Hari itu aku diterbangkan dengan pesawat kelas eksekutif dari kota besar. Aku tidak sendirian di dalam pesawat. Kami berdesak-desakan dalam jumlah yang sangat besar. Setibanya di bandara kami segera diangkut dengan sebuah minibis yang cantik. Pengawalan ketat pada kami. Rasanya akulah yang paling centil di antara penumpang yang berdesakan baik di pesawat maupun di dalam mini bis. Aku mendengar sesama teman saling bercerita tentang apa yang akan terjadi ketika tiba di tangan manusia. Ya…
Aku mendengarkan kata-kata dari si tuan yang terhormat dan mulia. Namanya Seratus Ribu Rupiah (SRR). Wajahnya tampan. Ia berbicara layaknya seorang raja. Kata-katanya lantang berwibawa.
“Saudara-saudara, kita telah diterbangkan dari kota besar yang jauh di sana. Kita tidak sendirian di sini. Kita berkelompok-kelompok. Ada yang diterbangkan ke kota besar yang lain, ada yang diterbangkan ke kota kecil seperti kita. Ingatlah, bahwa kita semua diadakan untuk melancarkan kehidupan ekonomi masyarakat. Masyarakat itu disebut masyarakat ekonomi. Pada mereka ada ekonomi kuat, setengah kuat, dan ada ekonomi lemah. Aku mendengar ada yang menyebut ekonomi lemah gemulai, atau lemah lunglai. Mana yang tepat, itu tidak penting, tetapi ketika kita ada di sana berlakulah bijak, saudara-saudara.”
Wah, rupanya SRR paling mengerti tentang masyarakat ekonomi. Di antara kami muncul seorang pemuda gagah. Ia mengenakan papan nama di dadanya layaknya para executive di perusahaan multi nasional. Pada papan nama itu tertulis Lima Puluh Ribu Rupiah yang diinisialkan menjadi LPRR. Sedikit mendehem sebelum ia angkat suara untuk menyatakan pendapatnya memberi respon atas apa yang disampaikan rekan seperjalanan SRR.
“Saudara-saudara yang terhormat. Kita semua menyadari bahwa manusia melakukan kegiatan ekonomi dengan memanfaatkan kita sebagai pelancarnya. Kebutuhan akan barang dan jasa sudah lasim oleh manusia. Barang dihasilkan dari barang lain yang mereka sebut bahan mentah yang diolah baik secara manual maupun melalui proses semi industri bahkan industri besar. Kita tidak diabaikan karena kita salah satu faktor di antara sekian banyak faktor yang ikut menentukan perjalanan ekonomi suatu masyarakat, apalagi suatu bangsa.” LPRR berhenti sejenak. Rupanya badannya basah oleh air mineral yang terpercik dari botol milik seorang pengawal. Beberapa saat ia mencoba membersihkan badannya dari percikan air mineral. Ia melanjutkan.
“Maaf saudara-saudara. Ada eksiden.” Seluruh penumpang tersenyum. Wajah yang ganteng sedikit memerah.
“Lanjutkan saudaraku.” Suara itu datang dari sebentuk lingkaran yang terbuat dari logam putih tertulis Lima Ratus Rupiah (LRR).
“Baiklah saudara-saudara. Ketika mobil yang kita tumpangi ini tiba di tempat yang ditentukan untuk kita, maka mereka akan membawa kita ke dalam satu gedung yang disebut bank. Nah, di sana kita akan dijaga secara ketat. Tetapi, ada saat dimana kita akan berpisah oleh karena kebutuhan masyarakat pengguna jasa kita. Maka dari itu, kita akan berpisah. Aku mengingatkan saudaraku SRR tubuhmu akan dipecah-pecah, paling tidak akan menjadi dua bagian seperti aku ini. Tubuhmu bahkan akan dipecah sampai sekecil-kecilnya sampai dua ribu bagian. Tapi, SRR saudaraku, kamu akan paling dihormati sehingga akan menempati urutan teratas untuk kebutuhan barang mewah. Pada masyarakat kelas ekonomi lemah gemulai, mereka akan menyayangi kamu sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan memperlakukan kamu secara serampangan. Kamu hanya akan diperlakukan pada saat-saat dimana harga diri mereka harus naik. Sedangkan mereka yang ekonominya kuat, mereka akan mengumpulkan saudara-saudaramu bahkan mengambil jenis seperti kamu dari negara lain menimbun di bank atau di rumah sebagai harta. Kamu sangat diperhitungkan, saudaraku. Martabat manusia naik ketika timbunan hartanya banyak, apalagi didampingi batangan, atau lempengan emas, sampai mutiara.”
“Kamu diperlakukan sama denganku,” jawab SRR pada LPRR.
“Saudara-saudara. Aku sependapat dengan SRR dan LPRR. Sayangnya kita perlu introspeksi bahwa nilai yang melekat pada kita sesungguhnya sama. Nilai itu disebut nilai jual dan nilai tawar. Ada pula yang menyebutkan bahwa kitalah penentu harga jual dan harga tawar. Nah, jadi tidak ada yang lebih hebat dari antara kita, karena pada dasarnya fungsi kita sama yaitu menjadi alat penentu nilai barang untuk dijual atau dibeli. Manusia memang menempatkan diri mereka pada kelas-kelas atau ada yang menyebutnya sebagai stratifikasi/strata/kasta. Pada kasta yang lemah seperti pedagang kecil di pasar-pasar tradisional, buruh tani dan lain-lain yang seperti itu, faktanya kedua saudara kita yaitu SRR dan LPRR menjadi incaran untuk dimiliki, dengan menggunakan jembatan seperti saya dan saudara-saudara yang lain yang kelasnya di bawah saya. Padahal untuk mendapatkan SRR dan LPRR sangat tidak mudah.” Suara itu kedengaran tetapi tidak kelihatan rupa.
“Hey, … siapa yang bicara dari antara kerumunan itu. Ayo tunjukkan rupa dan bentukmu!” suara keras dari SRR.
“Permisi. Permisi.” Suara itu meminta jalan.
Ternyata yang muncul adalah Sepuluh Ribu Rupiah. Ia tersenyum pada SRR. Rupanya antara keduanya ada kesamaan. Sama-sama disebut SRR tapi beda besaran.
Berselang beberapa detik kemudian muncul Dua Puluh Ribu Rupiah (DPRR). Ia berlagak layaknya anggota dewan yang terhormat di semua level republik. Senyum di wajahnya terlihat artistik laksana para selebriti di layar televisi. Posisi berdirinya dibuat laksana para cowboy bertopi keren pada film-film eksen produk Hollywood.
“Mohon ijin saudara-saudara. Dapatkah aku nimbrung memberi opini di sini?” Tanya DPRR.
“Sudah kukatakan sebelumnya. Tidak ada yang lebih hebat di antara kita. Kita ini sama nilai beda pada besaran. Baiklah kuperjelas. Nilai kita disebut nilai intrinsik dan nilai nominal. Nah, sekarang siapapun boleh berbicara dalam forum yang terhormat ini dalam limit waktu terbatas, mengingat kita akan segera tiba di lokasi dimana kita akan dikerangkeng untuk sementara waktu sambil menunggu pembebasan dari tangan pelaku ekonomi lemah lunglai, setengah kuat dan kuat. Bagaimana jelas?” Penjelasan tambahan dari SRR kedua yang diakhiri pertanyaan.
“Baiklah. Begini opiniku. Sepanjang sejarah uang, kita datang sesudah manusia sudah tidak lagi menukar barang dengan barang. Mereka sebut barter. Mereka menemukan leluhur kita yang mula-mula dipakai adalah logam. Namun, karena logam yang diberi nilai nominal itu bila dibawa kemana-mana sangat berat, maka dipakailah kertas dengan nilai nominal yang berbeda-beda. Maka dari itu kita beda besaran, tapi punya nilai yang sama yaitu nilai intrinsik.” DPRR melirik pada tumpukan logam di sampingnya. Ia melempar senyum. Para logam yang ditumpuk rapi di sana merasa mendapat angin haluan karena merekalah yang digunakan pada mulanya ketika uang dipakai.
DPRR melanjutkan, “Kita tidak perlu berdebat layaknya acara talk show di televisi swasta yang hendak mempopulerkan host dan tokoh. Aku menyarankan, mari kita ikuti saja permainan para pelaku ekonomi. Tokh, kita ini baik deflasi, inflasi dan paket kebijakan ekonomi apapun, kita tetap akan bermain di sana. Presiden, Perdana Menteri, Raja, Emir atau kementerian ekonomi dan lain-lain tetap akan mempertimbangkan sebaik-baiknya agar nilai tukar kita seimbang dengan nilai tukar uang negara lain atau akan lebih baik jika nilai tukar kita lebih kuat dari mata uang asing. Jika itu terjadi negara dan bangsa akan kuat ekonominya dan diperhitungkan di kawasan bahkan dunia ekonomi global.”
Tiba-tiba terdengar suara, “Braaak.”
Semua mata uang beramai-ramai mempelototkan mata ke arah rubuhan. Mereka mau menyaksikan apa yang tejadi. Seorang petugas segera mengumpulkan recehan seribuan yang berjatuhan di lantai mobil. Oh, ternyata ada tiga recehan seribuan jatuh dari saku baju seorang pengawal mobil itu. Salah satu di antaranya sempat berbicara sebelum dipungut untuk dimasukkan kembali ke dalam saku baju pemiliknya.
“Halo saudara-saudara.” Ia sempat melemparkan pandangan kepada semua tumpukan uang. Ia melihat ada tumpukan seratus ribuan, lima puluh ribuah, dua puluh ribuan, sepuluh ribuan, lima ribuan, dua ribuan. Semuanya terbuat dari kertas pilihan. Di pojok mobil itu ada pula tumpukan uang seribuan, lima ratusan, dua ratusan dan lima puluhan yang terbuat dari logam.
“Halo saudara-saudara, aku hanya seribuan logam. Aku sama dengan mereka yang di pojok sana terbuat dari logam. Nilai nominal kami tidak banyak. Tetapi, kamilah yang dapat memecah-mecah tubuh kalian yang terbuat dari kertas. Kami dipakai sebagai penukar kamu semua. Karena itu, baiklah kita menunggu saja saat yang tepat ketika tiba di tangan para pedagang kecil di pasar. Huk… huk… . ” Suaranya terhenti karena telah dipungut di tangan pemiliknya. Setibanya di bibir saku baju, ia masih sempat melemparkan senyum pada seluruh rekan yang tertumpuk rapi di dalam mobil itu.
Amarasi Raya, 04/06/2016