Sisa Pembayaran Dipertanyakan, Pembangunan GOR Kabupaten Kupang Tanpa Kontrak Lanjutan

Anton Natun

Kupang-InfoNTT.com,- Proyek Pembangunan Gedung Olahraga (GOR) Kabupaten Kupang – NTT, yang terletak di Desa Oelpuah, Kecamatan Kupang Timur, tahun 2019 lalu menuai masalah. Nilai proyek tersebut sebesar Rp 11 miliar.

Haji Mohamad Darwis kontraktor pelaksana proyek kemudian menggugat Bupati Kupang, Korinus Masneno dan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kupang, Seprianus Lau di Pengadilan Negeri (PN) Oelamasi. Perkara tersebut didaftarkan pada Januari 2022 dengan nomor 5/pdt.g/2022/PN.OLM

Bacaan Lainnya

Gugatan ke PN Oelamasi ini dikarenakan adanya dugaan sisa dana Rp 5 miliar yang tidak kunjung dibayar oleh Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kupang kepada pihak ketiga setelah proyek selesai dikerjakan.

Namun kasus tersebut kemudian berakhir damai ditahap mediasi oleh hakim mediator PN Oelamasi. Hal ini kemudian memantik reaksi dari masyarakat Kabupaten Kupang.

Anton Natun, salah satu tokoh Amarasi dan juga anggota DPRD Kabupaten Kupang kepada media ini, Rabu (06/04/2022) di kediamannya mengatakan, kasus atau persoalan GOR Kabupaten Kupang sudah menjadi pembicaraan banyak pihak. Sehingga persoalan ini kemudian terjadi gugat mengugat antara pihak ketiga dan pemerintah.

“Mengapa terjadi seperti ini? Kita harus lihat secara baik. Yang pertama tentu ada pemahaman kebenaran kedua pihak, yang mana kontraktor dan pemerintah sama-sama merasa benar, sehingga langkah yang diambil adalah jalan yang benar yaitu biarlah pengadilan memutuskan sesuai koridor hukum yang berlaku,” ujarnya.

Menurut Anton Natun, dengan pihak ketiga menggugat pemerintah berarti tabir dan tabur kebenaran yang akan mengungkap titik masalahnya, dan ini akan memberikan pembelajaran bagi masyarakat persoalan yang sebenarnya.

“Namun kemudian yang saya lihat terjadi mediasi. Mediasi tentu kita harapkan agar pengadilan menganalisa mediasi ini secara baik, sehingga jangan kemudian membuat satu persoalan yang akan menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. Artinya mediasi ini adalah satu mekanisme penyelesaian perkara yang dilakukan oleh pengadilan, sehingga mediasi kemudian bisa menyelesaikan dengan tidak membuka pokok perkara secara menyeluruh, tapi kita berharap hasil mediasi ini tidak bertentangan dengan undang-undang nantinya,” tegasnya.

Politisi Hanura ini mengungkapkan, persoalan pembangunan GOR Kabupaten Kupang ada pada proses atau mekanisme dalam pelaksanaan yang menyalahi aturan. Ini yang mestinya dicerna secara baik.

“Jika kita bicara hutang, kalau pemahaman lain mungkin bisa, tapi menurut saya ini penuh kehati-hatian, karena kalau hutang biasanya pihak ketiga bersama pengguna anggaran sudah melakukan PHO. Saya tidak tahu GOR Kabupaten Kupang sudah PHO atau belum kalau bicara hutang? Tapi kalau kita bicara persoaan ini yang sifatnya ada kelalaian-kelalaian, maka perlu mencerna secara baik, dari kontrak awal sampai dengan PHK perlu diketahui presentasenya sampai mana,” jelasnya.

Selanjutnya, dikatakan kelalaian karena jika dicerna sampai ke akhir kontrak, sejak kontak hidup dan kontrak mati itu perlu dilihat sehingga tidak terjadi kesalahan. Jadi kontrak ini mati setelah adendum maka terjadi PHK, jadi kemudian terjadi PHK, berarti hubungan antara pengguna anggaran dan pihak ketiga putus. Artinya sebelumnya mulai dari pelaksanaan awal sampai pada PHO kontrak hidup.

“Nah ini ada satu persoalan lagi. Kalau kemudian dianggap ada utang 5,8 miliar dasar perhitungannya dari mana? Kalau kemudian mereka menganggap itu dasar nilai sisa pelaksanaan yang belum dibayarkan, menurut saya sabar dulu, karena nilai sisa itu bisa dikatakan 5,8 miliar apabila kontrak hidup, tapi kalau kontrak tidak hidup, kemudian ada pihak ketiga mengklaim pemerintah belum membayar 5,8 miliar, pertanyaan saya dasarnya dari mana? Jadi pelaksanaan setelah PHK, ada kesepakatan antara penguna anggaran dan pihak ketiga itu tidak bisa menjadi pedoman,” ujar Anton Natun.

Dirinya pempertanyakan apakah dasar perhitungan untuk pembayaran 5,8 miliar ini dari sisa kontrak yang belum dibayarkan atau hutang dari pada pihak pemerintah terhadap pihak ketiga, karena menurut Anton Natun dua hal ini berbeda. Jika hutang berarti proyek tersebut sudah selesai sesuai perintah kontrak. Namun jika yang terjadi pekerjaan tersebut tanpa kontrak, maka dasar pembayarannya tidak ada, karena dasar pembayaran merujuk pada adanya kontrak atau kontrak hidup.

“Kalau kemudian dianggap pemerintah wanprestasi, menurut saya tidak juga. Wanprestasi itu bisa diberikan kepada satu pihak apabila kontrak hidup, tapi kalau kontrak mati tidak bisa. Jadi kita perlu cerna secara baik masalah ini, sehingga juga memperhatikan hasil audit BPK kemudian advis hukum KPK,” jelasnya.

Anton Natun meminta agar hasil mediasi itu dicernah secara baik sehingga hasil mediasi tidak membawa persoalan di kemudian hari, karena persoalan ini (Pembangunan GOR Kabupaten) tidak bisa disamakan dengan persoalan perdata lainnya. Hal ini dianggap penting agar hasil mediasi tidak melanggar aturan.

Politisi senior ini menyarankan, jika pemerintah ingin membayar maka perlu ada perhitungan, bila perlu undang auditor untuk melihat hal ini, yang kemudian tidak mengabaikan hasil rekomendasi BPK maupun hasil rekomendasi lainnya. Ini harus dicatat. Karena bisa dikatakan pemerintah wanprestasi jika kontrak hidup, acuannya kontrak. Namun kesepakatan antaran pengguna anggaran dan pihak ketiga tidak bisa menjadi satu indikator.

“Saya melihat proses menuju pembayaran tidak ada keberanian dari pemerintah, karena tentu ada analisa-analisa yang bertentangan dengan aturan yang ada, tapi kalau pemerintah menerima hasil mediasi ini, kenapa dari dulu tidak bayar kalau dianggap sudah sesuai aturan yang ada. Ingat lagi bahwa mau bayar lima miliar ini dasarnya dari mana? Apakah pakai kontrak yang sudah di PHK atau memakai hasil kesepakatan dengan pengguna anggaran karena tidak ada kontrak lanjutan,” tanya Anton Natun.

Dirinya berharap hal ini harus dipahami sebaik mungkin, yang mana jika pemerintah ingin membayar kepada pihak ketiga maka kontrak sebagai indikator utama. Namun jika kemudian ada kesepakatan yang dibuat pemerintah lalu pihak ketiga melaksanakan tanpa kontrak maka ini preseden buruk bagi pemerintah.

“Jangan sampai hasil kesepakatan pengguna anggaran dan pihak ketiga yang dianggap sebagai indikator utama untuk membayar 5,8 miliar. Saya menyarankan hal ini agar di kemudian hari tidak menimbulkan persoalan hukum baru,” tandasnya.

Laporan: Chris Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *