Pada seri kedua tulisan saya ini, saya akan secara gamblang menyajikan konteks sekolah-sekolah dimana saya menjadi Pengawas (Pembina). Sebagaimana saya sudah sampaikan pada seri pertama bahwa kedudukan saya (kami) selaku Pengawas Sekolah diatur dalam Permendikbud Nomor 143 Tahun 2014. Dalam Permendikbud ini kedudukan seorang Pengawas Sekolah yakni sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pengawasan akademik dan manajerial pada satuan Pendidikan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun untuk dapat menduduki posisi itu seorang Pengawas Sekolah haruslah memenuhi kualifikasi tertentu sebagaimana diatur dalam Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah. Pada lampiran Permendiknas ini disebutkan secara khusus kualifikasi itu untuk semua jenjang sekolah. Saya (Kami) yang berada dalam kualifikasi Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah harus memenuhi kualifikasi sebagai berikut:
- Memiliki Pendidikan minimum Magister (S2) kependidikan dengan berbasis Sarjana (S1) dalam rumpun mata pelajaran yang relevan pada perguruan tinggi terakreditasi
- (a) Guru SMP/MTs bersertifikat pendidik sebagai Guru SMP/MTs dengan pengalaman kerja minimun 8 tahun dalam rumpun mata pelajaran yang relevan di SMP/MTs atau Kepala sekolah SMP/MTs dengan pengalaman minimuim 4 tahun untuk menjadi Pengawas SMP/MTs sesuai dengan rumpun mata pelajarannya.
- Memiliki pangkat minimum III/c
- Berusia setinggi-tingginya 50 tahun, sejak diangkat sebagai pengawas satuan pendidikan
- Memenuhi kompetensi sebagai pengawas satuan pendidikan yang dapat diperoleh melalui uji kompetensi dan atau pendidikan dan pelatihan fungsional pengawas pada lembaga yang ditetapkan pemerintah, dan
- Lulus seleksi pengawas satuan pendidikan.
Dalam konteks aturan yang demikian, saya (kami) rasanya belum sampai untuk memenuhi kualifikasi yang sedemikian rigid itu. Oleh karena itu pada saat ini saya (dan beberapa rekan) sedang mengikuti studi lanjut untuk sekiranya memungkinkan agar memenuhi kualifikasi akademik itu. Keika saya (kami) telah sampai pada posisi sebagaimana sekarang ini yakni menjadi Pengawas Sekolah, di sana ada kewajiban moral dan etik untuk terus melaksanakan tugas pokok dan fungsi itu walau merasa masih belum memenuhi ketentuan yang berlaku itu.
Ketika kepada saya disodorkan daftar nama sekolah yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab saya untuk berada dalam binaan dan pengawasan, saya mesti siap melaksanakan tugas itu. Sekolah-sekolah itu tersebar di 4 (empat) Kecamatan dalam Wilayah Kabupaten Kupang. Sekolah-sekolah itu yakni:
- SMP Negeri 2 Amarasi Satap di Apren
- SMP Negeri 3 Amarasi Satap di Tanah Merah- Oenoni
- SMP Negeri 4 Amarasi Satap di Ponain
- SMP Negeri 5 Amarasi Satap di Kotabes
- SMP Negeri 6 Amarasi Barat Satap di Merbaun
- SMP Swasta Merbaun Amarasi Barat di Merbaun
- SMP Negeri 1 Nekamese di Usapi Sonba’i
- SMP Negeri 6 Nekamese di Oelomin
- SMP Kristen Rehobot di Oebelo Kupang Tengah
- SMPTK di Tarus Kupang Tengah
- SMP Negeri 5 Kupang Tengah di Kaniti
Mengikuti petunjuk Google Maps jarak tempuh dari Oelamasi ke Oekabiti ibukota Kecamatan Amarasi, 28,5 km yang dapat ditempuh kurang lebih 1 jam (55 – 60 menit). Padahal 4 sekolah binaan itu tidak berada di Oekabiti atau Kelurahan Nonbes. Dari Oekabiti saya mengarah ke Selatan untuk mencapai desa Kotabes (Satap Kotabes), atau mengarah ke Timur untuk mencapai desa Ponain, Oenoni 2 dan Apren. Ini wilayah kecamatan Amarasi. Bagaimana dengan yang lainnya?
Menurut Google Maps dari Oelamasi ke Baun (Kelurahan Teunbaun) Kecamatan Amarasi Barat, alternatif jalan yang dapat ditempuh dapat melalui Oelamasi – Oekabiti – Kotabes – mengarah ke Barat – Tunbaun dan beberapa desa lagi untuk sampai ke Baun. Waktu tempuh hampir 2 jam. Namun, fakta lapangan tidak demikian. Jalan yang harus dilewati beresiko terlebih bila menggunakan jasa angkutan sewa akan semakin mahal. Maka pilihan lainnya yakni melewati kota Kupang, Jalan H.R Koroh untuk selanjutnya tiba di Baun. Padahal, dua unit SMP di bawah pengawasan saya tidak berlokasi di ibukota Kecamatan Amarasi Barat. Saya harus tiba di desa Merbaun yang bertetangga dengan Kelurahan Teunbaun. Sedikit ada kemudahan pada dua kecamatan terakhir ini yakni Kecamatan Nekamese dan Kupang Tengah yang jaraknya amat dekat dengan Kota Kupang.
Gambaran konteks lokus yang demikian itulah yang harus saya tempuh ketika saya menyebutkannya sebagai “berkelana”. Berkelana untuk sejumlah tugas pokok dan fungsi sebagai Pengawas Sekolah. Dapatkah Anda membayangkannya?
Penulis: Dra. Mery Tunu
Editor: Heronimus Bani