Pantai Adalah Area Publik, Bukan Area Privasi

Alfret Otu

Oleh: Alfret Otu, S.ST.,M.Par

Pengamat Pariwisata

Bacaan Lainnya

Daerah pesisir pantai adalah area publik, yang dapat diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Namun akhir-akhir ini, muncul fenomena baru dibeberapa daerah pesisir pantai yang tidak dapat akses oleh publik, sebab ada terindikasi oknum investor yang mengklaim daerah pesisir pantai adalah miliknya dan melarang adanya aktifitas warga dan wisatawan.

Fenomena itu terjadi seperti di Bali, tepatnya di Pantai Sanur, Denpasar, ada oknum investor yang melarang aktifitas di kawasan Pantai.

Sementara di NTT tepatnya Pulau Padar, Taman Nasional Komodo, Flores, juga melarang wisatawan untuk tidak dapat berkunjung di kawasan wisata tersebut, dengan alasan perusahaan sementara dalam proses pembangunan.

Ada perusahaan yang telah lama beroperasi, dan sejauh ini melarang adanya aktifitas di pantai, namun dibiarkan begitu saja, ketika ada warga bersuara dan viral di media sosial hingga menjadi sorotan, barulah pemerintah mengambil langkah tegas.

Dapat disinyalir sejauh ini ada pembiaran terhadap larangan adanya aktifitas publik di pantai yang tentu melanggar dan mengesampingkan UU

Padahal hukum di Indonesia adalah Panglima Tertinggi. Namun ada oknum investor masih saja melalaikan aturan hukum yang berlaku.

Aturan kepemilikan dan pemanfaat fungsi pantai sendiri sudah diatur secara tegas dalam Undang-undang. Undang-undang nomor 1 tahun 2014 yakni perubahan undang-undang nomor 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir pantai.

Dalam pasal 1 ayat 21 undang-undang tersebut menyatakan bahwa: kawasan perlindungan sempadan pantai meliputi daratan sepanjang pantai yang panjangnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, lebar garis sempadan ini adalah 100 meter tertinggi dari titik pasang tertinggi kedarat adalah miliki negara.

Perpres Nomor 51 Tahun 2016 juga tentang Batas Sempadan Pantai menyebut pantai adalah area publik dan merupakan tanah milik negara, sehingga dilarang untuk dijadikan sebagai area privat atau diprivatisasi.

Larangan oknum investor itu tidak hanya melanggar UU tetapi juga merusak kearifan lokal dan sustainability atau keberlangsungan hidup sosialitas antara masyarakat lokal dan alam.

Sikap oknum investor ini juga menghilangkan trust masyarakat lokal hingga masyarakat lokal memilih untuk menolak investor masuk dan berinvestasi didaerah.

Masyarakat tidak hanya kehilangan trust terhadap investor, namun juga memiliki sikap negatif atau tertutup untuk menerima investor masuk, sebab selalu menilai investor tidak harmoni dan merusak lingkungan karena keserakahannya, sebab investor hanya mengejar profit dan mengesampingkan berbagai aturan, mengesampingkan kearifan lokal dan mengesampingkan keberlangsunggan lingkungan.

Sikap skeptis masyarakat lokal terhadap investor, sebab investor selalu lebih memprioritaskan profit finance atau keuntungan keuangan dan pada akhirnya mengesampingkan hak-hak publik termasuk masyarakat lokal.

Sikap semena-mena oknum investor bukan tanpa alasan, sebab investor selalu berpikir mereka telah memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pemangku kepentingan dalam hal ini mereka sangat dekat pemimpin baik itu pemerintah yang memberi izin dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.

Investor selalu berpikir: mereka telah membayar mahal, tidak hanya untuk membeli kawasan tempat usaha, tetapi juga membayar mahal melalui kepengurusan izin membuka usaha seperti untuk membangun hotel, restoran, kafe dan usaha lainnya.

Sikap ini yang secara masif, tampak investor memperoleh hak privilege/keistimewaan, sebab pemerintah telah mendukung investor untuk dapat bertindak sesuka hati tanpa melihat regulasi.

Dapat dikatakan secara gamblang bahwa investor berpikir memiliki uang yang sama dengan, “ada uang jadi penguasa dan dan memberikan keleluasan sehingga bertindak semana-mena”.

Pemerintah belum tegas dalam menegakan aturan bagi investor, buktinya meski aturan telah ada, namun masih dilanggar oleh investor. Pesan tersirat bahwa investor bertindak karena didukung pemerintah. Ketegasan pemerintah dalam menerapkan aturan dilunakan dengan uang, ini yang tidak boleh terjadi. Masyarakat lokal tidak boleh dirugikan dengan hadirnya investor.

Hadirnya investor ditengah-tengah masyarakat bukan hanya menggerut potensi dan kekayaan kearifan lokal, hadirnya investor juga bukan hanya memberikan dampak positif pertumbuhan ekonomi lalu mengesampingkan hak-hak warga lokal atau publik.

Hadirnya investor harus dapat memberi dampak positif moril. Adanya harmonisasi investor dan lingkungan sekitar, masyarakat lokal, keberlangsungan lingkungan maupun tanggungjawab sosial lainnya yang fair sesuai aturan.

Pemerintah memiliki andil yang besar, sehingga harus memperhatikan batasan-batasan investor, memperhatikan analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), dampak dampak ekonomi dan juga dampak moril.

Pemerintah harus terus memberikan monitoring dan evaluasi berkelanjutan mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan. Beragam problem yang terjadi terkait privatisasi kawasan pantai mesti menjadi warning bagi pemerintah dalam bertindak kedepannya.(***)

Pos terkait