Kritik Bupati Rote Ndao, Pemred Media Online Berita NTT Dipolisikan

Hendrik Geli

Rote Ndao – InfoNTT.com,- Upaya kriminalisasi mengancam pekerja Pers di Kabupaten Rote Ndao, guna membungkam kerja para jurnalis, penguasa tidak segan-segan mempolisikan wartawan yang mengkritik kebijakan pemerintah daerah yang bertentangan dengan aturan.

Hal inilah yang dialami Pemred Berita NTT.com, Hendrik Geli, yang kini dipolisikan Bupati Rote Ndao Paulina Haning -Bullu dengan dugaan pencemaran nama baik Bupati Rote Ndao.

Bacaan Lainnya

Hendrik Geli melalui realesnya kepada media ini, Rabu (19/08/2020) menjelaskan, laporan Bupati tersebut buntut dari Pemberitaan Media Online Berita NTT.com pada Tanggal 23 Desember 2019 dengan Judul “Demi Suami, Bupati Rela Korbankan APBD Tahun Anggaran 2020”. Dalam beritanya Media Online Berita NTT.com mengupas soal sikap pemerintah yang melakukan aksi walk-out dari ruang sidang paripurna DPRD saat pembahasan anggaran untuk Tim Percepatan Pembangunan yang diketuai oleh Suami dari Bupati Rote Ndao, Leonard Haning.

Menurut Hendrik, dalam sidang yang digelar di ruang paripurna DPRD pada bulan Desember 2019 lalu, sejumlah anggota DPRD mempertanyakan soal kewenangan Tim Bupati Untuk Percepatan Pembangunan yang dinilai melampaui kewenangan Bupati dan Wakil Bupati, namun dalam kesempatan itu pemerintah tidak mampu memberikan argumen yang bisa diterima oleh para anggota DPRD Rote Ndao, sehingga DPRD menolak anggaran TBUPP. Akibat ditolaknya anggaran tersebut, Pemerintah Walk-out dari ruang sidang, dan tidak melanjutkan sidang sampai dikeluarkannya Perkada APBD TA.2020.

“Dewan menilai, aksi Walk-out yang dilakukan oleh Pemerintah merupakan tindakan yang tidak elok, beberapa anggota DPRD juga meminta agar Bupati Rote Ndao tidak mengorbankan kepentingan masyarakat hanya karena tidak diakomodirnya anggaran TBUPP yang diketuai oleh suaminya,” ungkap Hendrik yang kembali menjelaskan narasi dalam pemberitaannya.

Mendengar pernyataan yang dikeluarkan oleh beberapa anggota DPRD, Hendrik Geli yang juga Pemred Berita NTT yang saat itu melakukan peliputan langsung mendalami pernyataan para anggota DPRD dengan melakukan wawancara terhadap tiga orang Anggota DPRD Rote Ndao, diantaranya Wakil Ketua DPRD Paulus Henuk, Ketua Komisi A Feky Boelan dan Ketua Komisi C Petrus Pelle.

Usai mewawancarai tiga narasumber tersebut, Pemred Berita NTT kemudian meramunya menjadi sebuah berita dan dimuat pada Media Online BeritaNTT.com. Namun kemudian berita tersebut justru berhujung pada Laporan Polisi oleh Bupati Rote Ndao terhadap Pemred Berita NTT.

Untuk diketahui, Belum lama ini Polisi telah memeriksa Pemred Berita NTT.com dan rencananya pada Rabu, 19 Agustus 2020 penyidik juga akan memeriksa tiga orang anggota DPRD yang menjadi narasumber dalam berita tersebut.

Ketua Jurnalis Online Indonesia (JOIN) NTT, Joey Ribu Ga yang dimintai tanggapannya terkait kasus yang menimpa Pemred Berita NTT.com di Rote Ndao mengatakan, pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik Polres Rote Ndao terhadap Pemred Berita NTT Hendrikus Wilhelmus Heli terkait karya jurnalistik yang dibuat adalah upaya membungkam Pers di Rote Ndao.

”Kenapa? Sebab untuk sengketa Pers, sudah ada jalur yang disiapkan oleh Negara. Ada perangkat hukum yang mengatur itu sehingga jika karya jurnalistik diselesaikan diluar Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, maka sekali lagi itu adalah upaya membungkam pers,” ujar Joey Rihi Ga.

Menurut Joey, perlu dijelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah lex specialis (hukum yang lebih khusus) terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dan juga terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehingga dalam hal terdapat suatu permasalahan yang berkaitan dengan pemberitaan pers, peraturan perundang-undangan yang digunakan adalah UU Pers.

Ditambahkannya, UU Pers adalah ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan kegiatan jurnalistik, mulai dari mencari, memilah, dan memberitakannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers. Oleh karena itu, dalam menjalankan kegiatan jurnalistiknya, wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUHP sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali). Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogate legi generali. Ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan yang umum.

Perlu diketahui bahwa mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh dalam hal terdapat pemberitaan yang merugikan pihak lain adalah melalui hak jawab (Pasal 5 ayat [2] UU Pers) dan hak koreksi (Pasal 5 ayat [3] UU Pers). Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya, sedangkan hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberikan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.

Implementasi pelaksanaan Hak Jawab dapat dilihat pada Pasal 10 Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (“Kode Etik Jurnalistik”) (sebagai kode etik wartawan yang baru), yang menyatakan bahwa “Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa”.

Selain itu, pelaksanaan Hak Jawab dan Hak Koreksi dapat dilakukan juga ke Dewan Pers (Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers). Dikatakan bahwa salah satu fungsi Dewan Pers adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

Karena itu, Jika aparat hukum menjadi perpanjangan penguasa dalam membukam kerja-kerja jurnalis maka patut disayangkan dan tentu para awak media mengutuk perbuatan-perbuatan yang ingin menghalangi kerja pers. (*Tim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *