OLEH :
Jefrison Hariyanto Fernando, S.I.P
Kupang-InfoNTT.com-, Nyale adalah sala satu jenis cacing laut yang hidup dilubang batu dan tidak muncul secara terus menerus ke permukaan. Menurut cerita beberapa penutur di Sabu Raijua , nyale tidak sebatas cacing laut biasa akan tetapi sesuai dengan adat istiadat orang Sabu nyale merupakan cacing laut yang punya filosofi dan sejarah sendiri bagi seluruh masyarakat Sabu Raijua. Dalam legenda tentang Nyale, orang Raijua percaya bahwa munculnya nyale karena seorang putri yang berubah wujud menjadi cacing laut atau nyale.
Dalam berbagai penuturan yang disampaikan oleh beberapa tokoh adat di Kabupaten Sabu Raijua bahwa pada zaman dulu ada seorang gadis yang terserang penyakit kulit yang sudah puluhan tahun tidak bisa disembuhkan oleh obat apapun serta para dukun yang ada di kabupaten Sabu Raijua. Pada suatu hari ia bersama ibunya pergi ke laut untuk mencari ikan, pada saat yang bersamaan ia dengan ibunya berpisah di beberapa lokasi yang berbeda dan ketika ibunya kembali untuk menemui dan menjemput dia untuk kembali ternyata anaknya tidak ada lagi, akan tetapi yang ada hanya nyale yang sedang hidup di lokasi tempat anak tersebut mencari ikan.
Pada saat itulah ibu dari anak tersebut yakin bahwa anaknya telah berubah wujud menjadi nyale dan pada saat yang bersamaan ada suara berseru dari dalam batu karang tempat nyale-nyale itu bermain yang mengatakan kepada ibunya bahwa ia telah berubah wujud menjadi nyale dan berpesan kepada ibunya bahwa dalam waktu-waktu tertentu ia akan muncul untuk menampakan diri kepada orang banyak, akan tetapi apabila yang datang untuk menangkap dia adalah orang yang sedang hamil, orang yang sedang datang bulan, ibu menyusui serta orang tua yang anaknya belom dilakukan Dabba atau permandian adat jingitiu maka ia akan hilang atau tidak mau menampakan diri.
Itulah sebabnya dalam kegiatan heko nyale yang dilakukan di Kabupaten Sabu Raijua mereka yang sedang hamil, sedang datang bulan, ibu menyusui serta orang tua yang anaknya belom menjalani ritual adat Dabba Ana atau permandian adat dilarang untuk ikut serta dalam kegiatan Heko/Hibu Nyale atau tangkap Nyale
Sesuai dengan kelender adat Kebupaten Sabu Raijua yang terdiri dari lima wilayah adat, memiliki jadwal Heko/Hibu Nyale atau tangkap nyale yang sudah diatur secara turun temurun oleh nenek moyang orang Sabu Raijua. Pada tulisan ini penulis mengambil sampel Ritual adat Nga”a Nyale dan Heko Nyale untuk wilayah adat Liae. Dalam ritual adat Nga’a dan Hibu Nyale di Wilayah adat Liae terdiri atas 3 kali kegiatan Nga’a Nyale yaitu Nyale Kelila , Nyale Ae dan Nyale Dabba.
Nga’a Nyale dan Heko Nyale Kelila akan dilaksanakan pada Bulan Adat atau Warru Kelila Adji Lay tepatnya pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah purnama sesuai dengan perhitungan kelender adat liae atau bulan Januari kelender Masehi. Nyale kelila ini jarang ada dan apabila ada maka oleh orang Sabu Raijua dipercayai sebagai tanda alam bahwa dalam waktu satu tahun kelender adat yang akan datang Sabu Raijua akan mendapat kemakmuran, kesejateraan baik untuk Manusia, Hewan dan tumbu-tumbuan atau dalam bahasa Sabu disebut Do Ta Ie Rai serta seluruhnya akan terbebas dari mara bahaya, sakit penyakit serta sarangan dari roh-roh jahat.
Selain sebagai tanda alam, Nyale kelila juga diyakini sebagai obat yang dapat menyembuhkan sakit penyakit yang menyerang manusia, hewan maupun tumbu-tumbuhan, sehingga pada zaman dulu ketika masyarkat mendapat nyale tersebut maka tidak akan dikonsumsi, akan tetapi akan di simpan sebagai obat.
Nga’a dan Heko Nyale Ae akan dilaksanakan pada bulan berikut setelah nyale Kelila yaitu pada bulan adat atau Warru Nyale tepatnya pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah bulan purnama berdasarkan perhitungan kelender adat atau bulan Februari kelender masehi.
Ritual adat Nga’a Nyale Ae akan diawali dari dua hari sebelumnya dengan proses ritual yang bernama Nga’a Hanga Dimu atau Nga’a Wolara tepat pada Lami Pehape atau Lima hari setelah purnama. Tujuan dari ritual tersebut adalah untuk memulai memanen sorgum dan kacang Hijau yang telah siap dipanen. Sesuai dengan aturan adat yang berlaku di Kabupaten Sabu Raijua kususnya bagi masyarakat penganut Aliran Kepercayaan Jingitiu, mereka tidak diperbolehkan memanen sorgum atau memetik kacang hijau sebelum ritual Nga’a Hanga Dimu dilaksanakan dan itupun harus dilakukan oleh Deo Rai sebagai pimpinan dewan Mone ama tertinggi baru di ikuti oleh masyarakat, artinya bahwa Deo Rai yang harus memanen duluan pada ladang adat atau Ma Kewahu miliknya.
Ketika tiba pada Pidu Pehape atau tujuh hari setelah purnama maka Ritual Nga’a Nyale Ae akan dilaksanakan pada siang hari. Proses ritual nga’a nyale ae ini diawali dengan kegiatan Udu/Baja Nga’a atau persembahan sesajian berupa sorgum dan kacang hijau yang telah dimasak dan diletakan pada tiang induk rumah atau dalam bahasa Sabu disebut dengan Tarru Duru serta akan disertai dengan Doa kepada Deo Ama atau Allah Bapak yang isi doanya berupa pengucapan syukur atas hasil panen, berdoa untuk kesuburan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk tahun yang akan datang serta permohonan untuk memanggil nyale yang akan ditangkap atau di Heko pada malam harinya. Setelah itu , pada malam hari akan dilaksanakan upacara Heko Nyale Ae atau tangkap nyale di laut oleh seluruh masyarakat yang ada.
Pada bulan adat atau Warru Dabba dalam perhitungan kelender adat atau Bulan Maret dalam perhitungan Kelender Masehi masyarakat adat akan melakukan Ritual Dabba Ana atau Permandian adat bagi anak-anak penganut kepercayaan Jingitiu serta Ritual Tali Manu Dabba atau ritual sabung ayam adat dengan tujuan mengakhiri perang manusia dengan manusia serta manusia dengan roh-roh jahat. Kegiatan Dabba Ana ankan dilaksanakan pada saat bulan purnama atau dalam bahasa Sabu disebut Hilu Wara, sedangkan Ritual Tali Manu Dabba akan dilaksanakan pada Hepe Hape atau satu hari setelah purnama dan Due Pehape atau dua hari setelah purnama. Pada hari ketiga setelah purnama atau Tal’lu Pehape maka akan dilanjutkan dengan ritual Pehelila Ru Manu. Untuk menutup seluruh rangkaian upacara adat pada Warru Dabba (bulan Maret) maka ketika hari ketuju setelah bulan purnama muncul atau Pidu Pehape maka akan dilakukan upacara Adat Heko/Hibu Nyale Dabba atau tangkap nyale oleh seluruh masyarakat Sabu Raijua.
Dalam upacara Heko/Hibu Nyale Dabba, tidak ada ritual kusus yang dilaksanakan seperti pada ritual Nga’a Nyale dan Heko/Hibu Nyale Ae misalnya persembahan sesajian di tiang induk rumah adat. (*)