Menelisik Pilkada 2024: Perang Data atau Perang Asumsi  

Oleh: Jordy Alexander Jappalani

Mahasiswa Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW Salatiga

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia selalu menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh masyarakat. Bukan hanya sebagai ajang politik semata, tapi juga sebagai cerminan dari dinamika sosial-politik yang Tengah berkecamuk di tanah air. Pilkada 2024 menjadi sorotan khusus karena hadirnya sebuah paradoks yang menarik; apakah perang data atau perang asumsi yang lebih dominan dalam menentukan hasil Pilkada kali ini?

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, data telah menjadi komoditas yang amat berharga dalam politik modern. Data tidak hanya menggambarkan gambaran tentang preferensi pemilih, tetapi juga menjadi instrument utama dalam merumuskan strategi kampanye. Pilkada 2024 menjadi ajang di mana perang data semakin mengemuka sebagai salah satu penentu utama dalam perebutan kursi kepemimpinan daerah. Namun, di Tengah gempuran data-data yang dianalisis secara cermat, tidak dapat dipungkiri bahwa perang asumsi juga masih memainkan peran penting dalam politik lokal.

Perang Data: Panglima Baru Politik Modern

Dalam era digital seperti sekarang, perang data menjadi semacam panglima baru dalam politik modern. Tim kampanye tidak lagi hanya bergantung pada survei konvensional atau impresi lapangan semata. Mereka menggali data sebanyak mungkin dari berbagai sumber, baik itu data demografis, perilaku online, atau bahkan sentimen sosial yang terekam dalam media sosial. Analisis data yang cermat memungkinkan tim kampanye  untuk merancang strategi yang lebih tepat sasaran, menargetkan segmen pemilih tertentu dengan pesan yang sesuai, dan mengoptimalkan alokasi sumber daya kampanye.

Selain itu, perang data juga memungkinkan untuk memetakan dinamika politik secara lebih akurat. Dengan menggunakan teknik-teknik seperti analisis pola spasial dan prediksi berbasis data, tim kampanye dapat memperkirakan potensi dukungan di berbagai daerah, bahkan hingga tingkat RT/RW. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengalokasikan tenaga dan sumber daya dengan lebih efisien, meningkatkan peluang untuk meraih kemenangan dalam Pilkada.

Namun, kendati kekuatan data dalam politik tidak dapat dipungkiri, kita juga perlu menghadapi fakta bahwa data tidak tidak selalu bersifat netral. Di balik kerumitan algoritma dan analisis statistik yang canggih, terdapat bias-bias yang mungkin terinternalisasi dalam data itu sendiri. Data dapat direkayasa atau diinterpretasikan secara selektif untuk memperkuat narasi yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu. Dalam konteks Pilkada, manipulasi data dapat menghasilkan narasi palsu tentang popularitas kandidat atau dinamika politik di lapangan, mengaburkan pandangan publik tentang realitas politik yang sebenarnya.

Perang Asumsi: Dinamika Budaya Lokal

Di sisi lain, perang asumsi masih menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan dalam politik lokal. Budaya politik di Indonesia masih sangat di pengaruhi oleh faktor-faktor non-rasional seperti tradisi, identitas etnis, dan jejaring sosial. Dalam Pilkada, asumsi tentang kekuatan politik kelompok-kelompok tertentu seringkali menjadi penentu utama dalam pembentukan aliansi politik dan strategi kampanye.

Misalnya, dalam daerah yang mayoritas penduduknya berasal dari suku tertentu, asumsi tentang solidaritas etnis masih menjadi faktor yang signifikan dalam menentukan hasil Pilkada. Kandidat yang mampu membangun citra sebagai “putra daerah” atau memperkuat jaringan politik di kalangan elite lokal memiliki keunggulan tersendiri. Begitu pula dengan faktor-faktor seperti agama dan golongan, yang seringkali menjadi pertimbangan utama bagi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka.

Selain itu, perang asumsi juga mencakup dinamika politik lokal yang sulit diprediksi secara akurat menggunakan data statistik. Sentimen lokal, isu-isu kontroversial, atau bahkan kejadian-kejadian tak terduga dapat mempengaruhi dinamika politik di lapangan dengan cara yang tidak dapat diprediksi sebelumnya. Dalam konteks ini, kepekaan terhadap dinamika budaya dan politik lokal menjadi kunci untuk meraih kemenangan dalam Pilkada.

Namun demikian, perang asumsi juga rentan terhadap manipulasi dan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang ingin memanfaatkan ketidakpastian politik untuk kepentingan mereka sendiri. Narasi-narasi tentang konflik etnis atau agama seringkali dimanipulasi untuk memecah belah masyarakat dan memperkuat dominasi politik kelompok tertentu. Dalam konteks ini, pendekatan yang berbasis pada asumsi saja tanpa dukungan data yang valid dapat menghasilkan keputusan politik yang tidak rasional dan merugikan bagi masyarakat.

Menghadapi Paradoks Pilkada 2024

Dalam menyikapi paradoks Pilkada 2024 antara perang data dan perang asumsi, penting bagi kita untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang antara keduanya. Data dapat menjadi instrumen yang sangat berguna dalam merancang strategi kampanye dan memetakan dinamika  politik, tetapi kita juga perlu menyadari keterbatasannya dalam mencerminkan realitas politik yang kompleks.

Sementara itu, asumsi tentang dinamika budaya dan politik lokal juga penting untuk dipertimbangkan, tetapu harus didukung oleh analisis yang cermat dan pemahaman mendalam tentang realitas lapangan. Kita tidak boleh terjebak dalam narasi sempit tentang identitas etnis atau agama, tetapi harus mengadopsi pendekatan yang inklusif dan berbasis pada kepentingan bersama.

Lebih dari itu, Pilkada 2024 juga menjadi momentum bagi kita untuk merefleksikan kembali tentang pentingnya menjaga integritas dalam berdemokrasi.***

Pos terkait