Kupang-InfoNTT.com,- Kritikan terhadap Ketua DPRD Kabupaten Kupang terkait kekosongan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) datang dari anggota DPRD dari Partai Hanura, Anton Natun. Politisi senior ini mempertanyakan kinerja pimpinan DPRD.
“Berkaitan dengan AKD DPRD, kini mengalami kevakuman di luar pimpinan DPRD. Ini merupakan preseden buruk bagi lembaga DPRD karena di NTT hanya di Kabupaten Kupang saja yang seperti ini, dan sebenarnya tidak boleh terjadi, kenapa? Karena ini adalah identitas anggota DPRD yang berada dalam alat kelengkapan DPRD sesuai dengan amanat regulasi untuk melayani aspirasi masyarakat,” tegas Anton Natun kepada media ini, Kamis (17/03/2022) malam.
Menurutnya, kejadian ini akan membuat lembaga DPRD ditertawakan oleh masyarakat, karena lembaga tidak menjalankan fungsinya secara baik dan benar, tidak ada alat kelengkapan DPRD selain pimpinan. Hal inilah yang seharusnya dipersiapkan secara matang, mulai dari penyusunan dan segala proses mekanisme alat kelengkapan DPRD.
“Contoh, saya sekarang ini anggota DPRD yang tidak terdata dalam alat kelengkapan DPRD. Apakah baik dalam sebuah kelengkapan DPRD. Maksud saya, seharusnya pimpinan mampu mempersiapkan penyusunan dan segala proses mekanisme alat kelengkapan DPRD jauh-jauh hari sebelum bertugas ke Jakarta, ketua juga tahu waktu alat kelengkapan DPRD berakhir pada 9 Maret kemarin, maka sesuai amanat undang-undang harus terjadi penyusunan dan pemilihan alat kelengkapan DPRD di luar ex officio pimpinan DPRD yaitu badan anggaran dan badan musyawarah,” jelasnya.
Anton Natun menambahkan, jangan kemudian untuk kepentingan tertentu, lalu vakumkan alat kelengkapan DPRD. Hal ini tidak baik sebagai seorang pimpinan. Ini berarti disengajakan, ada kepentingan untuk mengambil alat kelengkapan komisi.
“Untuk kepentingan, ya silahkan saja. Mau ambil alat kelengkapan komisi terserah, tapi jangan sampai terjadi kevakuman. Kalau ada kevakuman seperti ini, orang menilai lembaga DPRD sebagai lembaga yang tidak jelas,” kata Ketua DPC Partai Hanura Kabupaten Kupang ini.
Terkait masa berakhirnya kepemimpinan AKD sudah disampaikan kepada Ketua DPRD Kabupaten Kupang, Daniel Taimenas. Di mana sejak 9 Maret lalu sudah selesai masa tugas daripada alat kelengkapan DPRD di luar pimpinan DPRD. Artinya sebelum bertugas ke Jakarta mestinya sudah terjadi pemilihan.
“Jadi kita bertugas ke Jakarta itu sampai tanggal 11 Maret. Nah, semestinya sudah dibaca oleh pimpinan, bahwa kita ke sana sudah melewati masa tugas alat kelengkapan dewan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Jika sudah begini kita semua yang malu. Silahkan kepentingan mau bagaimana, tapi tolong jangan jadikan lembaga DPRD sesuai selera,” harapnya.
Anton Natun sangat menyayangkan kepemimpinan Ketua DPRD. Sebagai seorang pemimpin seharusnya hal penting seperti ini tidak boleh disepelekan. Alat kelengkapan DPRD dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum jatuh tempo, sehingga tanggal 9 itu DPRD sudah punya pimpinan, baik badan kehormatan dan di empat komisi.
Jika terjadi kevakuman seperti ini, maka Anton menilai anggota DPRD Kabupaten Kupang tidak beridentitas. Hal ini tentu sengaja dilakukan oleh pimpinan. Kesengajaan yang dibuat mungkin karena berambisi mendapatkan atau melobi teman-teman untuk mendapatkan komisi itu, tapi yang harus dicatat adalah tidak boleh terjadi kevakuman.
Anton Natun meminta agar Ketua DPRD segera memperbaiki lembaga tersebut. Karena DPRD adalah lembaga yang terhormat dan beridentitas sesuai amanat undang-undang. Jangan jadikan lembaga DPRD sesuka hati, kekosongan alat kelengkapan DPRD sudah satu minggu lebih.
“Mereka pikir ini hal biasa, tapi sebenarnya ini hal luar biasa yang baru terjadi. Saya menilai Saudara Daniel (Ketua DPRD) harus belajar banyak supaya lebih paham mengenai lembaga DPRD. Saya sebagai mantan pimpinan malu kalau cara pimpin DPRD seperti ini. Tolong diperbaiki karena semua ada masa, jangan jadikan lembaga DPRD sebagai perusahaan, di mana mau apa saja sesuka hati, ikut maunya kita,” ungkapnya.
Anton Natun berharap agar penyakit kronis di DPRD Kabupaten Kupang ini segera diperbaiki, jangan permalukan lembaga legislatif, karena pimpinan sudah menyalahi aturan dan juga melanggar regulasi undang-undang yang ada sebagai dasar berpijaknya lembaga ini. (***)