Dominggus Atimeta Pastikan Kepala BWS Nusa Tenggara II Cederai Visi Presiden Jokowi

Kupang-InfoNTT.com,- Masyarakat terdampak dari pembangunan Bendungan Tefno Manikin di Kecamatan Taebenu, Kabupaten Kupang kembali mempertanyakan proses ganti rugi yang belum terlaksana hingga saat ini. Hal ini disampaikan salah satu tokoh masyarakat Desa Bokong, Dominggus Atimeta kepada media ini, Kamis (17/02/2022) di kediamannya.

Dominggus Atimeta mengungkapkan kekecewaan terhadap pernyataan dari Kepala Balai Wilayah Sungai (BWS) Nusa Tenggara II (NT-II) beberapa waktu lalu di media, yang mana Kepala BWS meminta Pemkab Kupang bertanggungjawab terhadap berbagai persoalan yang terjadi pada proses pembangunan Bendungan Tefno Manikin.

Bacaan Lainnya

“Saya secara pribadi sangat menyesal dengan pernyataan seorang Kepala BWS NT-II, bahwa ketika terjadi pemblokiran jalan baik itu di Desa Bokong dan juga di Desa Baumata Timur, dia menyalahkan Pemerintah Kabupaten Kupang untuk harus bertanggung jawab. Saya sendiri berpikir, ini pernyataan-pernyataan keliru atau ada tendensi apa dibalik pernyataan ini,” tanya politisi muda ini.

Anggota Komisi III DPRD Kabupaten Kupang ini menjelakan konteks pemblokiran jalan di wilayah bendungan, bahwa pemblokiran bukan berarti masyarakat menolak atau tidak menyetujui pembangunan tersebut, namun masyarakat ingin memastikan bahwa janji manis BWS terkait persoalan ganti rugi harus segera dituntaskan.

“Tuntutannya agar segera proses ganti rugi lahan-lahan warga yang sekarang sudah di obrak-abrik oleh BWS. Kalau kami tidak mendukung kenapa proses sejak awal tidak kami ganggu? Ini pekerjaan sudah jalan tapi haknya masyarakat belum diselesaikan. Lantas ketika masyarakat memblokir jalan, lalu muncul pernyataan Kepala BWS NT-II bahwa yang harus bertanggung jawab adalah Bupati Kupang. Pertanyaannya, Bupati Kupang mau bertanggungjawab terkait apa,” ungkap Dominggus.

Menurut Dominggus, mestinya BWS sabagai kepala teknis di lapangan, ketika menemui persoalan, maka wajib membangun koordinasi bersama antara Pemkab Kupang, Pemprov NTT dan juga warga terdampak, bukan saling melempari kesalahan seperti ini.

“Sampai dengan hari ini, saya dan warga tidak mengetahui Kepala BWS NT-II itu yang mana. Karena sejak ini dibangun hingga muncul berbagai persoalan Kepala BWS NTT tidak pernah turun ke lapangan untuk menemui warga terdampak, ini sama dengan mempermalukan Presiden bersama dengan program strategis nasional. Saya juga patut berasumsi bahwa ini pernyataan seorang pimpinan yang hanya duduk di belakang meja saja dan tidak mengetahui secara pasti kondisi lapangan. Kepala BWS hanya menerima laporan anak buahnya artinya laporan tersebut asal bunyi alias asal bapa senang,” tegasnya.

Ditambahkannya, Kepala BWS NT-II juga dipastikan tidak tahu sejumlah perjanjian yang dibangun oleh BWS kepada masyarakat terdampak, bahwa akan ada proses ganti rugi, lalu hingga saat ini tidak ada titik terang bahkan informasi pun kabur. Ini pertanda bahwa BWS menipu warga terdampak pembangunan Bendungan Tefno Manikin. Dari tahun 2019 sampai 2022 janji itu tidak pernah ditepati. Bulan April 2021, pihak BWS turun melakukan pengukuran atau pematokan di lahan-lahan masyarakat yang terdampak akibat pembangunan bendungan, namun selanjutnya tidak ada kabar. Jadi pemblokiran ini adalah wujud tuntutan warga, kapan akan mengganti ruginya. Jadi Kepala BWS NT-II diharapkan turun langsung menemui warga masyarakat agar tidak ada manuver lain dalam persoalan ini.

“Saya menilai bahwa dengan pernyataan liar di media, maka kepala BWS NTT sedang mempertontonkan atau menunjukan kalau dia bukan pelaksana teknis. Jangan menuduh Pemkab Kupang, karena Kepala BWS NT-II harus tahu bahwa sampai dengan hari ini Bupati Kupang belum datang untuk bangun kesepakatan dengan masyarakat setempat terkait pembangunan bendungan Tefno Manikin,” tegasnya.

Dirinya pun meminta agar Kepala BWS NT-II menarik kembali pernyataan yang menyalahkan Pemkab Kupang, karena pernyataan yang dimaksud tersebut seolah-olah pihak BWS ingin ada benturan antara Pemkab Kupang dan masyarakat terdampak, dan hal itu sangat tidak masuk di akal sehat.

Dominggus juga menceritakan, bahwa pada tahun 2019 ada pembahasan kajian di Hotel Neo Kupang yang melibatkan perutusan dari delapan desa untuk bersama-sama dengan pemerintah membahas segala proses pembangunan bendungan agar bisa berjalan dengan baik, dan itu dibuktikan diawal kerja yang mana koordinasi berjalan dengan baik. Namun setelah ada suara terkait ganti rugi, pihak BWS lalu menutup diri dengan berbagai janji yang pada akhirnya tidak ada satupun yang terealisasi.

Lanjutnya, Presiden harus tahu fakta lapangan bahwa lahan masyarakat sudah diobrak-abrik sekian lama termasuk 62 keluarga yang rela meninggalkan kampung mereka. Lantas di mana BWS? Tidak ada empati sedikit pun dari BWS, bantuan sembako atau bantuan lain-lain pun tidak ada. Gara-gara bendungan itu 62 keluarga di Maubesi tidak beraktivitas, berkebun dan bersawah secara baik, malahan dirinya yang berusaha cari solusi. Kemudian masyarakat protes dengan melakukan pemblokiran jalan, pihak BWS lalu mengatakan bahwa Pemkab Kupang yang harus bertanggungjawab.

“Kalau pihak BWS merasa hanya pelaksana proyek, maka bangun saja bendungan di langit atau di tengah laut jangan di tanah masyarakat. Kepala BWS ini tidak paham kondisi rakyat, buat susah rakya saja, kami berusah memberikan kontribusi bagi pembangunan ini tetapi malah dibuat tidak manusiawi begini, lalu menuduh Bupati Kupang yang harus bertanggungjawab terhadap proses ganti rugi. BWS yang harus koordinasi karena sebagai pelaksana Atek di di lapangan atau perpanjangan dari kementerian,” ungkap Dominggus.

Dominggus Atimeta

Dirinya juga memperingatkan Kepala BWS NT-II, bahwa yang masyarakat harapkan adalah bangun koordinasi dengan pihak-pihak yang bertanggubgjawab baik itu Pemkab Kupang dan Pemprov NTT.  BWS sebagai perpanjangan tangan dari kementerian PU harus bisa menjadi mediator untuk mencari solusinya. Jangan membuat bola liar lagi seperti yang terjadi di Desa Kuaklalo dan Oeletsala bahwa seolah-olah masyarakat menolak pembangunan dan masyarakat disalahkan, kenyataannya tidak seperti itu.

“BPN turun melakukan pengukuran lahan yang terdampak, lalu BPKH (Balai Pemantapan Kawasan Hutan) juga turun melakukan pematokan bahwa ini kawasan hutan. Ini sangat membingungkan kami masyarakat. Artinya jika memang koordinasi formalnya tidak berjalan baik, maka minimal koordinasi persuasif. Jangan tonjolkan egoh sektoralnya tinggi maka masyarajat yang terkenah imbas,” ujarnya.

Dominggus juga memastikan, pemblokiran akses jalan masuk ke bendungan ini akan ditutup sampai ada kejelasan. Silahkan Kepala BWS NT-II turun bertemu masyarakat, jika tidak maka akan ada tindakan selanjutnya. Tapi yang pasti, bahwa Kepala BWS NT-II jangan sekali-kali menyalahkan Pemkab Kupang ataupun masyarakat terdampak, karena sebenarnya seorang pimpinan tahu akan persoalan ini.

Dirinya bersama masyarakat terdampak sangat mendukung penuh program dari visi Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden terpilih 2019-2024, bahwa berbagai terobosan harus dapat membawa Indonesia menghadapi tantangan fenomena global yang dinamis, cepat, kompleks, berisiko, dan penuh kejutan. Salah satunya adalah.

Lanjutnya, tentu pembangunan bendungan ini memiliki peran sangat penting, yakni untuk pengendalian banjir, untuk mengairi sawah, air irigasi dan penyediaan air baku. Namun terlepas dari hal tersebut, hak sebagai masyarakat terdampak yang mengorbankan lahannya pun harus dipikirkan oleh pemerintah melalui BWS NT-II, bukan malah mencederai visi dari Presiden.

“Kami sebagai pemerintah desa, kabupaten dan provinsi tahu dan pastinya punya kewajiban mendukung Program Strategis Nasional sebagai visi dari Presiden Jokowi, dan hal itu sudah kami buktikan, sejak 2019 hingga 2022 semua masyarakat mendukung, tetapi yang harus dipahami dan membuat warga masyarakat kecewa adalah proses ganti rugi yang berbelit. Beberap kali kami sudah melakukan pertemuan, bahkan tahun 2021 kemarin dari komisi III DPRD Kabupaten Kupang turun bertemu pihak BWS dan juga dari warga dari 62 keluarga di Maubesi, dan jawaban dari WBS bahwa SK tim appraisal sudah terbentuk dan 2 minggu kedepan akan turun melakukan penilaian terhadap lahan yang ada, nyatanya ini hanya penipuan,” ungkap Dominggus Atimeta.

Dirinya juga menyampaikan, pertemuan dan pemblokiran jalan adalah langka-langka yang ditempuh oleh warga terdampak untuk mencari keadilan dan titik dari dari proses ganti rugi. Jika pihak BWS tidak bereaksi untuk tuntaskan masalah ini, maka langkah lain akan dipakai. Kasus ini akan disuarakan sampai ke Presiden sehingga pemerintah pusat jangan menilai bahwa seolah-olah masyarakat yang tidak menginginkan untuk ada PSN di Kabupaten Kupang.

“Kita bisa saja berasumsi bahwa Kepala BWS NT-II mempermalukan nama baik Presiden sendiri, terbukti dari pernyataannya tanggal 14 Februari kemarin, seolah-olah tidak mau bertanggungjawab terhadap masalah lahan warga, sehingga berani mengatakan Bupati Kupang bertanggungjawab. Memangnya ini ABPD II? Kalau ini APBD II, jangankan Bupati, saya juga wajib dan harus bertanggungjawab, karena sesuai perintah UU saya sebagai anggota DPRD juga adalah bagian dari pelaksana kebijakan pemerintahan  daerah,” katanya.

Dominggus juga meminta Kepala BWS NT-II untuk menarik kembali pernyataan yang keliru dan menuduh pemerintah daerah. Seharusnya Kepala BWS NT-II fokus menyelesaikan ganti rugi warga yang dananya berkisar 180 miliar rupiah tersebut. Selanjutnya bisa melanjutkan proses PSN ini hingga tuntas dengan baik. Jangan mengeluarkan stetmen liar yang hanya ingin memperelok kondisi tanpa tahu keadaan masyarakat terdampak.

  • Pemakaman Umum Tertimbun Material Proyek

Pernyataan dari Kepala BWS NT-II menyangkut pemakaman umum warga (kuburan), Dominggus Atimeta kembali memastikan bahwa pihak BWS sudah kembali melakukan penipuan. Di mana penipuan yang dilakukan bukan saja kepala masyarakat yang masih hidup tetapi juga kepada orang yang sudah meninggal.

“Saya merasa BWS sudah melakuan penipuan untuk ke sekian kalinya, bukan hanya kepada kami yang masih hidup, tapi juga kepada leluhur-leluhur kami yang ada di kuburan itu. Seratus lebih kuburan yang ada di wilayah pembangunan bendungan kini sudah tertimbun lumpur akibat penumpukan material, yang mana hujan turun dan material tersebut menutup permukaan kuburan,” ungkapnya.

Menurut Dominggus, sudah ada kesepakatan relokasi pemakaman bersama pihak BWS, dan lahan yang disiapkan untuk dipindahkan akan disiapkan secara gratis oleh warga. Tetapi masih ada tawaran dari pihak BWS dengan harga per kuburan 5 juta rupiah. Kenapa bisa beda harganya dengan tempat lain, bukannya harga untuk kuburan berlaku secara nasional yakni dari 20 juta hingga 25 juta per kuburan.

“Lahan yang kami siapkan untuk relokasi kuburan itu gratis dan kami sudah menyiapkan tempatnya. Jantung sudah dikasih, hati sudah dikasih, lalu minta paru-paru lagi. Ini bukan binatang yang harus ditawar. Saya jujur, bahwa sepanjang tidak ada niat yg baik maka saya pastikan pemblokiran jalan akan terus berlanjut sampai dengan waktu yang tidak ditentukan. Untuk pemblokiran jalan itu, di Baumata sudah masuk minggu ketiga dan di Bokong sudah masuk minggu kedua. Namun sampai hari ini tidak ada koordinasi dari BWS terhadap masyarakat terdampak,” ujarnya.

Dirinya menegaskan agar pihak BWS segera turun dan temui masyarakat untuk bicara  persoalan ini secara langsung, biar dapat titik terangnya, dan jangan membuat warga sakit hati seolah-olah masyarakat yang salah.

“Terakhir saya sangat tidak setuju kalau pernyataan Kepala BWS NT-II seakan-keakan warga Desa Kuaklalo dan Oeletsala yang salah. Karena itu saya berkesimpulan bahwa yang menciptakan persoalan ini adalah BWS sendiri, bukan Masyarakat. Jadi pimpinan BWS harus turun dan temui kami bukan hanya duduk di dalam kantor lalu dengar laporan,” tandasnya.

Laporan: Chris Bani

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *