Oelamasi-InfoNTT.com,- Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan RI ke-80 di Kabupaten Kupang telah usai. Pujian atas kesuksesan acara, terutama partisipasi ratusan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), memenuhi ruang media. Di balik kemeriahan yang terpusat di Oelamasi, ibukota Kabupaten Kupang timbul pertanyaan mendasar: apakah perayaan ini telah merepresentasikan kekayaan topografi dan kemajemukan masyarakat Kabupaten Kupang yang unik?
Kabupaten Kupang bagai miniatur Indonesia. Wilayahnya membentang dari perbukitan yang menjulang, pesisir pantai dan padang savana, hingga pulau kecil berpenghuni maupun tak berpenghuni. Di sini, sungai-sungai berliku dan jembatan-jembatan panjang seringkali menjadi saksi bisu keganasan alam, putus diterjang banjir dan badai. Masyarakatnya pun majemuk, dengan keberagaman etnis, budaya, dan bahasa yang menjadi identitas khas.
Perayaan yang Terpusat: (Bagai) Melupakan Realitas Geografis
Model perayaan yang terpusat atau yang disentralisasi di Oelamasi, ibu kota kabupaten Kupang, secara tidak langsung menarik satu garis “batas” yang agak rumit untuk ditembus oleh sebagian besar masyarakat. Bagaimana dengan warga di pedalaman yang harus melewati jalan berbatu dan berlubang-lubang, menyeberangi sungai, jembatan putus, atau bahkan menempuh perjalanan laut dari pulau kecil hanya untuk merasakan euforia kemerdekaan? Mereka yang sehari-hari berjibaku dengan tantangan topografi, seperti petani di lereng bukit atau nelayan di pesisir, mungkin merasa bahwa perayaan ini terasa jauh, tidak hanya secara fisik tetapi juga secara makna.
Semangat kemerdekaan seharusnya dirayakan dengan cara yang paling relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Perayaan di daerah pesisir bisa berfokus pada festival bahari atau lomba perahu hias. Di daerah perbukitan, acara bisa diisi dengan pameran hasil panen, hasil dari peternakan atau seni-budaya lokal. Tidak dipungkiri bahwa di panggung Oelamasi semua itu ada, namun tentulah dapat disebutkan sebagai keterwakilan semata (representative). Dengan begitu, perayaan ini tidak hanya menjadi hiburan sesaat, tetapi juga medium untuk mengangkat potensi ekonomi dan budaya di setiap sudut Kabupaten Kupang. Bila berkunjung ke pedalaman, di sana terlihat bagai “tanpa euphoria” kemerdekaan. Bendera dikibarkan tanpa “roh”, kampung-kampung yang biasanya rapih dan indah, kini bagai dipaksakan untuk menata keindahan itu. Kemeriahan di pedalaman dan pesisir Pantai sedang dipaksakan.
Menghidupkan Kembali Nilai Kebhinekaan
Kritik ini bukan untuk mengecilkan keberhasilan dan kesuksesan yang sudah diraih, melainkan sebagai ajakan untuk merenung. Perayaan HUT Proklamasi pada tahun mendatang atau tahun-tahun berikutnya sebaiknya (dan seharusnya) dapat menjadi momentum untuk merayakan kebhinekaan yang sesungguhnya. Alih-alih terpusat di satu titik, mengapa tidak merancang serangkaian acara yang menyentuh setiap wilayah? Hal perayaan di kota-kota kecamatan atau bergilir antar desa/kelurahan di tiap kecamatan telah menjadi tradisi di Kabupaten Kupang. Hal ini selalu memberi nuansa merawat kebersamaan, persatuan dan kesatuan, dan terlebih silaturahmi Masyarakat dengan petinggi Kabupaten yang hadir pada momentum itu. Sebutlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kupang yang diutus untuk membacakan teks Proklamasi, ia akan pulang dengan inspirasi selain masa reses yang terjadwal.
Bayangkan jika perayaan ini diselenggarakan secara serentak di setiap kecamatan. Di Kecamatan Fatule’u, yang terkenal dengan gunung batunya, perayaan bisa diisi dengan atraksi budaya, pameran hasil ternak, hasil kerajinan rakyat, dan ragam kuliner dari berbagai masyarakat yang ada di sana. Di wilayah pesisir Sulami dan pulau Semau, bisa diadakan pesta nelayan. Dan di semua Kecamatan Pah Amarasi sudah metrandisi pada zaman kepemimpinan para Uispah dengan pendekatan krira’, dan pengorganisasi ragam pertunjukan. Saya ingat di Lelogama, ada bangunan yang disediakan untuk pameran kerajinan rakyat di halaman Kantor Camat Amfoang Selatan. Ini semua hanya sekadar contoh. Pastilah semua wilayah kecamatan, desa dan kelurahan selalu siap menyambut perayaan hari Proklamasi dengan ragam caranya, namun dalam semangat: nasionalisme, heroism, dan patriotism.
Model ini tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih merata, tetapi juga menguatkan rasa kepemilikan dan persatuan di antara masyarakat yang beragam. Dengan demikian, perayaan kemerdekaan akan benar-benar merefleksikan semangat perjuangan dan persatuan yang tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika, yang terukir nyata dalam topografi dan kemajemukan masyarakat Kabupaten Kupang.
Heronimus Bani ~ Pemulung Aksara