Seberkas Keikhlasan

  Seberkas Keikhlasan

 

Bacaan Lainnya
Ewinda Feni

Cerita kehidupan ini, berasal dari satu keluarga kecil  yang hidup di desa,  jauh dari perkotaan yang ramai. Di sana hiduplah seorang gadis yang diberi nama Santi. Santi, anak yang dilahirkan tanpa diakui oleh ayahnya. Ia hidup atas belas kasihan  sang nenek, sedangkan sang ibu menikah lagi dan tak menghiraukan keadaannya. Suami  dari sang ibu sangat keras dan tidak memperbolehkan sang ibu  memberikan uang, makanan atau apapun termasuk  kebutuhan sekolah.

Di balik  semuanya, ada seorang wanita tulus dan kuat yang beradu nyali untuk membesarkan cucunya sendiri. Tanpa bekal pengetahuan dari sekolah formal. Ia berkeinginan agar kelak sang cucu bisa bersekolah  dan menjadi  seorang yang sukses adalah doa yang terus diucapkannya setiap kalinya.  Santi dikenal memiliki watak pendiam dan bersemangat untuk mengenyam Pendidikan setinggi mungkin. Sepulangnya dari sekolah, setiap hari ia selalu membantu sang nenek di kebun atau di sawah milik tetangga. Ia juga berprestasi di sekolah  namun, apa daya sering kali uang sekolanya tidak dibayar, bukan karena lalai tapi keadaan ekonomilah yang memaksanya untuk telat membayar uang sekolah dan selalu saja namanya dipanggil ke depan kelas.

Keiklasan dan  kekuatan doa serta tekad membaja dari sang nenek dan Santi merupakan tumpuan bagai batu loncatan untuk tiba pada menamatkan sekolah dasar, sekolah menenggah pertama dan masuk pada  sekolah menengga atas. Masa SMA adalah masa dimana ia selalu dibully, dihina dengan kata-kata yang kasar dan terkadang diperlakukan secara tidak adil.

Beginilah kata-kata  hinaan yang sering terdengar …

“ Dasar anak hutan, dasar anak haram dan juga tidak sedikit yang mengoloknya miskin.  Masih banyak lagi kata-kata yang dilontarkan oleh para tetangga  dan beberapa keluarga yang merasa tidak senang ia bersekolah. Kata-kata sumpah serapah yang sering keluar dari mulut-mulut yang tidak memilik hati pun seringkali terdengar.

Ibunya seperti itu pasti anaknya juga  mengikuti jejak ibunya tidak bisa menjaga diri” bahkan ada juga yang mengatakan kamu jangan sekolah lagi keluar (daerah) saja, supaya kawin  dan ada juga juga yang mengatakan mungkin ia SMA kelas 2 dia sudah bunting (hamil).

Sumpah serapah ini sering terdengar sampai pada kuping neneknya yang janda dan sudah rentah umurnya. Betapa hancur luluh hatinya namun apa daya, sang nenek hanya  bisa mencucurkan air matanya dan memangil cucunya untuk bersama-sama berdoa dan selalu memotifasi cucunya agar tidak boleh putus asa.

”Nak kamu harus kuat, jangan  bersedih pada keadaan, apalagi menangis. Kamu harus kuat dan tetap percaya pada Tuhan, terkadang Tuhan memberikan seseorang cobaan karena dia sangat mecintai orang tersebut dan juga dia tau jika orang yang mendapat cobaan darinya adalah orang yang kuat. Untuk itu tetap kuatkanlah hatimu , Tuhan tahu apa yang kamu butuhkan bukan apa yang kamu inginkan, air matamu suatu hari akan digantikan dengan rasa sukacita yang besar,”

Hidupmu hari ini di ibaratkan segumpulan asap kayu api di dapur yang menyelimutimu,  membuatmu sesak nafas dan mengeluarkan air mata namun dibalik asap yang mengumpal itu terdapat  (percikan) api yang keluar dan bermanfaat bagi kehidupanmu. Jangan menyerah dan tetap kuat menghadapi segalanya.

Kalimat-kalimat ini yang selalu keluar dari mulut sang sang nenek, sehingga bagi Santi kalimat-kalimat ini adalah  sebuah  pegangan  yang kuat baginya dalam menghadapi hari-hari hidupnya .

Cerita hidup Santi terus berlanjut, Santi   melanjutkan pendidikannya pada bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun Santi kuat namun terkadang dia juga berkecil hati karena bukan saja diolok oleh tetangga dan keluarga sekitar namun  ia juga di olok guru dan teman sebayanya lantaran uang sekolahnya yang selalu tertunda  dan seragamnya yang sudah kusut.  Pakaian sekolahnya adalah pakaian bekas yang di peroleh dari anak tetangganya yang telah menamatkan diri setahun yang lalu. Penuh kekurangan dalam segi ekonomi bukanlah satu alasan bagi santi untuk menyerah, tekat yang kuat disertai doa, ia pun melanjutkan sekolahnya meskipun hidup pas-pasaan namun ia selalu giat belajar.

Seperti kata pepatah “Setiap usaha tidak pernah mengkhianati hasil begitupun dengan Santi, meskipun berkekurangan namun ia mampu meraih prestasi  di kelasnya. peringkat ke 5 dari 32 siswa pada semester pertama dan peringkat 3 saat semester kedua. Hal ini sangat baik untuk perjalanan kehidupanya selanjutnya.  Sehingga ia mendapatkan beasiswa pada kelas 2 SMA. Hal ini,  sangat menolongnya dan neneknya yang sudah tua.

Karena faktor umur, sang nenek tidak  lagi pergi kekebun seperti biasanya.  Saat inilah, dimana santi harus berjuang sendiri sebagai tulang punggung keluarga yang harus menyambung kehidupan dirinya sendiri dan neneknya.  Meskipun demikian, ia tetap jalani kehidupannya.  Waktu pun berlalu ia melewati semuanya dengan lapang dada dan penuh keiklasan sehingga dia bisa masuk pada kelas 3 SMA, dimana hatinya sangat gembira namun, saat ia  melihat  neneknya yang semakin kurus dan tua, hatinya seakan menangis namun ia berusaha tetap kuat dan tegar agar neneknya tidak sedih. Tantangan hidup yang ia hadapi selalu saja ada dimana menginjak masa-masa ini banyak laki-laki yang membujuk dan merayunya namun ia menolak dan terkadang pula ada saja laki-laki usil yang datang melempari rumah serta mengetok jendela rumah mereka dan meminta kepada Santi agar keluar bersama laki-laki usil itu. Hatinya  terkadang terusik secara biologis ia juga gadis yang normal. Namun saat ia mulai memikirkan untuk  merasakan indahnya masa muda selalu saja ada bayang-bayang neneknya yang sudah tua sehingga hatinya  tetap tegar memilih  sendiri menjadi tulang punggung bagi neneknya yang sudah tua meskipun ia masih sekolah.

Cobaan pada hidupnya  seakan begitu berat melebihi batas ambang kemampuannya sebagai  seorang perempuan, namun saat ia  ingin menyerah ia selalu mengingat  kata-kata neneknya. Perjuanganya pulang sekolah tanpa istirahat hanya pakaian seragamnya yang diganti dan makan siang  seadanya. Ia melanjutkan perjalanannya kekebun untuk mencari kelapa dan sayur untuk dijual agar dapat membeli beras demi makan mereka sehari-hari. Tidak jarang Santi membantu tetangganya di sawah kemudian tetangganya memberikannya  sedikit padi, di situlah ia dan neneknya dapat bertahan hidup.  Mengingat ia pun kelas 3 sebagai kelas persiapan ujian nasional maka, setelah pulang kebun ia juga menyempatkan dirinya untuk  belajar pada malam  hari jika ia tak begitu capek namun jika Santi sangat capek maka ia tidak belajar saat malam. Neneknya selalu membangunkannya  jam 4 subuh unuk belajar. Niat dan perjuangan sangat besar sehinga Santi bisa memasuki ruang ujian nasional yang selengarakan di sekolahnya. Hatinya seakan berdebar kencang menghadapi semuanya tapi niatnya dan mengingat nenek nya  yang sudah tua dan sakit-sakitan maka muncul kekuatan agar ia bisa menghadapi ujian ini. Ujian pun berlalu pengumuman hasil pun di nantikan telah tiba. saat –saat yang mendebarkan adalah penerimaan amplop oleh orang tua atau wali namun karena sang nenek sakit maka Santi meminta tolong pada tetangganya. Sebelumnya ia berangkat ke sekolah  ia memberitahu pada neneknya terlebih dahulu.

Katanya, Nenek hari ini saya dengar pengumuman, nenek doa yah biar saya lulus , kalau  saya tidak lulus artinya nenek tidak berdoa buat saya!”.  Begitulah canda terakhir Santi pada neneknya.  Dengan  mata yang sembab dan tulus sang nenek meneteskan air matanya dan berkata, Tuhan pasti akan memberikan dirimu yang terbaik. Kemudian mereka berdua berdoa dan Santipun berangkat kesekolah untuk mendengar hasil pengumuman. Waktu yang di nantikan telah tiba, tetangganya pun datang dan mengambil hasilnya. Dengan muka sedikit gugup santi menerima amplop yang di berikan tetangganya kepada dirinya.

Santi berterimakasih dan membuka amplop tersebut, menangislah ia  dan  berlari pulang ke rumahnya ingin menceritakan jika ia lulus  namun apa yang terjadi   ia mendapatkan neneknya terjatuh dari ranjang, dan tak sadarkan diri. Ia pun histeris dan meminta bantuan kepada tetangga. Nenek nya dibawah ke puskesmas terdekat, nenek pun sadar tapi tidak mampu berbuat apa apa hanya senyum tipis yang ia utarakan, Santipun memeluk erat tubuh sang nenek. Dua  hari  berlalu, neneknya di perbolehkan pulang oleh dokter. Merekapun  kembali ke rumah.  Keesokan harinya, neneknya meminta Santi mengambil air untuk ia minum dan menyuapnya bubur, selesai makan ia berkata  bahwa ia ingin tidur, ternyata kalimat kalimat ini adalah kalimat terakhir yang di utarakan sang nenek, ternyata neneknya tertidur untuk selama-lamanya dan tak akan kembali  lagi. Hatinya seakan tidak sanggup menghadapi semuanya, Santi menangis memeluk, dan  berlutut dalam tangisannya ia  berkata nenek-nek bangun kenapa nenek tidak jawab? apakah nenek tidak menyayangi  saya ?  dengan siapa lagi saya akan mengadu, dengan siapa lagi saya akan bercerita”. Pertanyaannya  tak dijawab sekatapun.  Sang nenek telah kaku dan tak bernyawa. Demikian kronologi kepulangan sang nenek.

Saat itu  Santi sangat terpuruk dengan keadaannya, ia tahu bahwa  tidak ada lagi yang  menyayanginya, seakan putus asa dan berpikir untuk menikah dengan laki-laki yang mau menerima dirinya apa adanya namun. Takdir berkata lain. Datanglah seorang kerabat jauh yang  datang  berbela sungkawa atas kematian neneknya.  Kerabat tersebut telah mendengar semua kisah Santi dan neneknya selama ini dari para tetangga terdekat, ia pun merasa  ibah sehingga ia memutuskan membawa Santi untuk  bekerja di rumah temannya yang waktu itu membutuhkan  seorang yang jujur dan bisa membantu istrinya menjaga anak-anaknya. Santi pun ikut kerabatnya itu dan bekerja di kota dengan sukacita. Santi pun bekerja di rumah teman kerabatnya sebagai pembantu rumah tangga.  Karena sikapnya yang jujur dan ramah, mengugah perasaan majikannya, sang majikan mengajakya berkuliah dengan  syarat tinggal di rumahnya dan bantu istrinya menjaga anak-anaknya dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.  Santi sangat bahagia karena apa yang di cita-citakan oleh neneknya sedikit demi sedikit terwujud. Santipun didaftarkan dan berkuliah. Namun siapa menyangka, jika takdir berkata lain, pada kenaikan semester kedua, suami sang majikan meninggal. Kenyataan yang pahit harus di hadapinya lagi, meskipun demikian karena tekat yang kuat Santi tetap berkuliah walaupun harus bekerja tambahan di warung makan. Santi tetap tinggal bersama istri majikan dan  anak-anaknya. Ia pun membantu medagangkan  hasil dagangan sang majikan. Meskipun berat bagi sebagian orang, namun bagi Santi ia mengerjakannya dengan sukacita. Tuhan pun  melihat kegigihan dan keiklasannya dalam menjalani hidup hingga dia di perbolehkan menamatkan dirinya dari perguruan  tinggi.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *