Mengapa ada parang? Pertukaran budaya Maso Minta (3)

suni' dan opi/besi/pisau, dengan po'uk sebagai pembungkusnya

Gambar berikut berupa oko’mama’, yang diperuntukkan kepada tetua adat/kepala suku. Padanya diberikan tiga bilah parang dengan ukuran berbeda, yang dibungkus dengan po’uk tenunan Amarasi.

suni’ dan opi/besi/pisau, dengan po’uk sebagai pembungkusnya

Parang yang diselipkan itu bermakna, kesiapan anak menantu (laki-laki) untuk berusaha menafkahi isteri dan keluarganya kelak. Ia telah siap raga dan roh untuk menjadi suami.

Dalam tuturan budaya atoin’ meto’ nampak pada kalimat:
“Au ‘naak benas te, naheer een, tua;” atau “Au ‘heir tua’ ate na’oe nrair, tua.” arti harfiah, saya telah kuat memegang erat parang; atau saya telah mampu menghasilkan nira tuak.

Bacaan Lainnya

Kepada para paman (om/baab mone/to’o) dan ipar (kunyadu, baef) diberi hal yang sama dengan makna yang sama.

Kedua ungkapan ini menggambarkan kesiapan seorang pemuda ketika ingin menjadi kepala keluarga. Dalam budaya (ekonomi) masyarakat atoin’ meto’ berladang adalah salah satu usaha yang dominan selain beternak. Perkakas utama orang berladang adalah parang (benas, suni’). Itulah sebabnya, pada masa lampau, ketika seorang pemuda berkunjung ke rumah gadisnya dan orang tua bertanya, “kebisaan” sang bakal calon menantu, maka jawabannya sebagaimana di atas, bahwa ia telah mampu memegang erat parang. Sangat metaforis.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *