Aku sebungkus paket yang dipaketkan oleh tangan halus nan trampil. Dia yang memaketkan diriku berada jauh di seberang sana. Wajahnya menunjukkan masa tua, tapi sorot matanya yang menembus kaca yang dipakainya lebih berkisah tentang semangat dan motivasi yang teramat kuat untuk masih terus maju dan maju. Dari tangan halus dan trampil itulah aku diantarkan ke satu tempat yang kuketahui bernama Lion Parcel.
Lion Parcel itu satu tempat penitipan untuk pengiriman barang. Akh… ternyata aku ini barang. Barang yang akan dikirimkan ke suatu alamat.
Aku pun diberangkatkan bersama-sama dengan paket-paket lainnya. Sayangnya aku tak dapat membaca sehingga aku tak dapat menyebutkan alamat-alamat pada paket-paket yang disusun berjejjer di dalam kantong-kantong. Kami disusun sedemikian rupa sehingga kami tidak boleh saling menghancurkan, oleh karena kami ini disebutkan barang kiriman yang mesti aman, nyaman, dan tiba di tangan penerima secara aman dan nyaman. Tidak boleh cacat.
Tapi,bagaimana kami tidak boleh saling berdesak-desakan? Kami dikumpulkan, dipindahkan dari mobil box ke dalam troli, dipindahkan lagi ke dalam badan pesawat. Dari sana kami diterbangkan. Kami tidak mengetahui akan dikemanakan. Aku sendiri tahu bahwa pada diri ini tertera alamat jelas, yang terdiri dari nama penerima, nomor telpon yang dapat dihubungi hingga alamat rumahnya.
Di angkasa sana, kami terbang tinggi. Sayang sekali kami di dalam box yang tak dapat melihat dan memandang keindahan gunung, laut, lautan, hutan, pemukiman dan lain-lainnya. Pengalaman itu ada hanya pada mereka yang disebut makhluk manusia. Aku dan kami di dalam box hanya paket kiriman yang disebut barang.
Aku dan teman-temanku yang paket-paket itu berpisah di suatu tempat. Orang-orang berbicara bahwa yang lain diturunkan di sini, sementara ketika mereka melihat kutli tubuhku tertera alamat mereka memasukkanku kembali ke dalam box. Katanya, akan diterbangkan lagi. Aih.. terbang lagi.
Aku akhirnyt tiba. Mendarat di satu tempat, katanya Badar Undara Internasional El Tari Penfui Kupang. Setibanya di darat, sebagaimana paket kiriman, aku diperlakukan baik, walau terasa amat kasar oleh para pekerja di sana. Sayangnya saya hanya barang sehingga teriakanku terdengar tapi tidak dihiraukan. Beruntungnya aku tidak cacat.
Kini aku berjalan darat. Ada yang menjemput diriku bersama-sama dengan paket-paket lainnya. Kami mulai diantarkan satu per satu ke alamat yang dituju. Aku akhirnya tiba di satu tempat namanya Kantor Pos Baun.
Aku melihat petugas pos mengambil henfon. Ia menekan satu nomor. Ia melihat nomor itu yang tertulis di badanku sebagai paket kiriman. Pertama kali ia menelpon, di seberang sana tidak memberi jawaban. Sekitar sejam kemudian, henfon si petugas berdering sekitar 15 detik saja. Kemudian si petugas menelpon lagi.
Kali ini dari seberang sana terdengar jawaban. Percakapan terjadi. Lalu… dengan lesu si petugas menaruh kembali henfonnya di permukaan meja. Ia mengambil diriku. Ia paketkan kembali ke dalam kantongnya. Ia masih sempat melayani beberapa orang yang datang ke kantor pos itu. Pada sore harinya, ia menghidupkan motor, lalu sebelum berangkat ia menghubungi suatu alamat.
Ia berangkat membawa diriku dan sejumlah tumpukan surat-surat. Kami berada di dalam kantong yang ditempatkan di belakang pemotor ini yang tidak lain adalah petugas kantor pos. Kami melewati jalan berliku hingga mencapai lebih dari 25 km, yang akhinya tiba di kota Kupang.
Si petugas kantor pos membawa kami ke Kantor Pos Pusat di kota Kupang. Di sana aku ditempatkan ke satu tempat lagi untuk selanjutnya dikirimkan ke alamat yang tepat. Dari sini aku ketahui bahwa ternyata aku disesatkan oleh petugas. Aku belum sampai ke alamt yang tertera pada kulit tubuhku yang disebut paket ini.
Dua hari setelah itu, akhirnya aku tiba di tangan alamat penerima. Tapi, aku masih sempat dititipkan di rumah saudaranya di kota kecamatan. Petugas kantor pos kecamatan itu membawa diriku ke satu unit rumah di belakang kantor pos Oekabiti, Kecamatan Amarasi. Jadi, aku belum juga tiba di Amarasi Selatan.
Sore harinya dua orang pemuda berkendaraan motor tiba di rumah dimana aku dititipkan. Kedua pemuda ini berbasa-basi sebentar dengan pemilik rumah. Pemilik rumah memapah diriku yang paket kiriman ini, lalu diserahkan kepada dua pemuda ini. Jadilah kali ini aku ada dalam gendongan seorang pemuda, dan seorang pemuda lagi mengendalikan motor.
Raungan motor meliuk di jalanan berliku lebih dari 12 kilometer untuk tiba di alamat yang dituju. Hujan rintik-tintik membasahi kami. Beruntungnya, aku, yang paket kiriman ini dilapisi sebentuk kertas bening, yang, kudengar namanya plastik. Akh… plastik itu tahan air rupanya.
Aku, akhirnya tiba sore itu. Ternyata orang yang menerima kami belum ada di rumah. Ia masih ada di tempat lain dalam satu tugas penting. Sekitar pukul 19.30 WITa ia tiba di rumah. Aku lihat dia memandang pada diriku. Lalu, diambilnya sebentuk benda tajam. Setelah melihat-lihat diriku, ia akhirnya memotong bagian-bagian tubuhku. Isi dari diriku yang disebut paket kiriman itu, ternyata setumpuk buku dengan dua judul: Catatan Kedua Seorang Guru Daerah Terpencil dan Antologi Pegiat Literasi Nusantara, the Spirit of 2020.
Akhirnya aku tiba di tangan mana aku dialamatkan. Kabar kedatanganku tersiar, bukan kulitku yang disebarkan, tetapi isi dari paket kiriman itu.
Akh… Paket kiriman. Bagaimana pun aku telah sampai dengan selamat. Wajah dan rona penerimaku nampak tenang-tenang saja.