Soe-InfoNTT.com,- Di sudut pasar yang sibuk di Soe, di antara tumpukan sayur segar dan hiruk-pikuk tawar-menawar, sebuah pertemuan sederhana terjadi. Hari itu, Yusintha N. Nenobahan bertemu dengan Edumem Punuf-seorang guru fisika yang bukan hanya mengajar di kelas, tetapi juga mengayuh roda kehidupan sebagai tukang ojek demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Edu bukan sekadar guru biasa. Setiap hari, ia berpacu dengan waktu, menghabiskan pagi di sekolah dan sore di jalanan, menafkahi istri serta anak mereka yang masih kecil. Semangatnya tak pernah padam, meski realitas tak selalu berpihak. la tetap berdiri di depan kelas, mengajarkan rumus-rumus fisika dengan suara yang bergetar bukan karena lelah, tetapi karena panggilan hati.
Ketika belanjaan Yusintha diantar ke rumah orang tuanya di Nifuboko, cerita itu terus terngiang di kepalanya. la bukan sekadar mendengar kisah tentang seorang guru, tetapi juga melihat potret nyata perjuangan pendidikan di daerah pelosok. la merenung-bagaimana mungkin seseorang yang telah memberi begitu banyak untuk dunia pendidikan masih harus bertarung untuk sekadar bertahan hidup?
Di sanalah nuraninya mengetuk. la tahu, ada sesuatu yang harus ia lakukan. Tidak dengan janji atau retorika kosong, tetapi dengan kehadiran nyata. Maka, dengan langkah mantap, ia memutuskan untuk mengunjungi SMA Kristen Kesetnana.
Saat pertama kali tiba di sekolah itu, hatinya semakin tergerak. Bangku-bangku tua, dinding yang mulai pudar, dan anak-anak yang penuh semangat meski di tengah keterbatasan. Tapi yang paling menohok adalah tatapan mereka-mata-mata yang berbicara lebih keras dari kata-kata. Mata yang berharap, yang haus akan ilmu, yang membutuhkan lebih dari sekadar teori, tetapi juga sentuhan kasih seorang pendidik.
Di sekretariat YNS, Jumat 14 Maret 2025, Ayub Tasoin mengenang momen itu. “Ketika Ibu Yusintha hadir di sekolah, anak-anak seperti menemukan sosok yang mereka tunggu. Bukan hanya guru, tapi seseorang yang benar-benar peduli,” ujarnya.
Yusintha tidak datang membawa perubahan instan. la datang membawa hati yang terbuka, tangan yang siap membantu, dan keyakinan bahwa pendidikan adalah hak setiap anak, bukan sekadar impian yang terlalu mahal untuk digapai.
Sejak hari itu, SMA Kristen Kesetnana tidak hanya menjadi sekolah biasa baginya. Namun menjadi tempat di mana ia menemukan panggilan sejatinya-menjadi cahaya bagi mereka yang hampir padam harapannya.(**)