Kesedihan antara Kewajaran dan Kewajiban
Sepenggal Pengalaman dalam Januari 2022
Sungguh naif bila seseorang yang amat sangat dikasihi meninggal dunia lantas tidak ada rasa duka, pilu dan sedih. Sangat humanis bila orang berduka, merasakan kepiluan dan kesedihan yang sangat mendalam. Di banyak tempat dapat saja dalam waktu yang bersamaan atau berurutan waktunya, ada orang meninggal dunia. Hal ini terjadi di desa Nekmese, Amarasi Selatan sampai pertengahan bulan Januari 2022 ini sudah ada 6 orang yang meninggal dunia. Di antara 6 orang ini ada seorang kanak perempuan berumur 2 tahun lebih. Betapa dapat dibayangkan hancurnya hati pasangan kekasih yang masih menimang kanak perempuan mereka pada hari-hari sebelumnya dimana ia sehat, bergirang di antara teman sepermainan. Ia bermanjaan di pelukan ayahnya, lantas tiba-tiba jatuh sakit yang tiada sempat tiba di fasilitas kesehatan, ia menghembuskan nafas terakhir. Pernyataan meninggal dunia pun merebak dan tangis menyeruak di jagad desa ini. Pada saat yang sama masih ada yang menjaga jenazah dari seorang bapak yang meninggalkan isteri dan 4 orang anak gadis. Dua hari sebelumnya seorang bapak meninggalkan isteri, 2 anak laki-laki, dan 4 orang anak gadis. Lalu, seorang nenek meninggal di perjalanan pulang ketika anak-anaknya terpaksa merasa wajib membawanya pulang karena harapan hidup sangat-sangat tipis ketika mereka mengetahui hal ini dari paramedis di Rumah Sakit. Paramedis tak dapat menahan lagi keinginan anak-anak yang sudah dewasa, mereka dapat memutuskan yang terbaik pada ibunda mereka. Tangis merebak di perjalanan. Kemudian pada Jumat (21/01/21) seorang kakek menarik dan menghembuskan nafas terakhir. Pengalaman-pengalaman ini mungkin saja berkemiripan dengan pengalaman sesama umat manusia di berbagai tempat di belahan bumi ini ketika berhadapan dengan peristiwa dimana seseorang meninggal dunia.
Berkisah dalam kesedihan sebagai Kewajaran
Saya sungguh tidak terkejut manakala orang yang menjaga jenazah, ada di antaranya yang menangis secara luar biasa. Dalam budaya Atoin’ Meto’ (di Pah Amarasi) orang menyebutkannya dengan istilah nain, nsiun ma nteek. Proses yang demikian terlihat dan terdengar dimana seseorang menangis sejadi-jadinya sambil berbicara. Nada dan dinamika suara tangisannya mendayu, naik-turun bagai sedang berbirama. Bila hal itu dilakukan dalam satu rombongan terdengar bagai paduan suara tanpa proses latihan sebelumnya. Ada kesan indah dari sudut pandang estetika dan artistik. Kata-kata yang diucapkan dalam nada dan dinamika suara tangisan itu sangat metaforis sehingga tidak semua pendengarnya dapat memahami. Mengapa? Karena dengan pendekatan metafora sesungguhnya ada cerita yang mengesankan yang tidak hendak dibuka seterang-terangnya. Budaya tangisan seperti ini disebut dengan nama lain an’auk kurut-kaet (Uab Meto’ Amarasi)
Masing-masing etnis di Nusantara ini tentu memiliki pendekatan yang saling berbeda untuk menyatakan dan mengejawantah rasa bersedihnya. Menangisi jenazah sebagai suatu caranya. Bercerita tentang segala kesan baik merupakan suatu cara pula.
Seorang anak menghibur ibunya yang sedang dalam kesedihan mendalam. Anak ini berada di tempat tugasnya yang di suatu kota yang tidak sepulau dengan ibunya. Ia mengirim pesan melalui WhatsApp untuk menyampaikan ucapan selamat pada ibunya yang bersua lagi dengan tanggal kelahirannya yang ke sekian kalinya. Ia tidak lupa menyampaikan terima kasih karena telah menjadi ibu untuk dirinya dan saudara-saudara sekandungannya. Lalu, di akhir ucapan selamat dan terima kasih itu, ia ingatkan ibunya yang masih bersedih karena kehilangan ayahnya (kakek dari anak ini dan saduara-saudaranya). Ia berkata, “Bersedihlah kalau memang itu belum bisa diterima dengan baik. Opa tahu mama sangat sayang Opa. Opa tahu itu sangat tahu. Mama, tetap kuat.” Sang ibu masih terus bersedih. Ia belum dapat sampai pada titik akhir kesedihannya. Ia dan saudara-saudaranya telah menjadi piatu (ditinggal ibu) dalam rentang waktu yang lebih dari 2 dasawarsa. Selama 20-an tahun itu mereka sebagai sesama saudara sekandungan berada di bawah bimbingan seorang ayah, yang sekaligus bertindak sebagai ibu. Suatu hal yang tidak mudah, bukan? Lazimnya seorang ibu (janda) lebih mampu menjadi melakoni peran ganda itu, menjadi ibu dan sekaligus ayah (singgle parent double functions).
Banyak kisah di sekitar rasa sedih atas kematian orang-orang tercinta. Kesedihan dari istana kerajaan, kesultanan, kepresidenan dan lain-lain. Kesedihan di kastil-kastil para bangsawan, di rumah supermewah milik para “sultan” modern, para konglomerat, birokrat, teknokrat, manusia kelas menangah hingga kesedihan di gubuk-gubuk reot milik kaum miskin papa. Tidak ada yang dapat membendung rasa sedih itu karena orang-orang yang dikasihi meninggal. Ia akan mendapatkan upacara penghormatan secara luar biasa istimewa hingga yang paling sederhana sekalipun satu kepastian saja yakni, jasadnya akan hilang dari pandangan mata. Bila ada upacara penguburan dengan pendekatan yang memungkinkan jasadnya dapat dilihat sekalipun, itu tidak akan mengubah nuansa padanya sebagai sesuatu yang menghibur. Justru seringkali hal itu akan menimbulkan kenangan yang membangkitkan kembali emosi jiwa untuk bersedih pada mereka yang mempunyai koneksi keakraban tiada taranya.
Menangisi dan Menguburkan Jenazah sebagai Kewajiban
Pernahkah Anda mendengar pernyataan sebagaimana sub judul ini? Pasti tidak demikian adanya. Kita tidak ada kewajiban untuk menangisi jenazah. Tetapi, menurut cerita, pada masa lampau di pedalaman Timor, orang harus menangisi jenazah. Mereka yang berhubungan langsung dengan orang yang meninggal, jenazahnya wajib ditangisi. Setiap rombongan keluarga yang datang, wajib menangis, dan disambut dengan tangisan pula oleh mereka yang sedang menjaga jenazah.
Rombongan keluarga dari kampung-kampung sekitar akan membawa bawaan yang disebut nsuu ma nroi (menjunjung dan memikul) atau ada yang menggunakan kata lain, nasaah ma nfiit (memanggul dan menjinjing). Maksudnya rombongan itu selain membawa suara duka dalam tangisannya sebagai suatu kewajiban, mereka pun membawa tanda turut berduka yakni sejumlah barang bawaan untuk melakukan “pesta” dukacita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga. Wujud bawaan itu yakni: seekor ternak babi yang dapat dikonversi menjadi daging, dan beras yang dikonversi menjadi nasi. Ini semua sebagai bawaan, di samping yang diberikan sebagai “hadiah” dan “kenangan” yang disebut sofi.
Tangisan sebagai kewajiban ini baru akan berakhir setelah jenazah benar-benar telah tiada dari pandangan mata.
Apakah budaya yang demikian masih ada? Budaya mewajibkan menangisi jenazah sudah mulai tergerus zaman. Orang mulai berpikir tentang kesia-siaan menangisi jenazah. Kewajiban diarahkan kepada bagaimana menyiapkan upacara penguburan secara bermartabat. Dalam agama apapun, melakukan upacara penguburan jenazah menjadi penting untuk mendapatkan perhatian. Upacara penguburan yang disiapkan secara baik menggambarkan kesiapan mereka yang berkabung (bersedih). Upacara penguburan itu terlihat di hadapan para pelayat, dirasakan dan dinikmati sedemikian rupa hingga mengesankan kehormatan yang tinggi. Hal-hal pendukung seperti konsumsi bukan menjadi tuntutan utama tetapi kesiapan itu diperlukan menjadi suatu kewajaran dan “kewajiban” moral semata.
Penutup
Banyak kisah sedih atas kematian orang-orang terkasih. Kematian para tokoh yang tercatat dalam kitab suci mana pun akan dirujuk untuk dijadikan materi reflektif, termasuk tokoh-tokoh di dunia sekuler pada waktu dan tempat yang berbeda zaman. Rasa sedih atas meninggalnya orang-orang terkasih, tidak akan berakhir pada etnis manapun. Kesiapsiagaan menghadapinya yang berbeda, baik fisik materil maupun non fisik yang moril dan emosi.