Kesaktian Pancasila Disakiti di lapangan Sepak Bola
Tiga puluh September setiap tahunnya, warga negara dan bangsa Indonesia berkabung atas peristiwa gugurnya kesuma bangsa. Jenderal Anumerta Achmad Yani, Letjen Anumerta R. Suprapto, Letjen Anumerta M. T. Haryono, Letjen Anumerta S. Parman, Mayjen Anumerta D. I. Pandjaitan, Mayjen Anumerta S. Siswomiharjo, dan Kapten Anumerta Piere Tendean. Mereka menjadi “tumbal” dari satu ideologi yang begitu kuat mengakar dan telah mendarah-daging; terinternalisasi sedemikian rupa hingga tak dapat digoyah, Pancasila.
Selain ketujuh patriot bangsa ini, terdapat pula AIP II Anumerta K. S. Tubun dan Kol. Anumerta Sugiyono, serta Ade Irma Suryani Nasution. Entah masih ada lagi korban dengan nisan tanpa nama. Mereka telah gugur bagai bunga bangsa. Darah, tulang dan daging tubuhnya telah terhisapkan ke dalam pori-pori bumi pertiwi. Pangkuan pertiwi basah oleh darah mereka, mendung, air mata dan gemas mencekam dada. Saat dimana semesta Indonesia berduka, hari berikutnya jiwa persatuan, patriotisme, heroisme dan nasionalisme berpadu. Keterpaduan ini menaikkan panji Kesaktian Pancasila. Seluruh antek dan underbow paham di luar Pancasila disatroni hingga ditiadakan.
Produk Hukum Keputusan Presiden selaku Panglima Tinggi Nomor III/Koti/1965 telah menetapkan para korban yang gugur itu sebagai Pahlawan Revolusi dan dianugerahi sebutan anumerta. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 kepada mereka digelari selain Pahlawan Revolusi juga sebagai Pahlawan Nasional.
NKRI terus bergerak maju dengan ideologi Pancasilanya. Rongrongan tiada henti dengan berbagai cara dan metode agar kelak dapat disusupkan kepada individu atau institusi, namun nyaris selalu gagal karena internalisasi nilai-nilai Pancasila pada warga bangsa ini makin kuat. Pada individu tertentu dalam komunitas tertentu mungkin mudah menerima ideologi dan paham lain, namun mayoritas warga bangsa ini tak hendak bergeser dari Pancasila. Maka, Pancasila makin sakti dari generasi ke generasi, sambil terus eling dan waspada agar tidak lengah pada penyusupan ide dan paham yang belum rela menerima Pancasila.
Karakter nasional yang berlandaskan Pancasila terus digemakan dan diinternalisasikan kepada segenap warga bangsa di seluruh lapisannya dan pada berbagai institusi formal dan non formal; pada organisasi kepartaian, kepemudaan, kepramukaan, keperempuanan, kemasyarakatan, sekolah, dan lain-lainnya. Semuanya merindukan agar Pancasila sebagai ideologi tidak lagi dirongrong dari dalam bangsa ini, sambil memperkuat ketahanan agar ideologi luar pun dapat ditangkal.
Ketika Kesaktian Pancasila terus diperingati dengan harapan karakter bangsa yang sudah dipahami, dimaknai dan diwujudnyatakan dalam sikap dan tindakan warga bangsa ini, ternyata masih ada komunitas-komunitas tertentu mengganggu ketertiban umum dengan gaya yang tak terpuji. Gaya yang menodai ideologi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita baru saja mengalami perkabungan nasional yang diingat setiap tahun (30 September), lalu diikuti kini perkabungan di dunia persepakbolaan Indonesia. Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, Menteri, Gubernur, dan banyak menyatakan berduka ketika akhir pertandingan sepakbola menjadi rusuh dan menelan korban jiwa dengan meninggalnya seratusan supporter dan korban luka berat dan ringan. Betapa sepakbola sebagai olahraga yang sangat merakyat dinodai oleh kerusuhan.
Para pegiat media arus utama, media televisi dan media daring mengulas peristiwa ini dari berbagai aspek. Aspek-aspek ulasan itu beranjak dari latar narasumber seperti pengamat sepakbola, pelatih sepakbola, Ketua Suporter, hingga politisi dan pejabat penyelenggara negara. Semuanya memberikan perhatian pada situasi terakhir di Stadion Kanjuruhan Jawa Timur.
Perintah Presiden, Ir. H. Joko Widodo kepada para bawahannya dan PSSI untuk mengusut tuntas dalang kerusuhan untuk mendapatkan pertanggungjawabannya. Ini bukan tugas yang mudah, namun harus dilaksanakan secara baik agar publik penggemar dan pelaku sepakbola di Indonesia puas dan mulai berbenah lagi. Bahwa akan terulang peristiwa serupa pada masa yang akan datang, hal ini bukanlah harapan dari semua pemangku kepentingan, termasuk penggemar sepakbola aktif dan pasif. Siapakah yang dapat memastikan hal itu tidak terjadi lagi?
Fanasitme berlebihan pada sepakbola khususnya mengagung-agungkan klub kesayangan tanpa memikirkan kepentingan yang lebih luas yakni ketertiban umum, penilaian dan evaluasi dari pihak luar seperti Asosiasi Sepakbola Asia (AFC) dan Federasi Sepakbola Dunia (FIFA). Bahwa hal itu sudah terjadi. Dunia sepakbola Indonesia berkabung, klub-klub dan berbagai asosiasi sepakbola menyatakan turut berduka sambil berharap tidak terjadi lagi. Sekali lagi, siapa yang menjamin akan hal ini?
Kesadaran komunal bahwa nilai-nilai sportivitas yang digaungkan tidak berhenti di mulut ketika diperdengarkan. Nilai-nilai itu mesti mewujud pada sikap dan tindakan. Kemenangan dan kekalahan pada suatu pertandingan olahraga merupakan sesuatu hal yang sudah dipastikan. Kedigdayaan tim kesayangan dengan segudang pengalaman hingga bertabur bintang lapangan, bukan jaminan kemenangan. Bola yang bergulir, menggelinding, melambung, meninggalkan lapangan hingga masuk ke gawang lawan bukan pula yang menentukan kemenangan. Bahwa bila terjadi satu tim (klub) kesayangan dan kebanggaan pada akhirnya harus menelan pil pahit karena kebobolan hingga tak dapat meraih kemenangan, hal itu harus dapat diterima secara sportif.
Di sini, jiwa dan nilai-nilai luhur Pancasila patut dirasakan baik oleh pemain, pelatih, official, wasit, hingga penonton, dan pengurus klub. Keramahan, saling menyapa dan menghormati sebelum dan sesudah pertandingan menjadi kebiasaan mereka. Kebiasaan saja belum cukup, seyogianya menjadi tradisi dan budaya mereka. Di sana supporter mendapatkan edukasi tentang kebersamaan dan kesejajaran di tengah lapangan pertandingan.
Kita berkabung bersama dalam masa perkabungan nasional akibat dirongrongnya Pancasila pada 30 September 1965. Kita telah berkabung pula pada 1 Oktober 2022 akibat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Jawa Timur. Kita ada dalam satu harapan, semoga peristiwa serupa tidak terjadi lagi di masa depan, dunia sepakbola di Indonesia makin berkembang, dan ideologi Pancasila makin mengakar, mendarahdaging pada warga bangsa ini.
Penulis: Heronimus Bani