RINTIHAN SANG YATIM DI NEGERI JIRAN

Ewinda Feni

Penulis: Edwinda Feni

Kisah hidup setiap orang selalu berlainan. Kisah ini berdasarkan fakta. Kemiskinan dan masalah keluarga yang menghantui setiap saat menjadi alasan dimulainya kisah seorang buruh migrant bernama, Rina.

Rina, sulung dari tiga bersaudara. Ia telah menajdi remaja yang hidup  bersama ibunya dan kedua adiknya sementara sang ayah memilih meninggalkan mereka semua demi kekasih lain.

Kehidupan keluarga Rina sangatlah terpuruk. Ibu trauma lantaran kepergian sang suami, kekasih dan belahan jiwa. Trauma ini menjadikannya depresi yang diikuti ganguan jiwa.

Rina memutuskan  untuk putus sekolah ketika ia telah duduk sebagai siswa kelas tiga sekolah menengah pertama. Ia mencoba mengambil alih fungsi ibunya menjadi tulang punggung keluarga. Meskipun ibunya mengalami ganguan jiwa namun terkadang ia pun bekerja, di kebun milik mereka atau membersihkan kebun tetangga atau orang yang membutuhkan tenaga mereka.

Sebagai seorang anak yang menginjak masa remaja merupakan sebuah hantaman keras yang harus dihadapinya mau atau tidak harus tetap dijalani. Adik-adiknya, seorng telah duduk di bangku kelas 1 SMP dan yang bungsu kelas 3 SD.

Kebutuhan kasih sayang dan kebutuhan jasmani lainnya menjadi sebab di antara sebab lain untuk pengambilan keputusan berhenti sekolah. Biarlah adiknya yang melanjutkan karena baginya ia pernah merasakan adanya kasih sayang dari ibu dan bapaknya sebelum mereka berpisah sedangkan adik-adiknya tidak. Hal ini menjadi pendorong pada diri Rina sehinga ia selalu berusaha memberi semangat pada adik-adiknya agar tetap bersekolah.

“Kakakmu sudah berhenti sekolah demi membantu mama, tapi adik berdua harus tetap bersekolah. Kakak mau kalian berdua menjadi guru, sedangkan kakak, biarlah kakak menjaga mama dan membantu tugas-tugas di rumah,”begitulah kata-kata Rina pada kedua adiknya.

Kata-kata tersebutlah yang selalu ia lontarkan pada adik-adiknya. Suatu hari adiknya yang kedua mengatakan niat untuk berhenti sekolah juga. Begini katanya, “Kak, bagaimana kalau saya juga putus sekolah. Biarlah kita mengurus mama secara bersama.”

Rina menolak. Ia tidak mengizinkan adiknya putus sekolah. Pendidikan yang tak berbiaya mesti kita ambil kesempatan itu. Kita tidak boleh abai pada pendidikan gratis, bahkan ada pula bantuan dari pemerintah untuk kebutuhan anak seperti dari program pintar atau program keluarga harapan.

Hari demi hari kedua adiknya bersekolah dan semakin hari mereka bertiga semakin dewasa. Adiknya yang kedua, sebutlah namanya, Rani telah duduk sebagai siswa kelas 2 SMA di kota kecil terdekat dengan desa mereka. Sementara, si bungsu, Muni telah memasuki kelas SMP kelas 1. Sebagai seorang wanita yang masih muda namun sudah mengangung beban seberat itu ia merasakan  tekanan yang luar biasa tapi saat melihat senyum dari kedua adiknya serta ibunya yang sudah tak semudah dulu lagi  maka lenyaplah sudah rasa letihnya.

Suatu ketika  ia merencanakan ingin pergi ke negeri jiran sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia. Ia terobsesi kepergian banyak orang di kampungnya yang sering pergi ke negri jiran dan ketika pulang diceritakan sedang membawa hasil, atau menampilkan diri sebagai orang berhasil.

Kebutuhan semakin tinggi dan kedua adiknya semakin bertambah umur, yang dapat dimaklukan oleh karena secara biologis pertumbuhan para wanita lebih cepat daripada pria. Mereka membutuhkan biaya hidup. Ia meminta ijin pada ibu dan kedua adiknya memohon restu  untuk dirinya pergi ke negeri jiran, keinginannya tersebut seakan menjadi sebuah pukulan berat bagi kedua adiknya namun ia berkata pada adik-adiknya
“Dik kamu yang yang nomor dua sesudah kakak. Kakak harap agar kamu jaga mama dan adik kita yang masih kecil ini. Kakak pergi selama dua tahun, ya.” Begitu pesan Rina pada adiknya Rani.
Serasa hendak berpisah selamanya. Kedua adiknya tak ingin melepaskan kakak mereka. Si bungsu, Mira, menangis dan memeluk kakaknya.

“Kakak, tolong jangan tinggalkan mama dan kami berdua sendiri. Kaka di kampung saja. Saya janji akan lebih rajin lagi bantu kakak. Sekalipun kita makan seadanya saja, asal kita tetap bersama. Saya tidak ingin kaka pergi.”
Kata-kata ini seakan membuat Rina tak ingin menginggalkan mereka semua. Tapi, demi melihat konsdisi ekonomi ibu dan adik-adinya dan kondisi ibunya yang sakit butuh biaya maka ia kuatkan hatinya dan tetap pergi.
Ia pun berkata pada  pada adik-adiknya, “Jangan menangis. Kakak hanya pergi untuk dua tahun. Kakak berjanji, jika kakak di sana dan mendapatkan yang diharapkan, kakak akan kirimkan.

Sang ibu hanya terdiam melihat anak-anaknya saling menguatkan. Ia sungguh depresi sehingga tak sepatah kata pun ia ucapkan. Rina pun mecium mereka sebelum berangkat. Mereka berdoa, memohon perlindungan Tuhan.

Dalam kesedihan itu doa dipanjatkan dengan harapan teramat besar untuk keberhasilan di negeri seberang yang katanya ada harapan besar yang dapat mengubahkan situasi bila tiba dan bekerja di sana.

Sesungguhnya amat berat bagi Rina meninggalkan mereka, namun keputusan telah dijatuhkan, ia tetap pergi dengan diantar Mira si bungsu. Mereka menuju jalan utama di desa itu menanti bis yang seminggu dua kali ke kampong itu dan berbalik lagi ke kota. Mira memeluk erat Rina dan sebaliknya, mereka bertangisan sebelum akhirnya Rina menumpang di bis yang badannya penuh dengan gantungan barang milik para penumpang.

“Mira. Kakak berangkat, ya! Bersama kakakmu, Rani, kamu tolong jaga ibu. Selalu doakan kakak. Saling sayang kamu berdua dan sayangi ibu.” Pesan Rina pada Mira.

Sesampainya di kota, Rina berkumpul dengan teman-temannya yang ingin berangkat. Mereka ditampung di satu tempat penginapan. Mereka pun dibekali beberapa tips untuk bekerja di negeri jiran, berhubung tingkat pendidikan mereka rerata hanya lulusan sekolah menengah pertama. Rina berusaha keras agar semampu-mampunya menyerap tips-tips yang diberikan mentor pada mereka.

Selanjutnya mereka dipindahkan ke tempat penampungan berikutntya untuk selanjutnya diberangkatkan ke negeri jiran dengan masa kontrak selama dua tahun.

Di Negeri Jiran, Rina bekerja pada dengan seorang majikan yang dikenal sangat ketat dan tertib. Sang majikan berkarakter yang kasar. Ia memperlakukan Rina benar-benar sebagai babu. Rina tetap bersabar meskipun sering dimarahi. Sakit di hati dan badan ia tahankan untuk jangka waktu dua tahun sesuai masa kontrak yang telah ditandatanganinya.

Waktupun berlalu. Bulan pertama ia tidak mengirimkan apa yang dijanjikan pada ibu dan kedua adiknya, uang. Pada bulan kelima ia mulai mengirim dan mulai melunasi janjinya pada ibu dan kedua adiknya.

Setahun telah berlalu. Kini ia memasuki tahun kedua masa kontraknya. Berikutnya suatu hari ia merasa hatinya sangat gelisah ia pun sangat takut karena ia merasa hatinya sangat gelisah. Ia pun tidur dalam  tidurnya ia bermimpi bertemu ibunya. Ia tersenyum padanya kemudian ibunya berkata dalam mimpi, “Nak, ibu titip dan jagalah adik-adikmu.” Bayangan dan suara itupun menghilang.

Ia pun tersadar dari mimpinya ia sangat ketakutan. Ia berdoa. Ia pun menerima kabar pada hari berikutnya bahwa ibunya sedang sakit keras dan bahkan telah meninggal. Ia sangat terpukul dan bersedih. Ia ingin pulang, sayang sekali sangat tidak diijinkan. Masa kontraknya belum selesai.

Rina hanya meneteskan air mata dan berkata ibu, “Mengapa begitu cepat kau pergi saya kesini hanya ingin melihatmu sehat kembali seperti dulu. Apa daya. Saya tidak bisa melihat ibu yang terakhir kalinya. Ibu, saya akan berusaha menguatkan hati sehingga  rasa sedih akan pudar. Saya akan berusaha tegar demi adik-adik. Saya akan tekun untuk bangkit. Tuhan, tolonglah saya.”

Di antara celah ruang-ruang kosong dan sepi Rina selalu menangis. Rasanya waktu bergulir lambat. Hari berganti, menuju bulan berakhir, masa kontrakannya pun selesai ia meminta ijin dan sekaligus berpamitan pada majikannya dan uangnya diberikan ia pun pulang ke kampung halamannya. Ia disambut tangis haru dari keluarga dan kedua adiknya.
“Kakak kita sudah tidak punya ibu lagi. Ibu kita sudah pergi untuk selamanya. Kakak, tolong jangan pulang lagi. Kakak biarlah kita bersama disini.”
“Kakak, bapak dan ibu kita telah meninggalkan kita jadi sekarang kita hanyalah anak yatim-piatu. Kakak, tolong jangan pergi lagi. Kami sangat mencintaimu, kakak.”

Rintihan dan ratapan si yatim-piatu sungguh pilu. Mereka pun menjalani hari kehidupan bersama. Rina menjadi kakak sekaligus pengganti orang tua untuk kedua adiknya. Harapan untuk hidup lebih baik di masa yang akan tidak dipetiknya di negeri jiran. Ia berbalik, berusaha di negerinya, di kampung halamannya bersama komunitas masyarakatnya.

Editor: Heronimus Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *