Kupang-InfoNTT.com,- Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi NTT menerima kunjungan Livingstone Ratu Kadja dan tim yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Peternak Sapi dan Kerbau (HP2SK) NTT, beberapa waktu lalu di ruang kerja.
Kunjungan tersebut antara lain dalam rangka mendiskusikan banyak hal terkait tata niaga sapi di NTT yang masih menjadi keluhan berbagai pihak terkait.
Kepala Ombudsman NTT, Darius Beda Daton melalui press realesnya menyampaikan bahwa informasi yang diterima terkait protes para pengusaha sapi di Kabupaten Kupang, TTS dan TTU dengan substansi keluhan seputar pembagian kuota pengiriman dari dinas peternakan kabupaten kepada para pengusaha yang dirasakan tidak adil dan diskriminatif. Ini masalah lama yang terus terjadi setiap tahun dan memerlukan atensi serius dari pemerintah daerah untuk menyelesaikannya.
Darius mengatakan, kepada tim HP2SK NTT, Ombudsman kembali menyampaikan persoalan tata niaga sapi di NTT yang kami kaji sebelumnya sekaligus sebagai konfirmasi kepada pelaku usaha di lapangan.
Ia mengungkapkan, harus proporsionalitas pembagian kuota pengeluaran sapi oleh kepala dinas kota dan kabupaten kepada pengusaha. Tidak adanya formula khusus yang digunakan oleh kepala dinas peternakan kota dan kabupaten guna pembagian kuota pengeluaran sapi bagi pengusaha atau pemohon menimbulkan potensi suap karena monopoli pengusaha tertentu.
“Akibatnya bisa saja terjadi rekomendasi bodong alias pengusaha pemegang rekomendasi dari dinas peternakan ternyata tidak memiliki sapi dan sebaliknya yang memiliki sapi tidak mendapatkan rekomendasi dinas dengan alasan kuota habis atau alasan lain. Lalu pemegang rekomendasi yang tak punya sapi menjual rekomendasinya kepada pengusaha lain yang memiliki sapi dengan tarif tertentu,” ungkapnya.
Darius juga menyampaikan bahwa dugaan fee kepada pemberi rekomendasi pengiriman dengan besaran tertentu dan petugas teknis yang melakukan pemeriksaan kesehatan dan timbang hewan di ranch/kandang yang ditunjuk dengan besaran tertentu Bu/ranch/kandang sebelum rekomendasi diterbitkan dinas peternakan kabupaten.
Selanjutnya, adanya dugaan fee yang diberikan kepada pemberi rekomendasi dan tim teknis pemeriksaan kesehatan dan timbang hewan adalah dalam upaya meloloskan sapi yang belum memenuhi kriteria berupa sapi jantan dewasa dengan berat 275 kilogram (kg) per ekor sebagaimana Peraturan Gubernur NTT Nomor: 52 Tahun 2003.
“Selain itu ditengarai rekomendasi pengiriman masih ada yang terindikasi bodong karena diterbitkan atas sapi yang sama yang sebelumnya sudah diperiksa oleh tim teknis dari dinas peternakan kabupaten lain,” ujar Darius.
Hal ini, menurutnya, bisa saja terjadi karena tidak dilakukan penandaan atau eartag pada sapi yang sudah diperiksa dan dinyatakan memenuhi syarat.
Darius juga memastikan, kenyataan menunjukan sebagian besar sapi yang berada di Instalasi Karantina Tenau tidak memiliki berat badan minimal 275 kilogram (kg) per ekor. Meskipun semua pihak sama memahami bahwa penyusutan berat badan bisa saja terjadi selama proses pengiriman ke instalsi karantina berlangsung.
“Kepada tim HP2SK saya menyampaikan akan melakukan uji petik berat badan sapi ke instalasi peternakan Balai Karantina Tenau guna memastikan kebenaran informasi yang kami terima. Janji itu saya tepati. Pada Senin (14/4) pukul 14.00 wita, saya mengunjungi Balai Karantina Kupang di Tenau. Kunjungan diterima Plt. Kepala Balai Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (BKHIT) NTT, Simon Soli dan tim di ruang kerja,” jelasnya.
Pada kunjungan tersebut, Kepala Ombudsman NTT mendiskusikan banyak hal seputar kewenangan balai karantina dan strategi untuk mencegah terjadi berbagai dinamika pengiriman sapi di NTT, mulai dari pembagian kuota yang adil, ketentuan berat sapi yang dikirim, ranch yang memenuhi syarat hingga ketersediaan holding ground bagi kabupaten penghasil ternak dan pemegang kuota pengiriman terbanyak.
Jika tersedia Holding ground, sebagian permasalahan mungkin bisa terselesaikan. Kunjungan dilanjutkan ke uji petik berat sapi di instalasi. Hasil uji petik menunjukan bahwa banyak sapi di instalasi karantina yang memiliki berat badan mulai dari 225 kg/ekor hingga 260 kg per/ekor.
“Artinya informasi yang kami terima selama ini terkonfirmasi benar bahwa banyak sapi yang dikirim ke luar NTT belum memiliki berat badan sebagaimana 275 kilogram (kg) per ekor sebagaimana Peraturan Gubernur NTT Nomor 52 Tahun 2003. Guna meloloskannya dibutuhkan biaya tambahan yang diduga sebagai fee kepada pemberi rekomendasi dan tim teknis pemeriksaan kesehatan dan timbang hewan,” ungkapnya.
Darius juga menambahkan, sementara Balai Karantina hanya memiliki kewenangan memastikan kesehatan hewan sebelum dikirim dan tidak lagi melakukan timbang berat hewan. Timbang berat hewan hanya dilakukan dinas peternakan kabupaten dan kota masing-masing.
“Mari terus mendukung tata kelola ternak yang lebih bersih, transparan dan adil, demi keberlanjutan sektor peternakan dan kesejahteraan para peternak lokal. Kita dorong semua kepala daerah baru memulainya dengan menata tata niaga sapi agar lebih menguntungkan petani peternak. Dengan demikian mereka lebih semangat lagi beternak,” tutupnya.
Sumber: OmbudsmanNTT
Editor: Chris Bani