil sebagai saksi. Namun begitu saya akan mendampingi klien, jaksa secara tegas menyatakan keberatan,” ujar Herry Battileo.
Yang lebih memprihatinkan, kata Herry, jaksa menyampaikan alasan yang secara hukum tidak berdasar. Jaksa dengan yakinnya mengatakan bahwa tidak ada dalam normatif yang memperbolehkan saksi didampingi penasihat hukum. Ini pernyataan yang sangat menyesatkan dan menunjukkan buta hukum yang parah.
“Pernyataan jaksa tersebut memicu perdebatan sengit di dalam ruang pemeriksaan. Saya tegaskan bahwa hak pendampingan Penasehat hukum bagi saksi dijamin oleh undang-undang. Namun jaksa bersikukuh pada pendiriannya yang keliru. Saya kemudian diminta untuk menunggu di luar ruangan, namun saya menolak untuk meninggalkan klien sendirian. Sebagai penasehat hukum, saya bertanggung jawab untuk memastikan hak-hak hukum klien terlindungi,” tegasnya.
Sebagai praktisi hukum senior yang juga memimpin berbagai organisasi hukum dan media, Herry menjelaskan kekeliruan fatal pernyataan jaksa, yakni Pasal 65 KUHAP secara tegas menyatakan Saksi mengajukan permintaan kepada penyidik atau penuntut umum atau hakim supaya ia dalam memberikan keterangan didampingi oleh seorang penasihat hukum.
Selanjutnya, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menegaskan dalam memberikan keterangan, Saksi berhak didampingi oleh pemberi bantuan hukumnya, dan Pasal 5 UU Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum menjamin hak setiap orang untuk memperoleh bantuan hukum.
Menurutnya, klaim jaksa bahwa tidak ada dalam normatif adalah bukti ketidaktahuan hukum yang memalukan. Justru yang terjadi adalah sebaliknya – hukum secara jelas dan tegas mengatur hak pendampingan ini.
Herry menuturkan, setelah perdebatan hukum tersebut, kondisi kesehatan kliennya semakin memburuk. “Klien saya sudah mengeluh sakit kepala sejak dari rumah, dan setelah perdebatan yang menegangkan di ruang jaksa, kondisinya semakin parah,” ungkapnya.
Meskipun telah disertai surat keterangan sakit dari RSUD Naibonat yang mendiagnosa Hipertensi Urgen dan Cephalgia, tekanan dari jaksa terus berlanjut. “Bahkan saat klien sudah dalam perawatan rumah sakit, jaksa masih memaksanya untuk kembali diperiksa,” jelas Herry.
Herry menyampaikan evaluasi pedas terhadap kompetensi jaksa, bahwa kekeliruan Hukum mendasar yakni Jaksa tidak memahami ketentuan dasar KUHAP dan UU Perlindungan Saksi yang menjadi landasan kerjanya. Arogansi Institusional: Lebih memilih bersikukuh pada kekeliruan daripada mengakui kesalahan dan belajar.
Ia menambahkan bahwa jaksa juga mengabaikan etika profesi dengan melanggar Kode Etik Penuntut Umum yang mewajibkan penghormatan terhadap hak hukum warga.
“Kejadian ini mempertanyakan kualitas rekrutmen dan pendidikan jaksa di Indonesia. Bagaimana mungkin penegak hukum tidak memahami hukum acara yang menjadi pedoman kerjanya. Ini juga menjadi preseden buruk karena menciptakan pola pelanggaran hak-hak saksi yang sistematis, serta merusak Keadilan prosedural, yang mana mengabaikan prinsip due process of law,” jelas Herry Battileo.
Dirinya memastikan akan melaporkan pelanggaran ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Yudisial. Ini bukan lagi sekadar perselisihan pendapat, tetapi sudah menjadi pembangkangan terhadap hukum oleh penegak hukum itu sendiri. Harapannya agar Kajari oelamasi dan Kajati NTT lebih intens dalam lakukan pembinaan kepada bawahannya.
Sedangkan Kepala Kejaksaan Negeri Kabupaten Kupang, Yupiter Selan, S.H.,M.H, yang dikonfirmasi menegaskan permintaan untuk advokat keluar karena dalam tahap periksaan saksi sehingga tidak wajib didampingi Penasehat Hukum.
“Jika sudah tersangka baru wajib didampingi penasehat hukum,” ujar Kajari Yupiter Selan.
Ia menambahkan juga bahwa pendamping saksi dalam perkara tindak pidana tertuang dalam RUU KUHAP yang baru, namun belum berlaku hingga saat ini.
Laporan: Chris Bani
