Pemda Harus Peka, Rakyat Kabupaten Kupang Sedang Sulit di Masa Pandemi

Penulis: Chris M. Bani (Anggota KNPI Kabupaten Kupang)

Kupang-, Penanganan pandemi Covid-19 beserta dampak yang ditimbulkannya membutuhkan gerak dan langkah luar biasa dari seluruh pihak. Oleh sebab itu, seluruh anak bangsa dituntut untuk terus mentaati segala aturan serta prokes yang dianjurkan oleh pemerintah pusat.

Bacaan Lainnya

Beberapa hari yang lalu Presiden Joko Widodo kembali memutuskan untuk memperpanjang kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 30 Agustus 2021 mendatang. Dalam perpanjangan ini, pemerintah memberlakukan sejumlah relaksasi. Bahkan, ada beberapa daerah yang statusnya kini bukan lagi wilayah PPKM level 4 melainkan level 3.

Tentu hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Provinsi NTT. Pemprov NTT nampak mempertontonkan pertunjukan yang tidak elok, dengan mengadakan acara di Pulau Semau. Hal ini nampak dari beberapa video yang tersebar luar di media sosial.

Acara dimaksud seperti yang dikomfirmasi media bahwa kegiatan tersebut adalah pengukuhan TPAKD Kabupaten dan Kota Se-Provinsi NTT. Acara itu digelar pada Jumat 27 Agustus 2021 di Desa Otan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang.

Acara yang nampak meriah tersebut dihadiri oleh para pejabat penting di lingkup Pemprov NTT dan juga daerah tingkat II. Positif dari acara itu yakni pemerintah daerah bermaksud untuk mendorong pengembangan sektor UMKM, namun sayangnya keadaan acara tidak menunjukan contoh yang baik bagi rakyat, yang mana di masa sulit lantaran pendemi ini pemerintah seharusnya membatasi kegiatan dengan jumlah tamu, namun yang terjadi sabaliknya.

Penulis yang adalah warga Kabupaten Kupang tentu sedikit kecewa karena Bupati Kupang, Korinus Masneno juga tampak hadir di sana. Tentu ini menjadi miris setelah sebelumnya Pemkab Kupang juga dikritisi terkait penanganan covid-19 yang amburadul. Persoalan anggaran yang tidak transparan, persoalan TPC yang menuai kritik warga, hingga adanya dugaan para honor tenaga medis penanganan covid-19 juga belum dibayar.

Tentu ini hanyalah sebuah kritikan agar ada pembenahan dan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Namun yang perlu disadari adalah Bupati Kupang harus benar-benar menunjukan taringnya dalam penanganan covid-19, setidaknya turun dan melihat langsung keadaan di TPC Oelnasi, bisa beraudiens bersama para tenaga medis dan lapangan yang bersentuhan langsung dengan rakyat terkait penanganan pandemi.

Penulis juga punya data terkait kondisi TPC pasca dimakamkan tiga pasien covid-19. Sangat miris, yang mana kondisi tempat makan yang kesulitan tanah dan proses pemakaman yang hanya menggunakan kelengkapan seadanya. Ini tentu tidak menjadi alasan bahwa TPC baru dibuka jadi segalanya terbatas. Makam memang baru dibuka, tetapi persoalan pandemi sudah berjalan hampi 2 tahun, ditambah lagi perencanaan anggaran dari Pemkab Kupang yang semestinya sudah matang. Jika belum sempurna perencanaannya maka alangkah baiknya dibuka secara transparan anggaran covid agar bisa jadi bahan evaluasi bersama rakyat.

Penulis ingin mengingatkan para pemangku kepentingan, bahwa pandemi belum benar-benar pergi. Pandemi memaksa korban keekonomian berhamburan. Ini terjadi karena wabah sebagai pembunuh ini belum tuntas tertangani. Kampanye stay at home yang pernah digaungkan selama beberapa bulan pada awal datangnya wabah telah merusak, menghantam, hingga akhir menghancurkan berbagai sektor.

Pengangguran lantas terjadi di seantero negeri. Rakyat terjebak dalam kesulitan. Wabah, pada akhirnya, memproduksi ketidakpastian. Situasi tersebut memaksa negara untuk menjalankan tata kelola pemerintahan berbasis krisis. Konsekuensinya, cara mengelola negara menjadi tidak ideal. Pemerintahan dikerjakan dalam nuansa serba terbatas sehingga output-nya berpotensi menjadi terbatas pula.

Pemerintah memiliki semua yang tidak dimiliki masyarakat; sumber daya ekonomi, akses internasional, data yang komprehensif, hingga kebijakan yang mengikat. Bekal tersebut lantas memposisikan pemerintah sebagai pihak yang idealnya, memimpin penyelesaian persoalan. Sehingga, jika dilakukan dengan benar, dalam situasi krisis, baik kesehatan, ekonomi, moral, maupun legitimasi, pemerintah akan mampu menjadi tumpuan rakyat untuk keluar dari ketidakpastian.

Jika kita lihat secara seksama, maka sebetulnya publik sedang menunggu pemda menjalankan fungsi intermediatornya. Artinya, pemda harus bisa menjalankan perannya sebagai representator untuk dua wajah sekaligus; sesekali mewakili negara, sesekali mewakili masyarakat. Ketika pemda sedang menggunakan wajah negara, maka dia adalah perwakilan pemerintah pusat di daerah. Mereka bertugas untuk menyampaikan kebijakan pusat, dalam aneka rupa penyesuaian teknis di level lokal.

Penulis secara pribadi percaya pemerintah terus berupaya menyelamatkan rakyatnya. Namun di sisi yang lain, sudah sekian puluh pekan kita lalui, tetapi kurva kasus Corona tak kunjung selesai, PPKM Level 4 dikumandangkan. Andai pemerintah tidak meremehkan virus ini, penulis kira kita bisa memberikan antisipasi secara lebih baik. Ringkasnya, belum berhasilnya pemerintah mengendalikan pandemi berdampak pada belum maksimalnya kepercayaan masyarakat.

Pemkab Kupang harus membuka ruang bagi rakyat untuk menyampaikan pendapat. Masyarakat tentu memiliki hak untuk menyampaikan suaranya. Entah ide itu akan terlebih dulu disampaikan kepada pemda atau langsung kepada pemerintah pusat, dengan memanfaatkan berbagai kanal yang mungkin mereka gunakan. Namun demikian, pemda berkepentingan untuk memfasilitasi proses teknis terjadinya penyampaian pendapat tersebut.

Akhirnya penulis sedikit berpesan, janganlah sampai kritikan ini kembali berulang tahun. Kejadian di Pulau Semau menjadi catatan penting hilangnya kepekaan kepala daerah bagi rakyatnya. Pemimpin harus memiliki rasa kepekaan atau sensitifitas bagi rakyatnya. Hal ini dibutuhkan agar penguasa mampu bijaksana, dan untuk menjaga tidak melakukan hal-hal memalukan perasaan rakyat atau bertindak tidak adil.

Olah rasa lahir dari penghayatan yang orisinil, tidak artifisial, seperti halnya pencitraan, yang belakangan ini rame dilakukan elit kekuasaan dengan melakukan kegiatan dalam kemasan, basa-basi blusukan, tebar pesona, tanpa content dan solusi atas masalah.

Olah rasa seharusnya ada dan ini yang akan menjadikan seorang penguasa tahu batas, tahu malu dan memiliki standar etika. Sehingga perbuatan yang tidak sepatutnya seperti nepotisme, aji mumpung menjadikan anak, menantu, besan, dan kerabat memegang posisi penting dalam pemerintahan.

Olah rasa juga melatih penguasa menyatukan kata dengan perbuatan. Pamor kekuasaan akan jatuh dalam kehinaan apabila dipertahankan dengan kepalsuan dan kebohongan. 

Terakhir, penulis ingin meminta maaf jika ada kesalahan kata yang menyinggung para pemimpin daerah. Karena bagi penulis, hakekat dari seorang penguasa adalah ketika pemimpin hilang rasa maka itu adalah sumber bencana bagi rakyatnya. Salam Sehat

Pos terkait