InfoNTT.com,- Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa proyek jalan yang seharusnya selesai dalam beberapa bulan malah molor bertahun-tahun? Atau mengapa puskesmas kekurangan tenaga, padahal anggaran sudah disiapkan? Atau bahkan, mengapa bantuan sosial yang seharusnya membantu masyarakat miskin malah datang terlambat?
Jawabannya mungkin tidak sesederhana yang kita pikirkan. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, malah “tidur” di bank, menghasilkan bunga yang menggiurkan bagi segelintir elite.
Dana transfer dari pemerintah pusat, seperti DAU, DAK, dan DBH, resmi masuk ke kas daerah. Namun, alih-alih segera dibelanjakan untuk kepentingan rakyat, sebagian justru dibiarkan mengendap berbulan-bulan di rekening kas umum daerah. Dalihnya klasik: menunggu kegiatan.
Faktanya, uang rakyat sedang bekerja… menghasilkan bunga. Bunga yang seharusnya menjadi pendapatan daerah, malah dinikmati oleh segelintir orang. Ini bukan sekadar soal administrasi keuangan, tapi soal etika kekuasaan.
Uang rakyat seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan bermeditasi di bank demi kepentingan segelintir elite. Ketika rakyat menunggu layanan, dananya justru sibuk beranak-pinak. Ini adalah wajah licik birokrasi: tak mencuri, tapi menunda. Tak merampas, tapi memetik bunga.
BPK telah berulang kali menemukan pengelolaan bunga deposito APBD yang tak tertib, bahkan tak dicatat. Nilainya bisa miliaran per daerah. Namun, pertanggungjawaban sering berakhir normatif: sudah disetor. Disetor ke mana, dan dinikmati siapa, publik jarang tahu.
Ini adalah saatnya kita mempertanyakan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Uang rakyat harus bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir elite. Saatnya kita menuntut perubahan, agar uang rakyat tidak lagi “tidur” di bank.
Penulis: Chris Bani
