Maka, Tolonglah Dirimu

Heronimus Bani

Penulis dengan latar Teluk Mutiara, dilihat dari bukit menuju Kepala Burung pulau Alor
Penulis dengan latar Teluk Mutiara, dilihat dari bukit menuju Kepala Burung pulau Alor

Senja mendekat ke bibir peraduannya.
Teluk Mutiara diam dalam bisunya.
Karang-karang di bibir pantai kokoh pada kedudukannya.
Kerikil pantai enggan bergeser dari pembaringannya.

Terdengar suara ramai melengking.
Menggoncang sukma ketika malam menjelang.
Hari telah berlalu ketika suara-suara itu terdengar,
“tolong, tolong, tolong!”
Gerangan apa sang gema menggaungkan teriak minta tolong?

Berbaris datang tua dan muda.
Kesan bijak terlihat dari memutihnya rambut,
Sayangnya uban bukan jaminan kebijaksanaan.
Anggapan lugu pada polosnya wajah licin,
sayangnya sang polos mesti dipoles,
agar kelak nampak berseri.

Adakah gejala sakit pada wajah kusammu?
“Tidak jelas,” Klon memberi jawab.
“Entahlah,” Wersing menggeleng.
“Ya, kami sakit!” Teiwa memastikan.
“Benar. Kami sakit. Sayangnya terapi sedang dijalani, sakit kambuh lagi,” Pura menjelaskan.
“Dan semestinya kita jujur bahwa, kita semua dalam keragaman tubuh sedang sakit. Maka, tolonglah kami,” pungkas Teiwa.

Pada siapa mereka berkisah?
Malam pun enggan menjawab.
Ia bisu membungkus mereka dengan hawa sejuk.
Hantu bergurau di pepohonan.
Menertawakan para pencari pertolongan.
Burung gereja mendengar kasak-kusuk itu.
Ia keluar dari sarangnya dan menurunkan sabda-Nya,
Kamu harus menolong dirimu sendiri.
Kamulah yang mengetahui penyakitmu,
Kamulah yang mengetahui pengobatannya.

Kamu gegabah lagi tak waspada,
Kamu mengenakan raga dan badan orang lain.
Terlebih lagi kamu berbangga di dalamnya.
Padahal bopeng wajah orang itu,
Tak cantik, tak ganteng kamu kenakan wajahnya.

Isi hatimu,
Isi benakmu,
Isi pikiranmu dan idemu,
tampilan ragamu,
adalah dirimu sendiri,
etnismu,
negeri kecilmu,
bahasamu.

Itulah badan dan ragamu yang aseli.
Itulah hakekat yang hakiki dari dirimu.
Itulah martabat dan harga dirimu.
Itulah kearifan dan kebijaksanaanmu.
Maka, tolonglah dirimu sendiri.

Mereka yang mengulur tangan,
Tangannya kecil mudah patah,
Kakinya bertelapak harus melangkah,
Tapak-tapaknya dapat saja terukir.
Sayangnya debu dapat menutupinya,
Ombak di bibir Teluk Mutiara pun akan menggerusnya.
Tertinggallah tapak raksasamu,
Di negeri kecilmu.

Kalabahi-Alor, 2016-05-01

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *