Makna Kemerdekaan pada Guru Pendidikan Dasar di Pedesaan
Pengantar
Negara dan bangsa ini telah melewati tahun-tahun yang bernilai dan bermakna. Sejak kemerdekaan diraih dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dunia pendidikan terus mengalami kemajuan dan perkembangan. Kepuasan atau sebaliknya kecemasan dan kegetiran menjadi bagian rasa pada para guru di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Inodnesia ketika berada dalam ranah tugas sebagai warga dan abdi negara. Mereka turut mengisi kemerdekaan ini dengan tugas pokok dan fungsinya “mengejar” cita-cita/visi yang ditetapkan para pendiri bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Guru Pendidikan Dasar (SD, SMP dan sederajat) di pedesaan merupakan salah satu bagian integral dari keseluruhan yang utuh dalam wilayah tugas para guru. Di pedesaan mana pun Indonesia, kiranya dapat dipastikan bahwa di sana ada paling kurang 1 unit sekolah yakni Sekolah Dasar, entah itu swasta atau negeri/inpres. Ketika berada pada masa Orde Baru, sekolah-sekolah dasar negeri/inpres dihidupkan di pelosok-pelosok. Ini suatu perkembangan yang membanggakan. Hal ini terjadi untuk pemerataan pembangunan sekaligus upaya dan kerja keras pemerintah dan masyarakat dalam rangka membangkitkan kesadaran memasuki dunia sekolah. Lantas, secara berurut, anak bangsa melek huruf dan literasi, memiliki pengetahuan, ketrampilan dan seni, menemukan bakat dan potensi diri untuk dikembangkan, dan seterusnya hingga berharap ada pencapaian pada visi bangsa.
Orde Baru telah meninggalkan legasi sekolah-sekolah yang secara kuantitas amat banyak, terutama sekolah dasar. Eksistensi sekolah-sekolah itu masih terlihat sampai saat ini dengan segala kehormatan dan kehambarannya ketika memasuki Orde Reformasi.
Orde Reformasi memberi ruang lebih luas pada pembukaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas (umum dan kejuruan) hingga wilayah administrasi pemerintahan: kecamatan dan desa/kelurahan. Pada suatu desa tertentu dapat saja terdapat 1 hingga 2 atau 3 unit sekolah bergantung luas-sempitnya desa dimaksud, sekaligus tingkat pertumbuhan penduduknya.
Tantangan Pendidian Dasar di Pedesaan
Memasuki Orde Reformasi, Pendidikan Dasar di pedesaan makin mengalami perkembangan dalam kuantitas unit-unit sekolah. Perkembangan yang demikian itu tentu terjadi secara sadar dan sengaja oleh Pemerintah, khususnya di Kabupaten dan Kota yang menjadi kewenangannya. Pemerintah Kabupaten dan Kota menyadari akan keterbatasan, tetapi terus membangun dan menambah unit-unit sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Masyarakat dalam kapasitas sebagai yang peduli pendidikan pun turut membangun sekolah. Ini suatu gejala yang normal dan baik, namun di sana ada tantangannya.
Seorang blogger menulis[1] Masyarakat di daerah pedesaan cenderung meremehkan tingkat pendidikan mereka berpikir bahwa bekerja adalah hal yang paling utama daripada pendidikan. Oleh karena itu, tingkat pendidikan di pedesaan cenderung rendah seperti hanya lulus sekolah dasar, hanya lulus sekolah menengah pertama, atau bahkan tidak lulus sekolah dasar.
Kegiatan yang dilakukan masyarakat pedesaan seperti interaksi terhadap sosialnya, merupakan pelaku utama bagi pembangunan, sehingga diperlukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDA) yang berkualitas dan memiliki potensi yang dapat diharapkan, sehingga masyarakat dapat bergerak pada arah pembangunan untuk menuju cita-cita rakyat Indonesia, yaitu bangsa yang makmur dan berkepribadian luhur.
Terlebih lagi pada zaman yang semakin menuntut manusia untuk lebih dapat bersaing di era globalisasi maupun yang akan datang. Artinya, masyarakat dituntut untuk mempunyai keterampilan atau kompetensi dalam dirinya menjadi manusia yang berguna baik bagi dirinya sendiri maupun bagi bangsa dan negara.
Blogger lain mencatat[2] hasil survey yang dilakukan oleh Bank Dunia, sebagai berikut: Bank Dunia baru menerbitkan hasil survei di lima kabupaten yang termasuk berperingkat termiskin di Indonesia. Survei ini dilaksanakan di 270 sekolah dasar di desa terpencil antara tahun 2016-2017. Responden survei mencakup kepala sekolah, guru, peserta didik, komite sekolah, orang tua dan kepala desa.
Pertama, survei ini menemukan sekolah dan desa studi menghadapi tantangan konektivitas yang mungkin menghalang guru-guru terbaik untuk bekerja disini. Secara rata-rata lokasinya berjarak 149 km atau lima jam dari kota kabupaten; hanya 29% yang terhubung dengan jaringan listrik; dan hanya 17% yang memiliki akses internet. Hasil survei mengindikasikan keragaman alokasi sumber daya: 91% sekolah memiliki toilet dengan rasio jender yang seimbang; 54% memiliki perpustakaan; namun hanya 39% memiliki buku teks yang memadai.
Hasil pengamatan mengindikasikan bahwa kesenjangan dapat dikurangi dengan memprioritaskan alokasi pendanaan. Selain itu, renovasi fasilitas sekolah dan perumahan untuk guru dapat memperbaiki kondisi kerja guru-guru yang ditugaskan di daerah terpencil.
Kedua, kualitas layanan pendidikan di sekolah survei terkendala oleh kualifikasi guru, komposisi guru, dan tuntutan mengajar multi kelas. Tiga puluh empat persen guru dan 18% kepala sekolah hanya memiliki pendidikan sekolah menengah atas. Guru PNS merupakan 40% dari seluruh tenaga pengajar, dengan kekurangan diisi oleh guru kontrak (42,5% guru honorer dan 15,8 dikontrak oleh kabupaten atau provinsi).
Di saat guru PNS memiliki pendapatan rata-rata Rp. 8,4 juta per bulan, guru honorer hanya menerima Rp. 550.000. Guru honorer cenderung memiliki pekerjaan sampingan dan memiliki kualifikasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS, walaupun rasio kelas hampir sebanding dengan rerata nasional (20 siswa per kelas di daerah yang disurvei dibandingkan dengan 23 di tingkat nasional), guru yang disurvei sering kali menggantikan guru yang tidak hadir dan harus mengajar beberapa kelas (di 25% sekolah) meskipun mereka tidak pernah mendapatkan
Ketiga, kemangkiran guru adalah masalah serius, karena secara langsung mempengaruhi apakah peserta didik belajar di sekolah atau tidak. Kunjungan mendadak ke sekolah sampel mendapati 25% ruang kelas tidak memiliki guru, dan 17% guru tidak datang ke sekolah.
Keempat, dan yang paling memprihatinkan, sebagian besar siswa yang diuji mendapatkan nilai Bahasa Indonesia dan matematika dua tingkat di bawah kelas yang mereka ikuti saat ini. Analisis kami mengaitkan hasil belajar murid yang rendah dengan pendidikan orang tua yang rendah; lebih sedikit waktu yang didedikasikan untuk pendidikan anak mereka; dan jauh lebih sedikit keterlibatan dengan komite sekolah dan guru.
Dari 2 catatan ini kiranya hendak menggambarkan bahwa dunia pendidikan dasar di pedesaan sampai saat ini (paling tidak pada usia kemerdekaan NKRI yang ke-77 tahun), butuh perhatian serius karena masih terdapat kesenjangan antara pendidikan dasar di perkotaan dengan pedesaan.
Pada bidang datar yang sama, sinergisitas antara Pemerintah Pusat (dhi KemendikbudRistek) dan Pemerintah Daerah (Kabupaten, Kota) sangat diperlukan untuk menata kelola secara baik pendidikan dasar di pedesaan secara khusus, dan pada umumnya di seluruh wilayah NKRI. Hal ini nyata dari apa yang diharapkan oleh Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd[3], Direktur Sekolah Dasar, sebagaimana terbaca dalam laman resmi Direktorat Sekolah Dasar. Dalam tantangan perubahan manajemen tata kelola pendidikan sekolah dasar, diperlukan peningkatan sinergitas dengan pemerintah daerah kabupaten/kota. Selain itu, masih rendahnya peran anggaran swasta dalam pendidikan, dan belum optimalnya pelibatan peran mitra pendidikan di pusat dan kabupaten/kota.
Memasuki Orde Reformasi ini, sudah dalam pengetahuan seluruh pemangku kepentingan di sekolah dan birokrasi pendidikan di semua jenjang dan sayapnya bahwa, Kurikulum sekolah telah mengalami perubahan. Kurikulum pertama yang diberlakukan sesudah Orde Baru “tumbang” yakni Kurikulum 2004 yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK); selanjutnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yakni Kurikulum tahun 2006, Kurikulum 2013 (K-13) yang disebut pula sebagai penyempurnaan KTSP, dan kini diberlakukan Kurikulum Merdeka (Belajar).
Perkembangan perubahan yang demikian cepat ini tidak serta merta memudahkan para guru Pendidikan Dasar di pedesaan, terlebih lagi ketika memasuki ranah digitalisasi. Keterlambatan “menaikkan” derajat kemampuan dan ketrampilan pada adaptasi dengan literasi digital menjadi salah satu kendalanya, selain faktor luar di sekitar lingkungan sekolah seperti, daya dukung perlengkapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK/IT).
Tuntutan literasi digital pada dunia pendidikan dasar di pedesaan sudah bukan hal baru. Literasi digital sudah bagai kewajiban yang tak dapat ditawar-tawar saat ini. Guru mana pun, entah di perkotaan maupun di pedesaan, bagai “wajib hukumnya” memiliki pengetahuan dan ketrampilan literasi digital. Berbagai aplikasi (software product) dapat dipilih di antaranya untuk kreasi dan inovasi pembelajaran yang menyenangkan dan membangkitkan motivasi belajar baik pada guru itu sendiri dan para siswa yang diampunya.
Kemerdekaan memberi ruang kreativitas dan inovasi. Kemerdekaan tidak sedang meninabobokan apalagi memanjakan. Kemerdekaan bangsa ini patut diisi dengan inovasi kreatif yang membangakan. Kemerdekaan yang demikian, bila sudah sampai di tangan para siswa, sekalipun itu mereka di pedesaan, bukankah literasi digital dapat dipelajari sendiri? Jika para siswa memiliki pengetahuan dan ketrampilan pada literasi digital, tidakkah guru harus memiliki terlebih dahulu?
Bagi seorang guru pendidikan dasar di pedesaan, belajar untuk terus berada di jalur pendidikan yang terus bergeser maju, bukanlah hal yang tabu, walau merasa ada keterbatasan. Berdiskusi dan berkolaborasi baik di delta maupun di dunia maya menjadi solusinya.
Penutup
Guru manakah yang merindukan anak didiknya gagal dalam studi? Tidak ada! Semua guru tanpa melihat konteks geografis, topografis, dan demografis, sosial, politik, ekonomi dan lainnya, di sana para siswa akan dihantarkan hingga “sukses” sebagai siswa. Literasi sederhana yang mendasar: membaca, menulis, menghitung harus menjadi pengetahuan dan ketrampilan dasar bagi mereka. Guru, hanya memoles agar mereka lebih baik, cakap dan mahir, lisan, tulisan, sikap dan aksi. Guru Dikdas (SD, SMP sederajat) di pedesaan memaknai kemerdekaan ini dengan terus berada di jalur dan ranah tugasnya dalam kesenjangan, keterbatasan atau sebaliknya mengupayakan maju dengan gaya bergeser belaka. Prestasi yang prestisius tak mudah digapai, tetapi mengantarkan siswa untuk memiliki pengetahuan dasar calistung, sains, matematika, dan ilmu sosial dasar menjadi harapan. Di sana mereka menempatkan diri sebagai guru yang layak, walau tak selalu akan dihormati dan dihargai ketika mereka berhasil meraih “bintang”.
Nekmese, 18 Agustus 2022
Penulis: Heronimus Bani
[1] https://mijil.id/t/tingkat-pendidikan-di-pedesaan/4195
[2] https://blogs.worldbank.org/id/eastasiapacific/tantangan-pelaksanaan-pendidikan-dasar-di-daerah-perdesaan-dan-tertinggal
[3] https://ditpsd.kemdikbud.go.id/artikel/detail/tantangan-dan-strategi-direktorat-sekolah-dasar-