Oleh: Heronimus Bani, S.Pd (Kepala SD Inpres Nekmese)
Kabupaten Kupang, sebuah wilayah yang membentang di ujung barat Pulau Timor, adalah mozaik budaya yang kaya dan memesona. Di dalamnya, bersemayam beragam etnis seperti Timor (dengan sub-suku Fatule’u, Amfoang, Amarasi, Am’abi), Semau/Helong, Rote, dan masyarakat Kupang Raya, masing-masing dengan kekhasan adat, bahasa, dan kearifan lokal yang berbeda. Keberagaman ini, yang tersebar di 24 kecamatan, sejatinya merupakan aset tak ternilai. Namun, di sisi lain, pluralitas budaya yang begitu kuat ini juga menghadirkan tantangan signifikan, terutama dalam konteks pengembangan pendidikan muatan lokal.
Pendidikan muatan lokal (mulok) dirancang untuk mendekatkan peserta didik dengan lingkungan sosial dan budayanya, menanamkan nilai-nilai luhur, dan melestarikan warisan leluhur. Idealnya, mulok menjadi jembatan penghubung antara kurikulum nasional dengan realitas lokal, memastikan generasi muda tidak tercerabut dari akarnya. Namun, di Kabupaten Kupang, gagasan ideal ini berhadapan dengan kompleksitas pluralitas yang tak bisa diabaikan.
Salah satu tantangan utama adalah merumuskan konten mulok yang relevan dan dapat diterima oleh seluruh komunitas budaya. Apa yang dianggap penting dan berharga bagi masyarakat Amarasi, misalnya, belum tentu sama dengan prioritas di Amfoang atau Semau. Bahasa daerah yang berbeda, tradisi upacara yang beragam, hingga bentuk kesenian yang khas, semuanya menuntut representasi yang adil. Jika konten mulok hanya didominasi oleh satu atau dua etnis mayoritas, hal ini berisiko menciptakan rasa keterasingan atau bahkan diskriminasi bagi kelompok minoritas. Ini akan kontraproduktif dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang justru ingin ditanamkan.
Tantangan berikutnya adalah ketersediaan dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) pengajar. Guru-guru yang bertugas di berbagai kecamatan harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang budaya lokal di wilayahnya masing-masing. Ini bukan sekadar mengenal nama-nama tarian atau lagu, melainkan juga memahami filosofi di baliknya, sejarahnya, serta nilai-nilai yang terkandung. Mengingat luasnya wilayah dan ragam budaya, melatih guru agar kompeten dalam semua aspek budaya lokal adalah pekerjaan besar yang membutuhkan investasi waktu dan sumber daya yang tidak sedikit.
Selain itu, ketersediaan bahan ajar juga menjadi kendala. Materi ajar mulok seringkali tidak standar dan belum terdokumentasi dengan baik. Banyak kearifan lokal yang masih dalam bentuk lisan, diturunkan dari generasi ke generasi. Untuk mengadaptasinya menjadi materi kurikulum yang sistematis dan mudah dipelajari, diperlukan upaya kolaborasi antara akademisi, budayawan, tokoh adat, dan praktisi pendidikan. Proses ini harus dilakukan secara partisipatif untuk memastikan keakuratan dan keotentikan budaya yang diajarkan.
Infrastruktur dan aksesibilitas geografis juga turut memperumit pengembangan mulok. Dengan 24 kecamatan yang tersebar, beberapa di antaranya memiliki akses yang sulit, koordinasi dan distribusi bahan ajar menjadi tantangan tersendiri. Pelatihan guru yang terpusat mungkin tidak efektif, dan model desentralisasi dengan pendekatan komunitas menjadi lebih relevan.
Menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan strategis dan inovatif. Pertama, pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan perlu membentuk tim kerja multikultural yang melibatkan perwakilan dari setiap etnis dan komunitas budaya. Tim ini bertugas untuk mengidentifikasi dan merumuskan kompetensi dasar serta konten mulok yang mencerminkan kekayaan budaya Kabupaten Kupang secara komprehensif. Pendekatan tematik yang mencakup nilai-nilai universal yang dipegang oleh semua etnis dapat menjadi titik awal.
Kedua, program pelatihan guru harus dirancang secara berkelanjutan dan kontekstual. Pelatihan bisa dilakukan per wilayah adat atau klaster kecamatan, dengan melibatkan tokoh adat dan praktisi budaya setempat sebagai narasumber. Penting untuk membekali guru dengan keterampilan penelitian etnografi sederhana, agar mereka mampu menggali dan mendokumentasikan kearifan lokal di lingkungan sekolahnya.
Ketiga, pengembangan bahan ajar perlu melibatkan masyarakat secara aktif. Lomba penulisan cerita rakyat, pengumpulan lagu-lagu daerah, atau pembuatan kamus mini bahasa lokal oleh siswa dan guru, dapat menjadi cara untuk memperkaya bahan ajar. Pemanfaatan teknologi digital juga dapat membantu dalam mendokumentasikan dan menyebarluaskan materi mulok ke seluruh pelosok Kabupaten Kupang.
Pluralitas budaya di Kabupaten Kupang adalah anugerah sekaligus tantangan. Dengan perencanaan yang matang, kolaborasi lintas sektor, dan komitmen yang kuat, pendidikan muatan lokal dapat menjadi pilar utama dalam melestarikan kekayaan budaya, membentuk karakter generasi muda yang berakar kuat pada nilai-nilai lokal, dan pada saat yang sama, membuka cakrawala mereka untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih luas. Melalui pendidikan mulok yang inklusif, Kabupaten Kupang dapat menjadi contoh nyata bagaimana keberagaman justru menjadi kekuatan pendorong kemajuan.