Oknum Guru yang Ditersangkakan Diplontos dan Sekolah Dengan Masalah Feses

gambar diunduh dari merdeka.com

Oknum Guru yang Ditersangkakan Diplontos dan Sekolah Dengan Masalah Feses

Pengantar

Heronimus Bani

Siapa sangka ekskul pramuka dengan item susur sungai berakhir tragedy. Siapa sangka pula tragedy itu menghadapkan oknum guru ke ranah hukum? Orang tua mana yang pernah menduga bahwa anaknya ke sekolah lalu akan mengalami peristiwa kehilangan untuk selama-lamanya? Dan sejumlah pertanyaan lainnya berkecamuk di otak dan benak siapapun. Lalu dari aspek mana orang mulai berdiskusi. Itulah kira-kira sudut pandang individu dan komunitas. Para orang tua siswa, pegiat dan pemerhati anak mempunyai sudut pandang tersendiri pada tragedy Susur Sungai SMP Negeri 1 Turi Sleman Yogyakarta ini. Begitu pula guru, politisi, birokrat Pendidikan, dan banyak pemangku kepentingan jika hendak menyampaikan opini, tentulah dari sudut pandang dan latar dirinya.

Bacaan Lainnya

Sementara itu, dunia Pendidikan di Nusa Tenggara Timur pun geger. Sebanyak 77 satu seminari, sekolah para calon imam di Maumere, Sikka, dikabarkan “diberi makan” feses. Berbagai tanggapan terhadap hal ini. Lagi-lagi, dari sudut pandang mana orang memberi opininya, dari sanalah orang berasumsi bahwa itu pandangan pro atau kontra.

Kepala Plontos Oknum Guru

Tragedi Susur Sungai itu telah terjadi. Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta telah menetapkan 3 tersangka[1], yang terdiri dari dua orang guru dan seorang Pembina pramuka[2]. Sebagai warga negara yang taat hukum, mereka kini berada di tangan aparat penegak hukum demi proses hukum sampai status mereka menjadi jelas dan terang menurut pengadilan yang adil seadil-adilnya. Itulah yang kini sedang dihadapi oleh ketiga tersangka itu. Banyak media baik menyoroti hal ini. Arus opini public atas tragedy itu masih terus berlangsung, antara menyesalkan kelalaian guru dan berempati dalam kedukaan pada para keluarga yang kehilangan anak. Ini suatu hal yang sangat manusiawi.

Di dunia maya khususnya pengguna media sosial feisbuk dan wats-app (Facebook dan WhatsApp), terjadi diskusi antara pro dan kontra atas perlakuan apparat kepolisian terhadap ketiga tersangka. Bahwa mereka telah ditersangkakan, itu bukan sesuatu yang harus diperdebatkan. Mereka tidak melarikan diri. Mereka, oknum guru yang lalai ketika bertugas pada saat itu.  Sayangnya, arus opini di kalangan kaum guru sendiri tak terhindarkan. Semua guru mau berpihak pada penegakan hukum terhadap kelalaian ketiga oknum guru itu, walau tak sedikit pula yang menyayangkan tindakan dimana mereka yang ditersangkakan itu kepalanya digunduli atau diplontos.

Di sini sikap simpati dan empati muncul. Dikabarkan bahwa oknum Pengurus PGRI Daerah Istimewa Yogyakarta sempat melakukan protes melalui aplikasi Instagram[3]  Walau “protes” itu sifatnya pribaadi dan telah dihapus, tetapi, pihak kepolisian tetap melakukan pemeriksaan terhadap mereka yang menangani masalah ini. Bila terjadi kesalahan dalam penanganan yang melanggar standar operasional prosedur, maka akan diambil tindakan. Walau demikian, ketiga tersangka telah meneima perlakuan sebagai tersangka, dimana kepala mereka diplontos, lalu mereka mengenakan pakaian ketersangkaan berwarna oranye. Menurut beberapa orang guru, hal itu layaknya mereka itu tersangka pembegal atau koruptor. Media-media sosial justru membuat perbandingan gambar para koruptor yang mengenakan rompi oranye sambil tertawa dan mengacungkan tangan, kepala mereka tetap berambut rapih sebagaimana mereka masuk ke ruang pihak penyidik. Sementara ketiga tersangka sudah diplontos, keluar untuk memberikan keterangan pers dengan wajah tertunduk, malu, dan menyampaikan permohonan maaf yang belum tentu segera dimaafkan oleh para orang tua siswa dan masyarakat.

Mereka oknum yang berprofesi sebagai guru. “Kelas” diri mereka menjadi “direndahkan” ketika kepala mereka dibuat jadi gundul atau plontos. Itulah di antara pandangan yang tidak setuju oknum guru ditersangkakan lalu kepalanya mendapatkan perlakuan demikian. Begitu pula dengan pakaiannya.

Tetapi, siapakah para guru di Indonesia yang segera “turun ke jalan” melakukan aksi demonstrasi untuk memprotes perlakuan terhadap anggota guru seperti itu? Komunitas guru mungkin baru protes jika kesejahteraannya kurang mendapatkan jaminan dari pemerintahan yang sedang berjalan. Komunitas guru mungkin baru “turun ke jalan” bila hak-haknya dipreteli, sementara bila ada satu atau beberapa anggotanya terantuk, jatuh hingga kedalaman tertentu, siapakah yang berdiri di sana untuk menolong? Mereka hanya berdiri di kejauhan atau di bibir jurang dan berteriak, “ayo, naik! Kami menunggumu, di sini!”

Diskusi-diskusi yang dibangun oleh grup-grup feisbuk dan wats-app tidak dapat secara utuh dipakai sebagai acuan untuk mengantar orang baik sebagai individu maupun komunitas dalam organisasi semisal PGRI untuk memperjuangkan pembelaan kepada para tersangka. Nampaknya ketiga tersangka pasrah. Mereka rupanya tidak memilih untuk mendapatkan pendampingan dari penasihat hukum, (setidaknya ketika tulisan ini saya buat belum ada kabar tentang pendampingan itu).

Kini mereka akan berhadapan dengan hukum. Ruang pengadilan sedang menanti mereka di sana dalam beberapa waktu ke depan. Mereka akan didakwa, dan bila mungkin ada penasihat hukum, akan ada upaya memberikan pembelaan yang paling kurang akan meringankan hukuman kepada mereka. Para saksi akan memberikan kesaksian secara jujur tanpa upaya untuk lebih mendiskreditkan para tersangka di muka para pengadil, yaitu, hakim.

Sidang-sidang akan mendapat perhatian public oleh karena para pekerja media akan mengawal kasus ini sampai tuntas. Tuntasnya itu ditunjukkan dengan keputusan pengadilan dan eksekusi yang diberlakukan oleh pihak kejaksaan bila keputusan itu menghukum para tersangka/terdakwa. Mungkin pada saat itu para orang tua siswa dan mereka yang simpati dan empati akan “tenang”.

Pembinaan dengan Feses?

Sementara itu, geger datang dari pulau Bunga, Flores. Lagi-lagi sesuatu yang kesannya tuna adab. Bagaimana mau disebutkan sebagai beradab bila, feses (tinja/kotoran manusia) katanya dioleskan ke mulut 77 siswa ??

gambar diunduh dari, hype.ID – Grid.ID

Media local seperti Pos Kupang dan Timor Express serta media daring local hingga nasional mengangkat kasus ini sehingga sangat viral[4]. Pihak sekolah segera menyikapi hal ini. Mereka mengadakan rapat dengan pihak orang tua. Lalu, pimpinan sekolah segera melakukan klarifikasi bahwa pemberitaan media telah keliru. Mereka, para siswa tidak diberi makan feses itu, tetapi dioleskan di mulut hingga lidah dengan sendok. Tindakan itu dilakukan oleh dua senior mereka. Akibatnya, mereka muntah-muntah, dan seorang di antara mereka berlari ke rumah dan melaporkan hal ini kepada orang tuanya.

Tindakan ini mendapat tanggapan bahkan keluar dari mulut anggota DPR RI asal NTT, Benny K. Harman[5]. Ia sangat menyayangkan tindakan ini dan mengharapkan pihak sekolah bertindak dan menyikapi secara tepat.

Kabar-kabar yang demikian mewarnai secara tidak indah dunia Pendidikan di Indonesia. Pemangku kepentingan di dunia Pendidikan di Indonesia, terutama para guru, selalu berupaya menjalankan tugas-tugasnya secara baik. Ada pada diri para guru kesadaran bahwa mendidik jauh lebih berat daripada mengajar. Menanamkan karakter dan nilai sebagaimana yang diharapkan oleh Pancasila bukanlah hal mudah. Ketika terjadi kelalaian yang menyebabkan kerugian tiada taranya, oknum guru menanggungnya.

Lalu, ketika para siswa melakukan kealpaan pula di sekolah dengan saling melakukan bully, di sana pun para guru yang menerima getahnya. Lihatlah dan cermati, ketika kasus SMP Bunda Segala Bangsa di Maumere, guru, sasaran tembak pertama. Kelalaian guru, bukan menuding siswa yang melakukan kesalahan itu. Kurang pengawasan, demikian Ketua Dewan Pendidikan Provinsi NTT, Drs. Simon Riwu Kaho. Ia mempertanyakan, mengapa guru tidak mengetahui hal itu? Lagi, di sini guru yang salah. Padahal, orang mestinya sadar pula, bahwa seorang guru, makhluk manusia yang terbatas adanya. Keterbatasan dalam pengawasan, salah satu di antaranya, yang menyebabkan 77 siswa harus menjadi korban kekerasan senior mereka.

Kini senior yang melakukan tuna adab itu telah dikeluarkan dari sekolah. Akankah mereka akan melanjutkan sekolah di sekolah yang lain? Belum tentu, karena mereka terlanjur mendapatkan cap sebagai “siswa bernoda” sehingga dapat saja menodai sekolah baru dimana mereka mungkin saja diterima. Bila mereka diterima, pastilah sekolah yang menerima kepindahan mereka itu harus extra perhatian pada siswa yang demikian. Maka, akan terjadi traumatic pula pada kedua siswa itu.

Sementara itu, 77 siswa pun akan mengalami trauma yang berkepanjangan, entah sampai kapan. Mereka akan selalu trauma melihat atau menghirup bau feses sebagaimana yang pernah mereka rasakan. Trauma yang seperti ini akan berlanjut.

Penutup

Dunia Pendidikan dalam fakta di sekolah, di sana ada proses pembelajaran yang isinya paling kurang seperti mengajar, mendidik, dan melakukan sesuatu yang factual yang oleh karenanya dapat dirasakan sehingga anak/siswa akan mengingat selama mungkin.

Bahwa ingatan yang berkesan itu bila positif, mereka akan termotivasi untuk lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Tetapi, bila ingatan itu negative cenderung traumatic, betapa akan terjadi kemunduran pada anak-anak seperti itu.

Institusi Pendidikan menghasilkan lulusan yang diharapkan membawa sesuatu yang memberi perubahan. Perubahan pada si pembawa itu sendiri, yang berdampak pada lingkungan secara spiralis, sebagaimana kabar buruk dimulai dari Turi Sleman atau dari Maumere-Sikka, lalu dalam waktu singkat menyebar ke seluruh NKRI. Baiknya, suatu hal baik kiranya lebih viral daripada hal-hal yang justru menimbulkan pro-kontra di dalam masyarakat, apalagi itu dalam masyarakat Pendidikan.

Amarasi Selatan, 26 February 2020

[1] https://yogyakarta.kompas.com/read/2020/02/26/08510081/pengakuan-lengkap-tersangka-tragedi-susur-sungai-sempor-

[2] https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4913313/ini-dia-3-pembina-pramuka-tersangka-tragedi-susur-sungai-smpn-1-turi

[3] https://www.merdeka.com/peristiwa/pgri-protes-2-guru-digunduli-polda-diy-periksa-penanganan-di-polres-sleman.html

[4]https://regional.kompas.com/read/2020/02/25/14381481/puluhan-siswa-dihukum-makan-kotoran-manusia-orangtua-minta-pelaku-dipecat?

[5] Pos Kupang, Rabu, 26 Februari 2020

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

2 Komentar