Ketrampilan Membaca
1. Pengantar
Pada acara serasehan Pendidikan yang diselenggarakan oleh Pengurus PGRI Cabang Kecamatan Amarasi Selatan, seorang guru menyentil “kegagalan” pembelajaran membaca permulaan. Fakta bahwa ada siswa lulusan sekolah dasar yang melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP), tetapi belum (tidak) bisa membaca. Ketrampilan membaca pada beberapa anak yang masuk ke SMP sungguh memprihatinkan. Kira-kira demikian apa yang disampaikan oleh sang guru yang kesehariannya sebagai guru bidang studi.
Jawaban sementara atas pernyataan itu adalah, seorang siswa SD yang tidak bisa membaca di kelas rendah terpaksa dinaikkan satu tingkat lebih tinggi oleh karena ia tidak boleh tinggal kelas dua kali di kelas yang sama. Ia terpaksa diluluskan karena sudah berumur di atas 12 tahun ketika berada di kelas ujian (Kelas VI).
Jawaban seperti itu tidak memberi rasa puas pada sang guru, karena tentu saja waktu yang tidak cukup untuk membahasnya lebih lanjut dan mendalam. Maka, tulisan ini semoga memberi sedikit pemahaman bahwa banyak permasalahan yang dihadapi ketika membelajarkan ketrampilan dasar calistung (membaca, menulis berhitung).
2. Problematika Pembelajaran Membaca Permulaan
Membaca permulaan di Sekolah Dasar (SD) berlangsung selama 3 tahun (kelas I, II, III). Intensitas pembelajaran seperti ini berbeda pada satu tingkatan kelas dengan kelas di atasnya. Pada kelas permulaan (Kelas I), siswa diperkenalkan huruf, suku kata, dan kalimat pendek yang berawal dari lingkungan terdekatnya. Diharapkan dalam dua semester siswa telah mengenal seluruh abjad dan selanjutnya mengenal suku kata dan kalimat, bahkan dapat membaca cerita-cerita pendek. Di kelas ini mereka belum diprosebelajarkan kaidah menulis huruf sesuai ejaan yang tepat,kecuali bentuk huruf, tinggi huruf, besar huruf yang tidak sama satu dengan lainnya.
Selanjutnya di kelas II dan III dimana mereka belajar selama 4 semester dengan intensitas waktu belajar Bahasa Indonesia yang besar (8 jam per minggu), maka membaca permulaan ditambah dengan memperhatikan tanda-tanda baca. Siswa bahwa sudah dapat diminta untuk berkreasi membuat kalimat-kalimat pendek. Sejauh ini sudah enam semester mereka belajar membaca dan sekaligus menulis, sehingga mayoritas siswa sudah dapat membaca dan menulis dengan baik.
Sayangnya di antara para siswa seringkali ada yang belum dapat membaca dan menulis dengan baik setelah enam semester belajar membaca (nyaring). Oleh karena itu siswa yang seperti ini sering mendapat “sanksi” tidak naik kelas. Dalam dua semester seharusnya siswa seperti ini sudah mendapat perhatian serius dan khusus agar dapat membaca. Tetapi, siswa seperti ini biasanya dalam jumlah terbatas (1-3 orang) mereka tidak dapat membaca sampai akhir tahun pelajaran. Ketika kenaikan kelas tiba, mereka terpaksa didorong naik kelas karena faktor umur.
Apa permasalahan yang dialami para siswa seperti itu? Najib Sulhan (2006:35-36) mencatat permasalahan itu sebagai kesulitan belajar membaca (disleksia). Ia menulis bahwa ada dua tipe disleksia yaitu, disleksia auditoris dan disleksia visual.
Gejalanya adalah:
• Kesulitan dalam diskriminasi auditoris dan persepsi sehingga mengalami kesulitan dalam analisis fonetik;
• Kesulitan analisis dan sintesis auditoris
• Kesulitan auditoris bunyi atau kata
• Membaca dalam hati lebih baik daripada membaca lisan (nyaring).
• Kadang-kadang disertai gangguan urutan auditoris.
• Anak cenderung melakukan aktivigtas visual.
• Tendensi teralik, misalnya b dibaca d, p menjadi g
• Kesulitan diskriminasi, mengacaukan huruf atau kata yang mirip.
• Memori visual terganggu.
• Kecepatan persepsi lambat.
• Kesulitan analisis dan sinteis visual.
• Hasil tes membaca buruk.
• Biasanya lebih baik dalam kemampuan aktivitas auditoris.
Catatan Sulhan tentu sudah melalui penelitian yang cermat dengan memperhatikan aspek perkembangan psikologis anak. Faktanya, masalah itu bukan pada siswa semata, tetapi juga pada faktor guru. Guru, dalam proses pembelajaran dewasa ini diharapkan memperhatikan kemampuan (potensi) siswa yang beragam dan berbeda. Guru tidak seharusnya menyamaratakan siswa pada satu rombongan belajar. Teori seperti ini rasanya mudah. Aplikasinya menjadi sulit pada guru. Guru mesti merencanakan proses pembelajaran yang variatif ketika harus memperhatikan keberagaman potensi siswa.
Dalam hal ketrampilan membaca (permulaan dan lanjutan), seharusnya menjadi perhatian yang sungguh-sungguh sedari awal. Sekali lagi pengenal huruf, suku kata dan kalimat dengan tema tertentu secara spiralis dimulai dari diri sendiri. Hal ini dimungkinkan karena anak berangkat dari rumah tangga dan pendidikan pra sekolah (TK, PAUD) sekalipun mereka harus mengenal diri mereka sendiri dengan mengasah kemampuan/ketrampilan membaca dan menulis.
Sependek pengalaman penulis, guru kelas rendah dalam proses pembelajaran membaca permulaan sering menggunakan metode yang kurang tepat. Jika menggunakan metode yang tepat pun, masih memperlakukan siswa secara diskriminatif. Kurangnya motivasi dan penghargaan (sikap, tindakan dan tutur positif: pujian) pada siswa yang belajar membaca permulaan. (Butuh penelitian lanjutan tentang hal ini.). Sikap guru kelas yang mengejek (mengatai dengan kata-kata bodoh), menjadi salah satu penyebab siswa menjadi tidak percaya diri.
Hal yang sama berlaku di rumah dan lingkungan bermain anak. Para orang tua, mengatai anak dengan kata-kata yang “membunuh” karakternya. Kata-kata: bodoh dominan diucapkan sejak anak mulai bermain. Ketika anak jatuh karena belajar berjalan, dia dikatai, bodoh. Ketika anak makan, dan makanan tumpah karena sesuatu sebab, anak dikatai, bodoh. Ketika anak salah ucap kata tertentu, anak dikatai, bodoh. Kata: bodoh sudah tertancap kuat pada benak sang anak dari rumah.
Lingkungan bermain anak pun ikut memberi andil pembunuhan karakter. Teman sebaya dalam permainan saling mengatai: bodoh. Mengapa? Kata itu dibawanya dari rumah; dari mulut orang tua dan saudara. Lantas, selanjutnya kata itu dibawaserta ke sekolah. Ketika di sekolah, guru menggunakan kata yang sama untuk anak-anak didiknya. Maka, jadilan pembunuhan karakter secara masif di sekolah. Tidak heran kalau ada anak yang tidak percaya diri. Ketidakpercayaan pada diri itu berdampak luas.
Apa yang penulis amati diteliti, ditulis dan disebarluaskan dalam blog tentang faktor lingkungan rumah dan sosial.
Ketrampian apapun dibutuhkan motivasi yang kuat untuk melakoninya. Ketrampilan dan kemampuan membaca termasuk di dalamnya. Seorang anak yang belajar membaca berangkat dengan tidak percaya diri karena dikatai, bodoh, maka akan berkurang rasa percaya dirinya. Jika mayoritas anak bisa membaca, mereka belum dapat menjadi orang yang mempunyai rasa percaya diri yang cukup. Mereka dapat saja memperoleh banyak informasi dari bahan bacaan (wacana) apapun, namun mereka tidak (belum) mampu mengungkapkannya kembali baik dengan cara bertanya, bercerita kembali, dan lain-lain, ini disebabkan rasa percaya diri yang belum terbangun.
Ini problematika proses pembelajaran di kelas dimana terjadi persentuhan (interaksi) antarguru-siswa, guru-resorsis, siswa-resorsis. Salah satu di antaranya adalah proses pembelajaran ketrampilan (kemampuan) membaca sebagai salah satu kemampuan dasar di samping menulis dan menghitung (calistung/3R).
3. Adakah Solusinya?
Setiap permasalahan pada proses pembelajarn di kelas selalu harus diupayakan untuk mendapatkan jalan keluarnya. Penelitian Tindakan Kelas yang akhir-akhir ini “diwajibkan” adalah salah satu solusinya. Tentang solusi untuk permasalahan disleksia auditoris dan disleksia visual oleh Jana M. Mason (1977) dari University of Illinois mengutip hasil observasi Durkin (1966) menjelaskan secara singkat sebagai berikut: … children who learned to read before enteringschool, determined that early readers had the following similar characteristics or conditions: (1) interest in writing preceded interest in reading,(2) interest in reading was closely connected with the child’s personal life,(3) number and letter interest accompanied learning to read, (4) whole wordreading instruction rather than phonics was given by parents or oldersiblings, (5) parents read to the children frequently, (6) parents interrogated and discussed story and TV topics with children.
Pengamatan Durkin yang dicatat kembali oleh Mason, benar. Sebagian kondisi itu ada di desa-desa di pedalaman Timor. Anak-anak ketika masih berada di rumah, mereka hidup bersama orang tua dan saudara-saudara. Langsung maupun tidak langsung mereka membelajarkan cara membaca dan menulis. Membaca dengan mengucapkan anggota tubuh, menulis dengan mencoret-coret sesuka-sukanya. Mengucapkan bilangan (angka), mengoperasikan hitung-menghitung sederhana sebagai penjumlahan. Anak-anak di rumah belajar bersama saudara mereka, teman bermain mereka. Bila sempat mereka mau membuka-buka buku untuk sekedar melihat (dan membaca) gambar.
Mari penulis mengajak masuk pada permainan anak-anak di rumah. Salah satu permainan menarik adalah bermain masak-masak, yang dalam bahasa Amarasi tao babaf. Pada permainan ini anak-anak memerankan orang tua: ayah, ibu, anak, kakek, nenek, kakak, adik. Mereka melakukannya mirip seperti yang terjadi di dalam rumah. Jika saja banyak orang tua suka dan mempunyai kebiasaan membaca yang dilakukan di depan anak-anak, sangat besar kemungkinan kebiasaan itu dibawa ke dalam permainan mereka dengan teman sebaya, yang akan berdampak pada perkembangan belajar membacanya .
Pada kondisi di sekolah dimana proses pembelajaran membaca (permulaan, lanjutan, bersuara, diam), para guru pada mulanya memperhatikan anak secara satu per satu, per individu. Berjalannya waktu, intensitas ke arah itu semakin berkurang seiring bertambahnya kemampuan membaca anak. Semakin banyak anak yang sudah dapat membaca, anak tertentu yang belum berhasil membaca dengan baik, seringkali ditinggalkan .
Itulah sebabnya ada anak tertentu sampai “lulus” sekolah dasar mereka tidak dapat membaca. Faktor lain tentu saja ikut berpengaruh. Faktor proses pembelajaran dan sikap/perhatian guru terhadap anak satu di antaranya.
4. Penutup
Membaca adalah ketrampilan dasar di samping menulis dan berhitung. Seorang siswa Sekolah Dasar ketika menamatkan jenjang pendidikan dasar sudah selayaknya memiliki tiga ketrampilan dasar itu. Kealpaan terhadap hal ini dapat menjadi pemicu saling tuduh antarlembaga sekolah. Sekolah lanjutan (SMP) akan menuding ke SD sebagai yang telah gagal mengajar anak-anak dalam hal ketrampilan membaca.
Penulis melihat bahwa ada tersirat maksud untuk “menampar” kealpaan kepada para guru SD yang tidak memperhatikan siswa secara tuntas sehingga ada yang lolos dari SD dan melanjutkan ke SMP tetapi belum (tidak) dapat membaca secara baik. Semoga hal ini tidak terjadi lagi.