Penyesuaian Prosesi Peminangan pada Masyarakat Kota Kupang

Pernikahan pada masyarakat manapun sebagai sesuatu yang sakral dalam rangka tugas pro kreator yang diamanatkan Sang Khalik Ilahi. Pernikahan akan mengantar sepasang kekasih masuk ke dalam kehidupan rumah tangga. Dalam rumah tangga sepasang kekasih pada mulanya berfungsi sebagai suami-isteri, dan fungsi itu akan bertambah menjadi ayah-ibu (atau mama-bapa) pada anak-anak kelak. Fungsi-fungsi yang lebih luas di tengah kehidupan bersama pun akan bertambah seiring bertambahnya waktu dan penilaian kedewasaan pada sepasang kekasih itu.

Mengurus pernikahan bukan hal baru dalam masyarakat manapun. Metode dan pendekatan diwujudkan dalam tutur dan perilaku yang selalu mengedepankan etika, moral dan nilai-nilai yang terkandung dalam item-item simbol budaya menurut etnis tertentu dalam entitasnya masing-masing. Semua itu dilakukan sebagai wujud menempatkan martabat manusia di tempat terhormat dan prioritas.

Masyarakat kota manapun selalu heterogen. Hal ini terjadi karena kota merupakan satu tempat yang memiliki daya tarik. Di kota tersedia berbagai fasilitas pendukung yang kiranya menjadi penyebab orang berbondong-bondong ke kota dengan membawa mimpi dari kampung sekitar, terjauh, bahkan dari seberang pulau dan kepulauan. Suku-suku bangsa bertemu di kota. Mereka berbaur dalam komunitas-komunitas. Dalam pembauran ini terjadi kontak-kontak, terutama pada para muda yang kelak mengambil keputusan menjadi sepasang kekasih, dan siap menjalani hidup sebagai suami-isteri dalam ikatan rumah tangga.

Menikahkan sepasang kekasih itu rasanya mudah. Menurut aturan yang berlaku secara formal saja menurut agama dan aturan negara. Itu sudah cukup sehingga tidak ruwet dan ribet. Tetapi, Undang-Undang Perkawinan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap mengakomodir satu point penting dari tahapan urusan perkawinan, yakni, menurut hukum adat yang berlaku dan diterima secara umum. Masalah terbesar dalam urusan pernikahan pada masyarakat perkotaan, hukum adat perkawinan seperti apa yang hendak diterapkan?

Berikut ini sebagai pemisalan belaka. Masyarakat Kota Kupang yang heterogen bagai Indonesia mini. Siapa yang akan menolak bila sepasang kekasih telah jatuh cinta hingga memutuskan menjadi kekasih dalam rumah tangga sebagai suami-isteri sekalipun mereka berbeda etnis dan entitas budaya? Mungkin pula mereka berbeda agama/keyakinan?

Masyarakat Kota Kupang yang heterogen itu bagaikan sudah secara gamblang menerima satu prosesi pelaksanaan hukum adat perkawinan. Prosesi itu disebut dalam bahasa lokal, Bahasa Melayu Kupang, maso minta nona. Apa saja isian dari maso minta nona?

Pada prosesi maso minta nona, di sana selalu dipercakapkan isiannya yang dinampakkan berupa dulang. Dulang-dulang yang disiapkan umumnya diurutkan sebanyak 5 (lima) dulang, dan dapat ditambahkan lagi menjadi 7 (tujuh) atau mungkin lebih, bergantung pada konsep dan alur pikir pihak keluarga nona yang hendak menerima peminangan. Dulang yang sebanyak 5 (lima) biasanya diurut-urutkan sebagai berikut:

  1. Lilin dan Alkitab; sering pula ditempatkan pula satu unit lampu (gas/stromking), atau diganti dengan lampu emergency saat ini. Maknanya, terang membuka jalan pada keluarga pihak laki-laki agar dapat tiba di rumah nona yang hendak dipinang (dilamar). Bila pada hari-hari sebelumnya keduanya masih bagaikan berjalan di dalam gelap-kelam sehingga mereka tidak atau belum mengetahui ke arah mana mereka akan melabuhkan cinta yang bertaut, maka kini ada jalannya. Terang pada lilin atau cahaya lampu memberi ruang dan makin kelihatan pada orang/masyarakat sekitar.
  2. Sepasang pakaian (tenunan) untuk orang tua. Isinya bukan saja pakaian namun wajib diisi dengan item-item budaya yang mengharuskan pemberian-pemberian kepada orang tua (air susu mama), saudara laki-laki, adik atau kakak, paman (Om/To’o), Pemerintah Kelurahan, dan pihak institusi keagamaan. Pada point ini item-itemnya dapat ditambahkan atau dikurangi seturut konsep yang ditawarkan kepada  pihak keluarga laki-laki.
  3. Perangkat pakaian dan aksesori untuk nona; sangat sering di sini ada satu unit barang mas (umumnya berupa kalung). Volume emas ditentukan oleh pihak keluarga nona, yang sangat sering tidak boleh ditawar-tawar. Barang mas tersebut ditempatkan pada satu unit tempat sirih-pinang, akan lebih baik pada tempat sirih-pinang yang berlaci.
  4. Perangkat alat-alat make up untuk nona
  5. Sirih-pinang bonak dan ikutannya berupa kapur dan tembakau. Di sini maknanya sebagai penutup acara maka kerabat, sahabat dan tamu undangan dapat turut serta mengambil bagian dalam makan sirih-pinang sebagai budaya orang meminang (melamar) gadis/nona (maso minta nona). Wujudnya yakni akan disediakan makanan untuk dinikmati bersama, yakni yang diungkapkan dengan satu kalimat pendek, semeja sehidangan sebagai semenda.

Pernikahan pada masyarakat manapun sebagai sesuatu yang sakral dalam rangka tugas pro kreator yang diamanatkan Sang Khalik Ilahi. Pernikahan akan mengantar sepasang kekasih masuk ke dalam kehidupan rumah tangga. Dalam rumah tangga sepasang kekasih pada mulanya berfungsi sebagai suami-isteri, dan fungsi itu akan bertambah menjadi ayah-ibu (atau mama-bapa) pada anak-anak kelak. Fungsi-fungsi yang lebih luas di tengah kehidupan bersama pun akan bertambah seiring bertambahnya waktu dan penilaian kedewasaan pada sepasang kekasih itu.

Mengurus pernikahan bukan hal baru dalam masyarakat manapun. Metode dan pendekatan diwujudkan dalam tutur dan perilaku yang selalu mengedepankan etika, moral dan nilai-nilai yang terkandung dalam item-item simbol budaya menurut etnis tertentu dalam entitasnya masing-masing. Semua itu dilakukan sebagai wujud menempatkan martabat manusia di tempat terhormat dan prioritas.

Masyarakat kota manapun selalu heterogen. Hal ini terjadi karena kota merupakan satu tempat yang memiliki daya tarik. Di kota tersedia berbagai fasilitas pendukung yang kiranya menjadi penyebab orang berbondong-bondong ke kota dengan membawa mimpi dari kampung sekitar, terjauh, bahkan dari seberang pulau dan kepulauan. Suku-suku bangsa bertemu di kota. Mereka berbaur dalam komunitas-komunitas. Dalam pembauran ini terjadi kontak-kontak, terutama pada para muda yang kelak mengambil keputusan menjadi sepasang kekasih, dan siap menjalani hidup sebagai suami-isteri dalam ikatan rumah tangga.

Menikahkan sepasang kekasih itu rasanya mudah. Menurut aturan yang berlaku secara formal saja menurut agama dan aturan negara. Itu sudah cukup sehingga tidak ruwet dan ribet. Tetapi, Undang-Undang Perkawinan di Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap mengakomodir satu point penting dari tahapan urusan perkawinan, yakni, menurut hukum adat yang berlaku dan diterima secara umum. Masalah terbesar dalam urusan pernikahan pada masyarakat perkotaan, hukum adat perkawinan seperti apa yang hendak diterapkan?

Berikut ini sebagai pemisalan belaka. Masyarakat Kota Kupang yang heterogen bagai Indonesia mini. Siapa yang akan menolak bila sepasang kekasih telah jatuh cinta hingga memutuskan menjadi kekasih dalam rumah tangga sebagai suami-isteri sekalipun mereka berbeda etnis dan entitas budaya? Mungkin pula mereka berbeda agama/keyakinan?

Masyarakat Kota Kupang yang heterogen itu bagaikan sudah secara gamblang menerima satu prosesi pelaksanaan hukum adat perkawinan. Prosesi itu disebut dalam bahasa lokal, Bahasa Melayu Kupang, maso minta nona. Apa saja isian dari maso minta nona?

Pada prosesi maso minta nona, di sana selalu dipercakapkan isiannya yang dinampakkan berupa dulang. Dulang-dulang yang disiapkan umumnya diurutkan sebanyak 5 (lima) dulang, dan dapat ditambahkan lagi menjadi 7 (tujuh) atau mungkin lebih, bergantung pada konsep dan alur pikir pihak keluarga nona yang hendak menerima peminangan. Dulang yang sebanyak 5 (lima) biasanya diurut-urutkan sebagai berikut:

  1. Lilin dan Alkitab; sering pula ditempatkan pula satu unit lampu (gas/stromking), atau diganti dengan lampu emergency saat ini. Maknanya, terang membuka jalan pada keluarga pihak laki-laki agar dapat tiba di rumah nona yang hendak dipinang (dilamar). Bila pada hari-hari sebelumnya keduanya masih bagaikan berjalan di dalam gelap-kelam sehingga mereka tidak atau belum mengetahui ke arah mana mereka akan melabuhkan cinta yang bertaut, maka kini ada jalannya. Terang pada lilin atau cahaya lampu memberi ruang dan makin kelihatan pada orang/masyarakat sekitar.
  2. Sepasang pakaian (tenunan) untuk orang tua. Isinya bukan saja pakaian namun wajib diisi dengan item-item budaya yang mengharuskan pemberian-pemberian kepada orang tua (air susu mama), saudara laki-laki, adik atau kakak, paman (Om/To’o), Pemerintah Kelurahan, dan pihak institusi keagamaan. Pada point ini item-itemnya dapat ditambahkan atau dikurangi seturut konsep yang ditawarkan kepada  pihak keluarga laki-laki.
  3. Perangkat pakaian dan aksesori untuk nona; sangat sering di sini ada satu unit barang mas (umumnya berupa kalung). Volume emas ditentukan oleh pihak keluarga nona, yang sangat sering tidak boleh ditawar-tawar. Barang mas tersebut ditempatkan pada satu unit tempat sirih-pinang, akan lebih baik pada tempat sirih-pinang yang berlaci.
  4. Perangkat alat-alat make up untuk nona
  5. Sirih-pinang bonak dan ikutannya berupa kapur dan tembakau. Di sini maknanya sebagai penutup acara maka kerabat, sahabat dan tamu undangan dapat turut serta mengambil bagian dalam makan sirih-pinang sebagai budaya orang meminang (melamar) gadis/nona (maso minta nona). Wujudnya yakni akan disediakan makanan untuk dinikmati bersama, yakni yang diungkapkan dengan satu kalimat pendek, semeja sehidangan sebagai semenda.
  1. Isi dulang khusus untuk orang tua berupa air susu ibu sebagai tanda hormat dan terima kasih, pemberian saudara dan keluarga-keluarga
  2. Isi dulang berikutnya dikhususkan untuk Paman (To’o, Baab-mone, Na Mone Ama). Biasanya sudah tersirat makna pindah marga, sea’nono, kaosnono

Dalam suatu pertemuan maso minta nona di Kelurahan Oepura Kota Kupang, seorang tokoh masyarakata, John Adoe mengatakan, masyarakat Kota Kupang sudah harus melakukan penyesuaian-penyesuaian dalam rangka mengurus perkawinan menurut hukum adat. Penyesuaian itu dilakukan mengingat heteroganitas masyarakat dan aspek efektivitas dan efisiensi. Masyarakat perkotaan tidak ingin keluar dari lingkar budaya, tetapi harus mengikuti zaman dimana mobilitas semakin cepat. Masyarakat perkotaan, khususnya di Kota Kupang atau kota-kota kabupaten di Nusa Tenggara Timur tetap merindukan untuk memelihara tindak dan sikap budaya dalam pelaksanaan hukum adat perkawinan. Itulah sebabnya, penyesuaian-penyesuaian diperlukan.

Penulis: Heronimus Bani

Pos terkait