Jamuan Makan Rabi Yesus, Jamuan Makan Joko Widodo
Pengantar
Jamuan makan, entah pada pagi hari, siang hari, atau malam hari; sebutannya akan berbeda bila menggunakan Bahasa Inggris. Breakfast, lunch, dinner. Tiga istilah dalam Bahasa Inggris untuk jamuan makan pagi, siang dan malam, namun akan berbeda nuansanya ketika jamuan makan itu dilakukan untuk suatu tujuan tertentu. Misalnya dalam rangka syukuran pernikahan, public menyebut, resepsi. Bila mengajak untuk bertemu di suatu tempat yang khusus menyediakan minum (dingin, hangat dan panas dengan segala rasa), mungkin ada yang menyebut, kopi pagi, dan lain-lain sebutan.
Para penguasa pemerintahan (raja, ratu, kaisar, sultan, presiden, perdana menteri, dll sebutan jabatan) di segala zaman dipastikan mempunyai cara untuk memberi pelayanan terbaik pada para tamu, selain menerima mereka dengan senyum keramahan ketika bertemu, sapaan formal selamat datang, dan akan lebih nyaman bila dilanjutkan dengan jamuan makan. Biasanya dilakukan pada malam hari. Jamuan makan itu tidak sekadar hendak menunjukkan keramahan, namun nuansa politik menjadi bayang-bayang yang mengikutinya. Maka, para ahli semiotik dan pengamat akan membaca gestur, lalu membahasakannya di ruang publik. Jadilah publik mengkonsumsi entah dengan saringan atau menelannya secara bulat dan utuh. Semua itu kemudian berdampak pada persepsi dan asumsi.
Dalam kitab suci umat Kristen (Alkitab) terdapat sejumlah acara jamuan makan para pembesar. Salah satu di antara jamuan makan yang dilakukan bukan oleh para pembesar, justru melahirkan dan meninggalkan kisah sepanjang masa. Jamuan makan itu disebut Perjamuan Suci terakhir Yesus bersama para murid-Nya. Yesus sebagai Rabi/Rabuni/Guru dipandang oleh masyarakat penganut agama Yahudi pada waktu itu sebagai orang dengan kelas biasa-biasa saja. Kastanya tak lebih tinggi daripada para pemuka agama Yahudi, ahli Taurat hingga gubernur/wali negeri dan raja. Ia mengadakan suatu jamuan makan yang amat berkesan.
Dalam masa di mana masyarakat Indonesia sedang berada di dalam lintasan waktu penyelenggaraan pemilihan umum, Presiden Joko Widodo mengajak tiga calon Presiden yang telah resmi mendaftar untuk semeja dalam jamuan makan siang. Gestur mereka dibaca oleh para semiotic dan pengamat politik. Hasilnya dilepas ke ruang publik. Ragam persepsi bersiliweran.
Jamuan Makan bersama Yesus
Alkitab (PB) dicatat dan dikisahkan secara paralel dalam Matius 26:17-29 (Mrk 14:12-21; Luk.22:7-14; Yoh.13:21-30). Dikisahkan bahwa setiap tahun orang Yahudi akan merayakan satu hari raya keagamaan secara besar-besaran di kota tua Yerusalem. Oleh karena itu, semua orang Yahudi yang terpencar di berbagai tempat akan berkumpul di Yerusalem untuk merayakan hari raya itu yakni, Paskah. Paskah ditandai dengan makan roti yang dibuat tanpa ragi disajikan bersama dengan anggur. Perayaan ini dilakukan untuk memperingati terbebasnya mereka dari belenggu perbudakan di Mesir. Saat itu mereka keluar dari negeri itu secara terburu-buru, bergegas sehingga untuk menyiapkan perbekalan seadanya saja seperti roti, mereka tidak sempat lagi mengolahnya secara sempurna. Maka, jadilah roti itu tanpa ragi. Ketika makan roti itu pada segala masa dan generasi, mereka akan ingat hal itu. Lalu mereka akan minum anggur sebagai lambang darah domba. Darah domba pada masa itu dimanfaatkan dengan cara mengoleskannya di ambang pintu rumah, sehingga ketika malaikat maut datang, rumah itu dilewati. Malaikat maut akan menjemput setiap anak sulung dari keluarga-keluarga yang tidak menempatkan olesan darah domba di pintu rumah mereka. Tangisan terdengar pada kaum kerabat di Mesir, sementara kaum dan puak bangsa Ibrani/Yahudi terdengar kesiapsiagaan untuk segera meninggalkan negeri yang telah menjadikan mereka budak selama ratusan tahun.
Rabi Yesus menyelenggarakan jamuan makan bersama para murid-Nya dengan dua tujuan. Pertama, ia melaksanakan tradisi keagamaan Yahudi yaitu perayaan Paskah yang maknanya yaitu pembebasan secara faktual. Kedua Ia menjadikan Jamuan Makan (Perjamuan Suci Terakhir) itu sebagai ajang pembelajaran makna sesungguhnya dari Roti dan Anggur itu, yang akan menjadikannya sebagai pembebasan dari perhambaan dosa. Pada titik yang kedua ini, sesuatu yang tidak mudah dipahami secara akal sehat/logika. Bagaimana mungkin? Kira-kira demikian adanya suatu pertanyaan.
Dialog pun dibangun Rabi Yesus dengan para murid-Nya sebelum mereka mengambil bagian masing-masing dalam jamuan makan (Perjamuan Suci Terakhir) itu. Rabi Yesus menyampaikan sesuatu kabar yang kurang sedap dalam pendengaran dan reaksi untuk beropini. “… sesungguhnya seorang di antara kamu akan menyerahkan Aku.” (Mat.26:21). Pernyataan ini memantik jawaban beragam atau bahkan bertanya balik dalam kebisuan.
Para murid Rabi Yesus memberikan jawaban dengan pertanyaan balik, “Bukan aku, ya Tuan (Tuhan)?” (Mat.26:23). Lalu Rabi Yesus memberikan jawaban, “Dia yang bersama-sama dengan Aku mencelupkan tangannya ke dalam pinggan ini, dialah yang akan menyerahkan Aku. Anak Manusia memang akan pergi sesuai dengan yang ada tertulis tentang Dia, akan etapi celakalah orang yang olehnya Anak Manusi aitu diserahkan. Adalah lebih baik bagi orang itu sekiranya ia tidak dilahirkan.” (Mat.26:24). Yudas (Iskariot) memberi jawaban dengan pertanyaan retorik, “Bukan aku, ya Rabi?” Lalu Yesus memberi jawaban, “Engkau telah mengatakannya.” (Mat.26:25).
Sampai di situ dialog di meja jamuan makan Paskah yang diadakan oleh Rabi Yesus. Selanjutnya Rabi Yesus menyediakan roti dan anggur untuk dimakan secara bersama di antara mereka. Persiapan itu dilakukan dengan doa ucapan syukur. Perlakuan terhadap roti yakni, Rabi Yesus memecah-mecahka, dan memberikan kepada para murid-Nya, seraya berkata, “Ambillah, makanlah. Inilah tubuh-Ku!” (Mat.26:26). Tanpa basa-basi dialog, para murid mengambil roti yang disebutkan sebagai Tubuh Rabi Yesus sendiri. Mereka pun menyantapnya.
Sesudah menyantap roti, sebagai tubuh Rabi Yesus, Ia mengambil cawan. Ia mengucap syukur lalu sesudah itu ia memberikan kepada para murid untuk meminum darinya, sambil berkata, “Minumlah kamu semua dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa. Akan tetapi Aku berkata kepadamu, Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur ini sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, bersama-sama dengan kamu dalam Kerajaan Bapa-Ku.” Mereka pun melakukan apa yang disampaikan oleh guru mereka, meminum dari cawan yang berisi anggur, yang disebutkan sebagai darah Rabi Yesus, guru para murid itu.
Jamuan Makan yang diadakan Rabi Yesus berakhir. Siapa yang mengetahui dampaknya sesudah itu? Para murid berada dalam posisi bingung. Mereka belum menyadari makna jamuan makan itu oleh karena pernyataan yang dibuat oleh guru mereka. Dalam kebisuan mereka tentu bertanya, bagaimana mungkin roti merupakan tubuh-Nya, dan anggur menjadi darah-Nya? Darah itu sendiri disebutkan sebagai darah perjanjian. Bagi para murid, waktu untuk berdiskusi tiadalah cukup, bahkan bila mungkin tersedia waktu pada mereka, mereka akan memulai diskusi itu dengan topik seperti apa?
Apakah para murid yang telah duduk makan bersama dengan Rabi Yesus, guru mereka sebagai sikap dan Tindakan yang bersifat politik? Tidak! Rabi Yesus sedang melaksanakan tradisi keagamaan Yahudi. Ketika Rabi Yesus duduk makan bersama murid-murid-Nya, Ia tidak mendialogkan sesuatu yang sifatnya politik. Ia tidak duduk makan untuk menyampaikan perpisahan dengan para murid oleh karena telah dinyatakan lulus. Ia makan bersama para murid pun, tidak dalam rangka menyiapkan lobi dan pendekatan “injak kaki” untuk kepentingan sesaat. Ia tidak menjanjikan kekuasaan sebagai hadiah oleh karena mereka telah Lelah dalam proses belajar dengan limit waktu tiga tahun telah berakhir.
Akhirnya para murid bengong belaka. Mereka menyimpan rapat-rapat di dalam hati masing-masing sikap dan tindakan, kata yang terucapkan dan akta yang terlihat. Pada saatnya mereka pun “bangkit” menjadi pewarta kasih dan anugerah yang mereka (dunia) terima di dalam Yesus Kristus Sang Guru, Rabi/Rabuni.
Jamuan Makan ala Presiden Joko Widodo
Presiden Joko Widodo bukan sekali ini saja mengadakan Jamuan Makan. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para kepala negara di Denpasar-Bali, acara ini pun berlangsung. Stasiun-stasiun televisi menyiarkan secara langsung bagaimana jalannya jamuan makan itu. Suatu acara yang amat terhormat yang sekaligus menaikkan derajat bangsa dan negara. Hal mana ditampilkan berbagai atraksi menarik serta aneka makanan dan minuman yang tersedia. Semua itu memberi kesan tersendiri pada para kepala negara, walau sesudahnya pembahasan di ruang publik berlangsung hanya beberapa saat saja.
Berbeda dengan peristiwa jamuan makan yang diadakan oleh Presiden Joko Widodo bersama para calon presiden. Sudah dalam pengetahuan umum bahwa para calon akan berlaga dalam pemilihan umum. Suatu kompetisi yang menarik karena tiap pasangan calon diusung dan didukung oleh sejumlah partai. Partai-partai bukan saja memiliki kader-kader militan, namun juga di sampingnya ada institusi relawan yang juga militansinya tak diragukan.
Para calon presiden duduk mengelilingi meja jamuan makan yang memang sudang bundar. Bundarannya malah bertingkat. Bundaran di dalam dapat berputar untuk menyuguhkan makanan kepada mereka. Makanan dapat dipilih sesuai selera. Minuman disediakan di samping dan tidak lagi dapat digulirkan. Minuman dingin yang tersedia itulah akan dinikmati bersama makanan yang ditawarkan di atas meja itu.
Jamuan makan oleh Presiden Joko Widodo dibaca sebagai jamuan makan politik. Hal ini tak dapat lagi untuk disangkal. Mereka bukan duduk makan bersama oleh karena sedang dalam suatu acara kekeluargaan, tetapi di tengah suasana dan pelaksanaan jadwal pemilihan umum, maka terbaca oleh public bahwa mereka semeja dengan percakapan/dialog politik yang ringan-ringan saja, sehingga terlihat banyak senyum dan tawanya.
Dialog yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo dan para calon presiden: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Rasyid Baswedan terbaca sebagai upaya mencairkan suasana yang kaku dari dampak yang timbul pada mereka sebagai kompetitor. Presiden Joko Widodo mengadakan jamuan makan bersama ini mungkin dengan pesan kepada publik bahwa, kompetisi dalam pemilihan umum haruslah santai-santai saja, banyak senyum dan canda antarkompetitor, tidak perlu saling “menyerang”, tetapi berkompetisi dengan sehat dan akal sehat pula.
Dialog itu tidak banyak terdengar dan diketahui oleh public oleh karena para jurnalis hanya mendekat untuk memotret, sambil sesekali memanggil nama calon-calon presiden. Dia yang disebutkan namanya akan menoleh pada pemanggil, kemudian tersenyum, pemotretan berlangsung dan selesai. Selanjutnya, tentang apa yang dibicarakan dalam dialog antara empat tokoh penting itu, siapa yang mengetahuinya?
Dalam keterangan pers sesudah jamuan makan itu, masing-masing calon presiden mengungkapkan pandangannya. Prabowo berbicara dalam nada ringan-ringan saja tentang jenis makanan yang tersedia. Ucapan terima kasih telah mendapatkan undangan oleh Presiden, serta harapan akan suasana aman dalam pemilihan umum. Hal-hal itu sebagai obrolan (dialog) di antara mereka. Mungkinkah Prabowo Subianto tidak mengikuti seluruh obrolan sehingga keterangan yang diberikan sebegitu sederhananya?
Anies Rasyid Baswedan berbicara tentang netralitas para penyelenggara negara. Menurutnya, hal ini menjadi salah satu materi dialog (diskusi) sambil menikmati makanan yang tersedia. Presiden Joko Widodo telah mengumpulkan para pejabat, gubernur, bupati, walikota, pimpinan TNI, Polri untuk menjaga netralitas dalam rangka pemilihan umum.
Ganjar Pranowo berbicara tentang obroloan yang enteng, ringan diselingi tawa. Rupanya ada pertanyaan tentang sosialisasi para paslon ke berbagai daerah. Presiden Joko Widodo menilai ada raut yang segar, tubuh yang bertambah gemuk, tapi juga yang terlihat turun berat badan rupanya. Lalu, disebutkan tentang makanan yang ditempatkan di piring sama dengan yang ada di piring Presiden Joko Widodo.
Jadi, suasana di meja makan yang demikian hendak menggambarkan eratnya persaudaraan dan persahabatan sekalipun sedang dalam satu kompetisi. Lalu kita bertanya, siapakah di antara ketiga calon presiden ini yang sedang mengharapkan dukungan dari idola bangsa ini, Presiden Joko Widodo? Ketiganya merupakan putera-putera terbaik bangsa yang terpilih dari begitu banyaknya putera-puteri terbaik bangsa. Merekalah yang kini menjadi pusat perhatian, di samping Presiden Joko Widodo sendiri menjadi pusat perhatian publik karena dukungannya kepada salah satu di antara ketiganya merupakan modal yang menarik pemilih untuk bersamanya.
Maka kini kita akan melihat dampak sesudah jamuan makan siang ini. Bagaimana opini ahli semiotic dan pengamat politik tentang suasana dan nuansa duduk bersama Presiden Joko Widodo dan ketiga calon presiden. Opini seperti apa yang akan dibangun agar publik menangkap dan memahami bahasa tubuh dan obrolan mereka di sekeliling meja makan itu.
Penutup
Jamuan makan (Perjamuan Suci Terakhir) Rabi Yesus berakhir dengan berkomplot dan bersekongkolnya Yudas Iskariot dengan para pemimpin agama Yahudi. Yudas Iskariot mendapatkan sejumlah uang dari persekongkolan itu, lalu ia menyerahkan gurunya untuk diperlakukan seturut kehendak mereka. Sementara Petrus menyangkal gurunya sesaat setelah ditangkap. Murid-murid yang lain berlarian meninggalkan guru yang telah bersama-sama dalam segala hal. Kisah ini berakhir dramatis. Rabi Yesus menderita, dihakimi hingga disalibkan.
Jamuan makan yang diadakan oleh Presiden Joko Widodo merupakan jamuan makan yang dapat dianalogikan sebagai suatu panggung politik kemesraan. Keempat tokoh ini menjadikan meja makan dengan aneka makanan dan minuman untuk bertemu, saling berbagi cerita tentang sosialisasi paslon sesudah mendaftar ke KPU, dan berharap agar ada posisi netral, nihil keberpihakan para penyelenggara negara pada pemilihan umum. Panggung politik kemesraan di meja makan ini akankah bermuara pada kemesraan para pengusung dan pendukung?
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Jamuan Makan Rabi Yesus dan Jamuan Makan Presiden Joko Widodo”, Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/heronimusbani8007/6544cd97110fce1aed60bfa2/jamuan-makan-rabi-yesus-jamuan-makan-presiden-joko-widodo
Kreator: Heronimus Bani
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com