Pengantar
Pemilihan umum Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia akan dihelat pada 9 Desember 2020. Kekuatiran akan munculnya klaster baru penyebaran covid-19 menghantui perhelatan ini sejak pendaftaran dimulai pada tanggal 4 – 6 September 2020. Beberapa daerah kabupaten/kota terdapat hanya satu pasangan calon peserta kontestasi pilkada. KPU di daerah-daerah itu memperpanjang masa pendaftaran.
Dari berbagai pemberitaan, tidak satupun di antara para calon kepala daerah itu berasal dari kalangan guru. Mengapa? Padahal, pergumulan masalah pendidikan yang salah satu di antaranya adalah guru selalu ada, bagai tiada pernah akan berakhir, dan bagai tanpa sentuhan yang signifikan sehingga selalu menjadi topik bahasan di meja kaum pengambil kebijakan.
Tulisan berikut ini merupakan satu untaian refleksi penulisnya yang seorang guru SD di pedesaan. Penulis melihat hal ini dari aspek seorang guru bila berada di jalur politik praktis, terlebih menuju kursi panas yang satu itu.
Balutan Aturan Pilkada Serentak
Pemilihan kepala daerah (provinsi, kabupaten, kota) serentak di Indonesia telah berlangsung di atas dasar aturan, yaitu UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Salah satu pemilukada yang didasarkan pada UU ini adalah pemilukada Gubernur DKI Jakarta yang diselenggarakan pada tahun 2007. Satu lagi UU yang diberlakukan seiring dinamika praktik dan dampaknya dari UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 15 tahun 2011. Pada tahun 2020 ini, Pemilukada serentak diatur dalam UU Nomor 6 tahun 2020 tentang Penetapan Perppu 2 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga UU 1 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Praktik politik di alam demokrasi NKRI terus berlangsung di tataran para pembuat UU. DPR RI pada tahun 2014 sempat mengambil keputusan untuk mengembalikan pemilukada ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat Darah (Provinsi, Kabupaten dan Kota). Hal ini menimbulkan “ketegangan” politik di Senayan. Dampak lanjutannya yaitu, para pihak yang “kecewa” mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Berhubung putusan MK menurut konstitusi adalah final, maka pemilukada tetap dilaksanakan secara langsung dan serentak. Opsi-opsi penataan yang diberikan oleh MK memberi ruang untuk penyelesaikan sengketa pemilukada.
Dalam masa berjalan dimana pemilukada provinsi, kabupaten dan kota, dilaksanakan dengan berpedoman pada aturan-aturan teknis yang dikeluarkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Aturan-aturan teknis itu disebut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Dengan demikian diharapkan penyelenggarannya tertib, tetap waktu dan mendapatkan pasangan-pasangan kepala daerah yang potensil untuk membangun daerah dalam berbagai aspek sesuai visi dan misi dari pasangan yang memenangkan kontestasi itu.
Ketua KPU Pusat mengatakan, untuk pemilukada serentak tahun 2020 ini, terdapat 687 paslon yang mendaftar, dengan rincian 22 paslon untuk pemilihan umum kepala daerah provinsi, 570 paslon untuk pemilihan umum kepala daerah kabupaten, dan 95 paslon untuk pemilihan umum kepala daerah kota. Apakah di antaranya ada dari unsur guru? Jawabannya, tidak.
Mengapa tidak ada Guru yang Mendaftar untuk Kontestasi Pemilukada?
Menjawab pertanyaan ini tentu tidak butuh telaah yang luar biasa. Mana mungkin? Kira-kira begitu saja. Jika ada satu paslon saja yang berasal dari unsur guru, bukankah itu akan menjadi viral pemberitaannya sebagaimana ada selebriti yang turut mengambil bagian di dalam kontestasi ini?
Ya. Mana mungkin ada guru yang secara berani akan keluar dari ruang kelas dan lingkungan sekolah untuk menjadi pejabat publik dalam jabatan tertinggi di suatu daerah provinsi, kabupaten atau kota? Mengikuti kontestasi di ranah politik praktis membutuhkan keberanian dan kapabilitas diri yang dapat diandalkan. Dunia politik praktis di dalam demokrasi ini memberi ruang dan peluang itu, tetapi memasuki area itu bukanlah sesuatu yang mudah, bila belum pernah berada dalam lingkaran kaderisasi.
Lingkaran kaderisasi itu berlangsung di dalam organisasi kepartaian. Menuju organisasi kepartaian secara mudah orang harus mendaftarkan diri menjadi anggota. Mana mungkin seorang guru akan mendaftar menjadi anggota partai tertentu. Ia harus meninggalkan profesinya sebagai guru terlebih dahulu. Menjadi anggota partai tertentu haruslah fokus di area itu sehingga platform kebijakan partai dalam konstitusi dan berabagai aturan partai menjadi pengetahuannya. Ini baru sekedar satu hal yang kasat mata dan sesuai aturan.
Hal lain yang turut berpengaruh ketika harus berada di dunia politik praktis yaitu, kredibilitas dan modal/kapital. Seorang guru yang berada di ruang kelas dan lingkungan sekolah, pasti dipercaya (kredibilitas, credible) oleh peserta didik dan orang tua mereka. Kredibilitas ini diperlukan sehingga orang tua menyerahkan/mendaftarkan anaknya ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang dapat mengangkat dan memunculkan potensi anak. Guru dalam tugas pokok dan fungsinya sebagai pendidik dan pengajar, mewujudkannya dengan berbagai pendekatan baik sebagai yang memfasilitasi, maupun memotivasi sehingga potensi anak muncul dan berkembang.
Bagaimana jika hal itu terjadi di dunia kaderisasi partai bila guru berada di sana? Pada proses kaderisasi praktik sebagaimana dilaksanakan di sekolah bukanlah pendekatan yang berkelanjutan setiap hari. Kebutuhan pendidikan kader dilaksanakan sewaktu-waktu, walau pada partai tertentu pada masa ini sudah memiliki akademi/sekolah yang bersifat internal. Mereka mendidik kader-kader untuk menjadi kader yang militansinya dapat diandalkan. Apakah seorang guru dapat menjadi kader partai yang militan? Tentu saja dapat terjadi bila ia menjadi bagian dari partai itu sebagai anggota, dengan melepaskan profesinya sebagai guru. Mana mungkin?
Keberanian untuk melepaskan profesi guru hanya dapat terjadi bila didukung modal yang tebal. Modal yang dimaksudkan di sini selain kredibilitas, kapasitas dan kompetensi pada diri harus dapat menunjukkan kepiawaian untuk menangani berbagai permasalahan dengan solusi-solusi yang mengarah kepada perubahan menuju arah yang lebih baik. Arah yang lebih baik itu selalu menjadi pusat sorotan publik yang diawali dari seorang figur yang menduduki posisi tertinggi di suatu daerah.
Sorotan media, pengamat, akademisi tentang berbagai trik dan intrik yang dimainkan menjadi “hantu” pada guru dan siapapun yang berkerinduan memasuki area politik praktis itu. Hantu itu akan terlewatkan dengan keberanian, kredibilitas, kapasitas dan kompetensi pada diri orang (termasuk guru) yang menjadi kader satu partai.
Mana mungkin guru mengikuti kontestasi pemilihan umum kepala daerah? Ya, mana mungkin. Mestinya dijawab mungkin dan bahkan sangat mungkin. Organisasi PGRI secara berjenjang berada di semua wilayah administrasi pemerintahan, Kecamatan, Kabupaten, Kota dan Provinsi hingga Pusat. Bukankah organisasi PGRI dapat saja mengusulkan atau “menyodorkan” kepada partai tertentu agar guru X dapat dicalonkan sebagai paslon berpasangan dengan satu kader dari partai itu?
Organisasi PGRI bukanlah organisasi kepartaian. Ia tidak berafiliasi kepada partai manapun. Ia tidak boleh didikte oleh parai manapun. Ia hadir sebagai organisasi profesi para guru yang tidak berpolitik, namun bersuara atas nama guru di NKRI ini sehingga segala kepentingannya tersalurkan di lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah di semua jenjangnya. Itulah sebabnya, bila seorang guru yang akan menjadi kader partai untuk mengejar puncak kekuasaan, harus menanggalkan profesinya sebagai guru, dan menjadi politisi.
Di Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Leburaya yang mantan gubernur itu awalnya berprofesi sebagai guru. Ia harus rela menanggalkan profesi itu untuk memasuki dunia kepartaian. Di sana ide dan platform partai terinternalisasi dalam darah dan roh. Maka, usaha dan kerja keras untuk masyarakat dan daerah bukan satu-satunya diprioritaskan kepada pendidikan, walau seruan moral Gong Belajar pernah didengungkan.
Guru, bukanlah politisi. Guru itu praktisi pendidikan dengan pengetahuan pedagogik. Guru tidak menyentuh pengetahuan perpolitikan untuk diprosesbelajarkan di ruang-ruang kelas. Maka, pengetahuannya tentang segala seluk-beluk praktik politik, kabur. Bila merindukan berada di ruang politik praktis demi memperjuangkan hak-hak kaum guru, sekali lagi mesti berada di dunia politik, sekalipun sudah ada organisasi profesi yang tidak pernah diam berpangku tangan.
Hari-hari ini organisasi profesi guru bertambah. PGRI yang dulunya satu-satunya organisasi profesi guru kini bagai mendapat “kompetitor”. Sebutlah seperti Ikatan Guru Indonesia (IGI), Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Persatuan Guru Madrasah Republik Indonesia (PGMRI), dan lain-lain. Organisasi profesi guru sebagaimana yang sudah bertambah pada masa berlakunya UU Guru dan Dosen, telah memberi ruang dan peluang memperjuangkan hak-hak para guru. Sekalipun demikian, belum ada satupun organisasi profesi guru yang secara terbuka akan menyodorkan guru menjadi bakal calon kepala daerah. Mengapa? Organisasi-organisasi sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah organisasi kepartaian.
Bagaimana jika pasangan calon itu masuk melalui jalur perseorangan (independen)? Lagi-lagi, mana mungkin? Ia harus terlebih dahulu menanggalkan profesinya. Ia harus mendapatkan dukungan sejumlah besar tanda tangan dan kartu tanda penduduk dari para pendukungnya. Jika perlu, sekalipun masuk melalui jalur perseorangan, trik dan intrik politik praktis perlu pula mendapatkan sokongan partai walau secara silent atau shadow. Hal-hal seperti itu bukanlah tugas yang mudah.
Penutup
Sekali lagi tulisan ini hanyalah suatu refleksi ketelanjuran seorang guru di pedesaan. Mana mungkin seorang guru dengan penghasilan “hancuran” akan “menghambur” untuk mendapatkan jabatan kekuasaan?
Walau demikian, kiranya tulisan ini akan menginspirasi mereka yang memiliki keberanian dengan daya dukung material dan immaterial yang hebat, dipastikan akan maju bagai selebriti pada waktunya. Ketika itu, para guru akan membelalak mata, bahwa ternyata guru pun dapat meraih kekuasaan tertinggi di suatu daerah. Ha ha…
Koro’oto, 9 September 2020