Efata: Baisenut, natfe’i ma natsoi
Pengantar
Efata merupakan kata yang diucapkan Yesus kepada orang tuli dalam Mrk 7:34, bentuk perintah dalam Bahasa Aram. Dalam Bahasa Yunani διανοιχθητι – dianoikhthêti, terbukalah‘. Kata kerja Bahasa Aram yang dipakai ialah פְּתַח – petakh, bentuk yg dipakai oleh Tuhan Yesus adalah bentuk Verb Hitpaal Imperative, refexsive-intensive אֶתפַּתּח – ‘et’patakh, nampaknya dalam setiap hal huruf /t/ dibaurkan dengan huruf /p/: inilah ciri biasa dari Bahasa Aram yang selanjutnya beserta dialek-dialeknya seperti Bahasa Siria. Dalam beberapa naskah kata ini ditulis ephphetha, yang pasti menandakan bentuk pasif biasa[1].
Yesus, sebelum mengucapkan kata Efata, Ia melakukan sesuatu yakni, memisahkan orang itu dari (ay.33). Keduanya sendirian. Yesus memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu (si tuli dan gagap). Yesus meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian Yesus menengadah ke langit (baisenut) (ay.34) menarik nafas dan mengucapkan kata Efata (natfe’i ma natsoi).
Uraian di atas menjadi dasar alkitabiah ketika Pdt. S. V. Nitti, M.Th menyampaikan khotbah pada kebaktian pentahbisan dan pengresmian Gedung Gereja Efata Huko’u, Klasis Amarasi Timur. Pdt S. V. Nitti, M.Th menyajikan khotbah yang tidak saja alkitabiah dan teologis tetapi kontekstual sehingga terasa akan membumi di tanah Huko’u, Klasis Amarasi Timur dan pada semua orang yang mendengarnya oleh karena menghadiri kebaktian dimaksud.
Kebaktian diadakan pada Jumat (23/09/22) yang diawali dengan seremoni
- Penyambutan pejabat gereja dan pemerintah dengan tarian, aa’ asramat dan pemberian pakaian tradisional
- Penandatanganan prasasti pentahbisan dan pengresmian
- Penyerahan kunci, membuka pintu gedung gereja, prosesi Majelis Jemaat dan jemaat memasuki gedung gereja yang baru, serta pernyataan pentahbisan oleh Ketua Sinode GMIT, Pdt. Dr. Mery Kolimon
Kontekstualisasi Efata
Dalam khotbah yang disajikan dengan kata-kata sederhana, diselipi bahasa daerah Amarasi Kotos, Pdt. S. V. Nitti mengutip satu frasa penting yang tertera dalam teks Mark. 7:34, Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata, “Efata!” artinya: terbukalah!” (TB-LAI)
Ayat di atas dalam teks terjemahan berbahasa Amarasi Kotos, berbunyi:
Nai’ Yesus anbaiseun neu neon gwe ma nheer In asnasan, rarit naprenat anpaek sin uab am nak, “Efata!” (In a’moufn ii nak, “Mutfe’i nai!”) (UBB GMIT, 2015)
Kedua teks terjemahan ini nyaris mirip. Saya memberi garis bawah pada frase menengadah ke langit (BI), (anbaiseun neu neon gwe~aaz), dan pada kata berkata (BI), (naprenat anpaek sin uab ~ memberi perintah dengan menggunakan bahasa mereka).
Dua frasa dimaksud terlihat seperti berbeda, namun sesungguhnya sama dalam esesnsi pelaksanaannya. Terjemahan Baru berbahasa Indonesia menggunakan menengadah ke langit, Bahasa Amarasi Kotos menggunakan frasa anbaiseun neu neon gwe ~ mengangkat wajah/muka untuk melihat ke langit. Selanjutnya, Bahasa Indonesia menggunakan kata berkata, sementara Bahasa Amarasi Kotos menggunakan naprenat anpaek sin uab ~ memberi perintah dengan menggunakan bahasa mereka.
- Melihat ke langit, menengadah, baisenut, baiseun, berkata, naprenat anpaek sin uab, memerintah, Efata
Dalam ilmu terjemahan frasa ini disebut tindakan simbolik. Tindakan simbolik itu terjadi bilamana subjek melakukan sesuatu yang diikuti dengan sikap tertentu dan berakibat pada objek. Yesus menengadah. Dalam hal menengadah, orang yang melakukannya tidak sedang berbicara. Ia sedang bertindak dan akan bersikap. Yesus menengadah sebagai Tindakan simbolik. Hatinya yang berkata. Siapa menduga apa yang dikatakan Yesus ketika Ia menengadah ke langit (heaven ~ sorga)?
Dalam konteks masyarakat Pah Amarasi yang sebahagian beternak sapi secara sambilan sementara lainnya peternak sapi tulen. Mereka mengetahui dan menyaksikan, ketika sapi jantan dan sapi betina akan kawin (pra seks ~ pra kawin), yang dilakukan sapi jantan yakni membau pada kemaluan sapi betina, kemudian menengadah ke langit sambil membuka mulut. Siapakah yang mengetahui benak dari kedua sapi beda alat kelamin ini ketika pra kawin dilakukan?
Dalam konteks upacara-upacara formal masyarakat Pah Amarasi, kata baisenut disampaikan pada awal sebagai penghormatan dan penghargaan yang menempatkan lawan bicara sebagai yang terhormat (extra ordinary), sementara pihak yang melakukan baisenut menempatkan diri (seakan) sebagai “bawahan” (sub ordinate).
Jika demikian adanya, maka dalam konteks hubungan dengan Tuhan, manusia Pah Amarasi yang sudah mengenal, memahami dan mengucapkan kata baisenut dengan kata kerja (hai) ambaiseun, atau (hit) atbaiseun, maka kiranya semestinya kita belajar:
- Seperti ternak sapi yang anbaiseun neu neon gwe untuk menyampaikan permohonan kepada Sang Khaliknya. Sapi jantan tidak sedang berbicara, ia melakukan tindakan simbolik
- Seperti para pelaksana upacara formal yang memulai percakapan dengan menyapa hai mbaiseun, atau menyapa sesama mereka dalam kelompoknya sebelum kepada kelompok lain atau kepada seseorang sebagai lawan bicara dengan frasa, hit atbaiseun, bukankah pada posisi ini ada yang berada sebagai yang terhormat (lebih tinggi) dan yang melakukan baisenut posisinya berada di bawah? Ketika mereka berbicara, wajahnya terangkat kepada lawan bicara untuk dapat melihat air muka, mimik dan gestur, tangannya ditadahkan di bawah sebagai indikasi bahwa bila ada percikan air ludah, maka percikan itu tidak menodai yang terhormat itu. Dalam hal menghadap Tuhan pada saat berdoa, sikap doa yang ditunjukkan yakni, duduk atau berdiri, melipat tangan dan berkata, hai ambaiseun. Mungkin sebaiknya, duduk bersila dan menempatkan dua tapak tangan di depan mulut lalu berkata kepada Tuhan, hai (am)baiseun ma mi’siti meit meu Ko, koi Uisneno Amo’et-Apakaet neno tunan ma pah-pinan. Kami menghadap dan memohon (permisi) kepada-Mu ya Tuhan Pencipta langit dan bumi.
- Dalam hal yang sangat formal di hadapan Tuhan, kita mengetahui bahwa Tuhan itu mulia, kudus, dan suci adanya. Maka, kemuliaan, kekudusan dan kesucian-Nya tidak boleh dinodai oleh manusia yang menghadap kepada-Nya. Hal inilah yang dimaksudkan dengan tindakan simbolik ikutan baisenut yakni, menadahkan tangan di bawah mulut agar percikan air ludah tidak memercik hingga menodai hadirat Tuhan. Tidakkah itu artinya, kita perlu mengkritisi tindakan simbolik kita ketika menghadap Tuhan dalam doa? Ketika kita berdoa, kita menempatkan diri di bawah Tuhan, sehingga tiap-tiap pribadi atau komunitas bila menghadap Tuhan, wajib melakukan tindakan simbolik baisenut, faktanya sikap atau tindakan simbolik orang berdoa menundukkan kepala, tangannya dilipat (dan katanya, hatinya yang menengadah ~ anbaiseun).
- Secara khusus untuk jemaat/umat GMIT Jemaat Efata Huko’u. Gedung Gereja sebagai tempat dimana orang berkumpul untuk mencari dan menemukan kehendak Kristus (Kristologi) sebagai Kepala Gereja. Gedung Gereja bukanlah tempat dimana jemaat berkumpul untuk mencari dan menemukan kehendak komunitas atau kelompok-kelompok orang di dalam Jemaat sehingga menempatkan kelompok tertentu menjadi lebih prioritas dan lainnya menjadi kelas berikutnya. Gedung gereja dengan nama Efata, tidak sekadar terbuka terhadap dunia luar, tetapi hati jemaat harus terbuka kepada Tuhan. Kata – ‘et’patakh ~ ephatha yang refexive~intensive tersirat di sana, langit pun turun mendekat ~ langit bagai mengatakan, “Aku pun tiba, Aku pun datang mendekat padamu!” Maka, ketika orang “menghadap ke langit” di dalam persekutuan orang percaya (gereja), yakinlah bahwa Tuhan pun tiba, Tuhan datang mendekat dan sedang bersama-sama dengan … .
Yesus berkata, atau Yesus memberi perintah dengan menggunakan Bahasa mereka sendiri. Hal ini dilakukannya setelah Ia “mendemonstrasikan” tindakan simbolik menengadah ke langit dan menarik nafas. Kini ia berkata atau memberi perintah. Perintahnya jelas, “Efata!” terbukalah, mutfe’i nai (ma mutsoi nai).
Masyarakat adat Pah Amarasi bila berbicara secara amat sopan dan terhormat, akan selalu menggunakan kata-kata berpadanan, majemuk setara atau sering pula majemuk bertingkat. Contohnya seperti yang terlihat mutfe’i nai ma mutsoi nai, terjemahan harfiahnya, terlepas dan terbuka. Kalimat ini bernada, perintah.
Dalam hal penggunaan kata berkata, nada dan gesturnya tidak mengindikasikan adanya perintah. Indikasi bahwa ada perintah itu tersirat di dalam kata Efata, terbukalah. Di sini kita belajar membedakan pernyataan dengan indikasi memberi perintah, tanpa perintah, bertanya, dan lain-lain.
Penutup
Kebaktian pentahbisan dan pengresmian gedung gereja Efata Huko’u-Oesena, Klasis Amarasi Timur telah dilangsungkan. Para pejabat gereja dan pemerintah serta tetamu undangan telah kembali. Mereka semua kembali dengan membawa “bekal” dan kesan masing-masing. Siapa menduga “bekal” dan kesan itu tersimpan dalam “fail” ingatan untuk jangka waktu lama atau cepat? Siapa mengetahui bahwa ketika mereka yang pulang, dalam perjalanan sedang membuka hati, membuka mulutnya untuk mengisahkan kemuliaan Tuhan pada upacara yang bermartabat di Huko’u-Oesena’?
Bagaimana dengan anggota baptis, anggota sidi, dan Majelis Jemaat Efata Huko’u-Oesena”? Apakah tiap individu atau rayon menyimpan kesan dan pesan dari peristiwa 24 September 2022? Mungkinkah mereka akan berkisah secara turun-temurun tentang peristiwa ini? Atau … ?? Hanya mereka yang mengetahui dan memberi jawaban atas semua refleksi itu.
Koro’oto-Nekmese, 26 September 2022
Heronimus Bani, S.Pd.,M.M
[1] https://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Efata