Pengaruh Produk IT dalam Masyarakat Pedesaan Dalam Zaman Digitalisasi
- Latar Belakang dan Konteks Permasalahan
Masyarakat pedesaan sangat beragam komunitas-komunitasnya. Mereka hidup mengelompok dengan memilih suatu tempat yang diasumsikan cocok, tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masing-masing kepala keluarga menata rumah tangganya sendiri, tetapi dalam konteks hidup bersama, ada hal-hal tertentu mereka akan bekerja bersama-sama untuk mendapatakan hasilnya secara bersama dan dirasakan dinikmati secara bersama-sama pula. Mereka akan mengelompok ketika membuka lahan (ladang dan sawah), menanam hingga musim panen tiba. Mereka akan membangun rumah warga, membuka jalan di dalam kampung atau antardesa, dan lain-lain. Semua itu kemudian memunculkan suatu pendekatan yang sangat familiar pada para Sosiolog, gotong royong.
Dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) mengalami perkembangan yang pesat. Masyarakat pada zaman ini mengenal istilah industry 4.0; suatu zaman dimana perkembangan pemanfaatan gelombang elektromagnetik yang tersedia tanpa kasat mata telah dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga orang dapat berkomunikasi atau mengetahui segala informasi hanya melalui sentuhan-sentuhan belaka. Konsumen pengguna dan penikmat hasil dari suatu perkembangan dan perubahan tidak harus berlelah mempelajari sesuatu itu. Mereka cukup dengan menggunakan mesin pencari (search engine), menggunakan kata kunci tertentu (key word), lalu menunggu beberapa saat akan mendapatkan jawabannya. Pilihan tepat ada pada konsumen karena kata kunci telah dikonversi oleh mesin pencari, setelah ia menemukan ia tidak memilihkan sesuatu itu secaara tepat, tetapi ia menawarkannya kepada pencari/konsumen. Inilah kemudahan di zaman industry 4.0 atau zaman digitalisasi.
Mungkinkah masyarakat pedesaan kemudian menyadari akan hal ini agar selanjutnya dalam beradaptasi dengan konteks dan perubahan ini sambil mengupayakan agar jati diri yang khas dari mereka dapat dipertahankan? Padahal Pemerintah Pusat mendorong masyarakat pedesaan untuk memiliki pengetahuan likterasi digital dan memanfaatkannya secara tepat untuk peningkatan kualitas hidup[1]. Ini suatu permasalahan di zaman ini. Masyarakat pedesaan pun tidak akan mampu bertahan ketika akselerasi dan intervensi terus dimainkan setiap saat oleh para muda yang dikategorikan sebagai generasi milenial yang memasuki literasi digital.
Pada tahun 2018 United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) mendefinisikan literasi digital sebagai kemampuan individu untuk mengakses, memahami, membuat, mengomunikasikan, dan mengevaluasi informasi melalui teknologi digital. Sementara Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) pada tahun yang sama menyebutkan literasi digital terdiri atas tiga elemen, yaitu pengetahuan, kompetensi, dan lokus personal. Pengetahuan dan kompetensi artinya individu diharapkan memahami dan mengimplemntasikan konsep literasi digital, sedangkan lokus personal artinya kebutuhan literasi digital individu satu dan lainnya bisa saja berbeda. Japelidi juga mengelompokkan literasi digital menjadi 10 kompetensi, yaitu mengakses, menyeleksi, memahami, menganalisis, membuktikan, mengevaluasi, mendistribusi, memproduksi, berpartisipasi, dan kolaborasi[2].
Akselerasi IPTEKS dan intervensinya pada masyarakat menyebabkan perubahan di berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat pedesaan yang kental dengan kekerabatan, kegotongroyongan dan penerapan hukum adat dalam berbagai dimensinya. Kaum tua dan muda di pedesaan linglung pada kenyataan ini, antara menerima, menolak, secara senyap menerima sambil mengikis budaya sendiri atau benar-benar secara nyata menerima atau menolak. Ini suatu perkembangan yang luar biasa memaksa masyarakat pekdesaan terutama para pemangku kepentingan yakni tokoh-tokohnya untuk segera melakukan adaptasi budaya.
Demikian sekelumit ulasan mengapa judul ini saya pilih, bahwa bila hendak dihipotesakan kira-kira hipotesis itu berbunyi, jika masyarakat menerima atau menolak budaya baru yakni litersi digital dan penerapannya maka akan terjadi perubahan yang mengikis secara perlahan budaya lama masyarakat pedesaan. Apakah hipotesis sederhana seperti ini akan dapat terjawab, tentulah membutuhkan riset. Dalam suatu riset itu membutuhkan banyak hal, antara lain; data, informasi dan teori yang kiranya dapat diacu sehingga mendukung hiptesis seperti itu.
- Identifikasi dan Pembatasan Masalah
Identifikasi mMasalah dalam paper sederhana ini yakni pengaruh intervensi produk IT pada masyarakat pedesaan seperti:
- Kebutuhan atau keinginan belaka bila harus mengikuti trend budaya literasi digital
- Kecemasan pada degradasi budaya lokal
- Kecemasana pada komunikasi dalam bahasa daerah (bahasa lokal) yang mulai ditinggalkan oleh kaum muda
Melihat perkembangan yang terjadi dalam masyarakat pedesaan, khususnya di area sekitar domisili Penulis, yakni Kelurahan Nonbes Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, maka kiranya dapat dirumuskan secara lebih spesifik, Bagaimana Pengaruh Intervensi Produk IT pada masyarakat Pedesaan?
Tujuan dari menulis paper ini yakni menguraikan secara gamblang pengaruh intervensi produk IT pada masyarakat pedesaan.
- Pembahasan
Dewa Ayu Dyah A, peneliti dari Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada Yogyakarta menjelaskan literasi digital penting karena perkembangan teknologi yang semakin cepat. Pada dasarnya teknologi diciptakan untuk memudahkan manusia, tetapi dalam pemanfaatnnya juga menuntut kecakapan penggunanya[3]. Ini suatu pernyataan yang tak dapat disangkal. Masyarakat pengguna yang sudah melek produk IT baik hard maupun soft telah sampai pada kesadaran itu sehingga mereka akan segera “keluar” dari zona manual ke zona digital. Hal ini terjadi karena factor luar yang “menekan” individu dan komunitas. Bernard Raho (2021) dalam bukunya Teori Sosial mencatat bahwa Sekolah Frankfurt mengarahkan kritik masyarakat modern kepada kebudayaan yang menindas individu-individu di dalam masyarakat. Menurut mereka kehidupan yang mendominasi masyarakat modern telah beralih dari bidang ekonomi ke bidang kebudayaan. Karena itu, para ilmuwan sosial dari Sekolah Frankfurt ini ingin memusatkan perhatiannya pada represi budaya atau tekanan yang disebabkan oleh kebudayaan terhadap individu.
Produk IT baik hard maupun soft sebagai ikutannya sebagai satu paket telah menyebar di berbagai negara, baik negara maju hingga negara berkembang; negara besar maupun negara kecil, negara berpenduduk padat maupun negara dengan penduduk dalam jumlah sedikit, dan lain-lain. Perkembangan ini tidak menyasar masyarakat perkotaan, tetapi secara serentak kepada seluruh masyarakat dalam suatu negara. Sementara itu masyarakat yang disasar memberi tanggapan dengan menerima seturut level literasi digital yang diketahuinya, terutama mereka mendapatkannya secara otodidak.
Bila berselancar mencari informasi pada mesin pencari dengan kata kunci tertentu khususnya pada topik yang sedang Penulis bahas ini, ditemukan dampak positif dan negatif[4] adanya pemanfaatan software product dalam jaringan internet. Secara pointer yang ringkas dampak positif dan negatif itu yakni
Dampak Positif
- Mudah dalam komunikasi
- Mudah mencari informasi
- Mudah transaksi bisnis
- Komunikasi tidak terbatas
- Mudah bekerja jarak jauh
- Banyak layanan umum, termasuk layanan pemerintah
- Banyak konten untuk hiburan
- Mengenal budaya baru
- Mendapatkan informasi terkini
- Tempat menghasilkan karya
- Mendapat kenalan baru
Dampak Negatif
- Membahayakan informasi pribadi
- Banyak penipuan
- Pelecehan seksual dan cyber bullying
- Banyak video/gambar terkait kekerasan
- Anti sosial
- Banyak informasi palsu
- Tindak kejahatan
- Konten porno
- Kecanduan internet
- Tidak peka situasi
- Masalah kesehatan
Masyarakat pedesaan, pada awlnya sampai pada pengetahuan dan ketrampilan sederhana memanfaatkan produk IT yang paling mudah dibawa kemana-mana yakni handphone dengan berbagai fitur di dalamnya. Kini mereka sudah sampai pada menggunakan smartphone dengan touch screen yang menyebabkan mereka menjadi makin naik “gengsi”nya. Pada saat yang demikian, kecemasan pada budaya lokal akan digerus termasuk Bahasa lokal (Bahasa daerah) pun turut tergerus.
Komunikasi dengan dunia luar pada orang sesama terlihat sudah kurang memanfaatkan bahasa lokal (Bahasa daerah). Orang mulai meninggalkan Bahasa daerah lalu beralih ke Bahasa yang lebih gaul misalnya untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur mereka akan menggunakan Bahasa Melayu Kupang atau Bahasa Melayu Alor dan lain-lain Bahasa Melayu. Masyarakat pedesaan pun terintervensi dengan pemanfaatan produk IT sehingga mereka pun akan secara tidak langsung meninggalkan Bahasa daerahnya. Hal ini diikuti oleh anak-anak (generasi) mudanya yang lebih cepat beradaptasi dengan produk IT.
- Kesimpulan
Sutu perkembangan dalam dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pasti memberi pengaruh yang terlihat dan terasakan sebagai suatu perubahan. Perubahan itu dapat terkategori sebagai perubahan yang lambat dan atau cepat. Hal ini dapat kita rasakan ketika memasuki abad XXI atau awal milenial ketiga ini. Ketika memasuki era digitalisasi dimana produk IT dengan memanfaatkan jaringan elektromagnetik yang dikonversi ke dalam jaringan seluler dan internet, banyak kemudahan didapatkan sekaligus suatu tantangan dan peluang pada masyarakat. Perkembangan itu tiba pula pada masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan pun terdampak produk IT.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan kebijakan Digitalisasi Nasional dengan mengikuti jargon pembangunan membangun dari pinggir. Itulah sebabnya Kementerian Komunikasi dan Informatika melihat peluang percepatan pembangunan di bidangnya ini ketika pandemic covid-19 terjadi. Hal ini terlihat pada website resminya. Disana disebutkan dari total 83.218 desa dan kelurahan di Indonesia, 70.670 di antaranya sudah terjangkau layanan 4G, dengan demikian masih terdapat 12.548 desa dan kelurahan yang belum terlayani jaringan 4G.
Melihat akselerasi pembangunan di bidang Komunikasi dan Informatika ini, maka besar peluangnya masyarakat di daerah-daerah pedesaan akan segera berada pada perubahan-perubahan yang dipandang dari aspek sosiologis akan memberi dampak pada konteks masyarakat pedesaan itu yakni pergeseran nilai, degradasi budaya hingga ancaman penghilangan kearifan lokal termasuk aspek bahasa daerah.
Kepustakaan
Raho Bernard, 2021, Teori Sosial (Edisi Revisi), Penerbit Ledalero, Maumere
https://www.wartajogja.id/2021/08/bagi-masyarakat-desa-literasi-digital.html
https://www.gramedia.com/literasi/dampak-positif-dan-negatif-internet/
[1] https://www.wartajogja.id/2021/08/bagi-masyarakat-desa-literasi-digital.html
[2] https://aptika.kominfo.go.id/2020/06/urgensi-literasi-digital-bagi-masa-depan-ruang-digital-indonesia/
[3] ibid
[4] https://www.gramedia.com/literasi/dampak-positif-dan-negatif-internet/
Editor: Heronimus Bani