Pengetahuan tentang kebudayaan telah ada dalam komunitas hidup bersama (komunal) di dalam masyarakat. Bila bertanya pada masyarakat awam, apakah kebudayaan itu? Atau lebih ringkas apa itu budaya? Orang akan segera merujuk contoh-contoh produk dan Tindakan budaya seperti tarian, lagu daerah, pakaian daerah, hukum adat perkawinan, dan lain-lain yang sifatnya etnis yang mendeskripsikan entitas tertentu.
Para ahli membuat rumusan kebudayaan itu sebagaimana dikutip dari detik.com[1], sebagaimana saya kutipkan pandangan Roger M. Keesing (1935-1993), Koentjaraningrat (1923-1999), dan pandangan Moh. Hatta dalam satu kesempatan. Berikut kutipan pandangan dari ketiganya.
- Roger M. Keesing (1935-1993)
Roger mendefinisikan makna kebudayaan melalui dua pendekatan, adaptif dan ideasional. Kebudayaan menurut pendekatan adaptif merupakan kontes pikiran dan perilaku. Sedangkan, menurut pendekatan ideasional kebudayaan adalah semata-mata sebagai konteks pikiran. - Koentjaraningrat (1923-1999)
Antropolog asal Indonesia ini mendefinisikan kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan cara belajar. - Mohammad Hatta
Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia (RI), Moh Hatta mengatakan, kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Dikutip dari buku Sejarah & Kebudayaan Islam Periode Klasik (Abad VII-XII M) oleh Faisal Ismail, Moh Hatta yang dikenal sebagai lulusan sarjana Muslim tersebut memasukkan agama sebagai unsur kebudayaan. Menurutnya, dengan beragama manusia akan hidup dengan senang. Rasa senang yang muncul akibat agama itulah yang membuat bapak proklamator kemerdekaan ini memasukkan agama sebagai bagian dari kebudayaan.Pendapat tersebut disampaikan Hatta dalam Kongres Kebudayaan Pertama tahun 1948 di Magelang. Berikut cuplikan pidato Hatta:“Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu bangsa. Kebudayaan banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia atau bukan. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan karena dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakan agama adalah bagian daripada kebudayaan…”
Konteks tulisan ini saya tidak sedang hendak berteori, tetapi mengingat pada zaman digitalisasi, dimana dunia ilmu pengetahuan, teknologi, seni berkembang amat sangat cepat. Akselerasi perkembangan itu menjadikan insan yang menerima, mendalami melalui belajar dan diajar, belum tentu dapat segera mengimplementasikannya. Sementara di sisi lain, produk kebudayaan yang sifatnya lokal mulai terdegradasi dan digerus. Produk kebudayaan lokal digerus dan digeser ke samping dan ke belakang, hingga ditinggalkan sebagai barang usang dan ketinggalan zaman. Padahal, dalam produk-produk kebudayaan yang demikian itu justru sarat makna dan nilai.
Kebudayaan sebagai ciptaan manusia dari akal budi dan pengertiannya, di sana terlihat sesuatu yang sifatnya abstrak dalam imajinasi, selanjutnya dilafalkan, diujarkan, diutarakan dalam versi ujaran terdengar, dan terlihat hingga terbaca. Maka, lahir kata, frasa dan kalimat bermakna yang dapat diwujudkan dalam produk tertentu.
Mari menyebutkan seperti: berladang, beternak, nelayan, dan lain-lain. Seseorang atau satu komunitas peladang hanya dapat mewujudkan imajinasi tentang ladang yang abstrak setelah dipercakapkan dan kemudian dilaksanakan di lapangan. Hal itu berawal dari olah pikir hingga olah rasa dan raga yang menghasilkan ladang. Ini produk budaya. Bagaimana dengan yang lainnya? Semuanya berawal dari abstraksi dan imajinasi akal manusia.
Produk kebudayaan itu sendiri dalam wujud karya intelektual: artistic bernilai keindahan (seni dalam segala nuansa produknya), konstruktif (berbagai model bangun dari yang sederhana hingga yang kompleks), dan lain-lain. Produk-produk kebudayaan ini terus berkembang seiring dan seturut perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang dikembangkan oleh para pemikir (ahli/pakar/ekspert).
Produk yang makin maju, menyebabkan hanya produk sebelumnya yang dianggap dan diterima sebagai produk kebudayaan, dan selanjutnya didegradasi dalam olah pikir bahwa produk artistic (seni) sajalah yang disebut produk kebudayaan. Maka, tidak mengherankan, ketika orang mulai berkutat hanya pada seni: Tari, Lagu daerah, Tenunan, dan Ketrampilan-ketrampilan lokal. Semua inilah yang dianggap dan diterima sebagai kebudayaan.
Kembali ke judul. Ketika memasuki bulan Agustus 2022 ini, seorang sahabat mengirim pesan WhatsApp yang isinya meminta kesediaan saya menjadi bagian dari upaya pelestarian produk kebudayaan, khususnya seni (berkesenian). Saya menyanggupinya dan bersedia menjadi bagian kecil di dalamnya. Kami berdiskusi, lalu tiba pada permintaan agar ada tema yang dapat diangkat, ditampilkan dan disajikan pada forum persiapan menuju perayaan hari Proklamasi Kemerdekaan NKRI tahun 2022 ini.
Menurut Surat Edaran Sekretariat Negara[2] Nomor: B-620/M/S/TU.00.04/07/2022, tanggal 12 Juli 2022, tentang: penyampaian tema, logo dan partisipasi menyemarakkan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 2022, di sana pemerintah menyampaikan secara gamblang hal-hal yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk dan wujud peringatan Proklamasi Kemerdekaan NKRI dari masayarakat.
Di tingkat Pusat, Provinsi, Kabupaten, Kota dan Kabupaten, hingga kecamatan dan desa/kelurahan, pemerintah dan masyarakat akan melaksanakan perayaan itu dalam koridor aturan sambil tetap awas pada pandemi covid-19.
Point saya pada artikel ini tentang kebudayaan yang hendak dilestarikan, salah satunya dengan kegiatan perlombaan. Dalam rangka perayaan Proklamasi Kemerdekaan NKRI, setiap tahun, termasuk tahun 2022 ini, sangat sering kegiatan yang bersifat perlomaan itu yakni kesenian yang diterima dan diasumsikan sebagai kebudayaan. Jenis lomba itu antara lain: Paduan Suara, Karaoke, Menari (kelompok kecil dan besar), dan lain-lain. Semua jenis lomba yang dikemas dalam nuansa berkesenian ini diarahkan untuk pelestariannya. Hal ini untuk mencegah sikap dan perilaku meninggalkan dan membuang produk-produk kebudayaan ini dari insan pemiliknya.
Tema sebagaimana yang saya tempatkan pada judul ini yakni Tateek ma tahake’, tateut ma ttuna’ harat, haran pah ma haran nekaf; diterjemahkan secara ringkas, Restorasi Budaya. Ini maksudnya sebagaiberikut:
- Bahwa produk-produk kebudayaan dalam pengertian sempit seperti berkesenian telah mulai tergerus zaman. Kawula dan generasi dari zaman ke zaman selalu akan beradaptasi dengan produk baru pada zamannya. Akibatnya, produk-produk kebudayaan (dhi.berkesenian) sudah mulai digeser hingga ditinggalkan.
- Menggali dan menempatkan produk-produk kebudayaan yang “usang” namun bernilai pada konteks waktu zaman ini dengan memberi tambahan-tambahan yang tepat dengan tidak menggeser nilai dan maknanya.
- Mengusahakan pelestarian produk-produk kebudayaan (dhi.berkesenian) dengan perlombaan. Di dalam dunia pendidikan, diharapkan ada pembiasaan dalam pembelajaran agar semua produk berkesenian tetap terjaga dan tetap menjadi milik dari pemilik generasi zaman ini untuk diteruskan pada generasi berikutnya.
Demikian yang dapat saya tulis. Kiranya artikel ini ada manfaatnya. Tuhan memberkati upaya pelestarian bahasa dan budaya di tengah gencarnya gempuran budaya asing, dan kecenderungan untuk menerima tanpa filter karakter bangsa.
[1] https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5725690/5-pengertian-kebudayaan-menurut-para-ahli
[2]https://www.setneg.go.id/view/index/peringatan_hari_ulang_tahun_ke_77_kemerdekaan_republik_indonesia_tahun_2022
Penulis: Heronimus Bani