Roy Wijaya Ungkap Sedikit Sinopsis Film Fighter For Justice

Jakarta-InfoNTT.com,- Aktor sekaligus Produser Film Fighter For Justice, Herry Battileo, SH,.MH, makin serius menggarap film tentang keadilan dalam kehidupan masyarakat sosial.

Lewat Suradara Roy Wijaya, Herry Battileo menguatkan diri untuk terus berperan aktif, dan kini telah mendekati post produksi yang akan mulai syuting akhir bulan Januari 2021 yang rencananya di beberapa daerah.

Bacaan Lainnya

Film Fighter For Justice yang ditulis secara gamblang oleh sutradara Roy Wijaya ini seakan hendak menyampaikan pesan bahwa keadilan sudah ikut terkubur bersama sang tertuduh. Mereka yang membunuh keadilan tersebut dengan meminjam tangan-tangan kekuasaan.

“Kitalah yang menciptakan privilese pada kekuasaan, karena itu kita menjadi lebih bejat dan hina karena diam dan membiarkan kebejatan itu terjadi. Kita menjadi kotor karena bungkam melihat ketidakadilan itu terus saja berlangsung, bagai pisau bermata dua, tajam ke bawa dan tumpul ke atas,” ungkap Roy di Jakarta 30 November 2020.

Menurut Roy, sampai saat ini, akibat ketimpangan dalam keadilan, banyak merenggut nyawa bagi yang tidak bersalah. Akhir cerita dari Film ini, setelah puluhan tahun berlalu, fakta dan kenyataan akan kasus ini baru mulai terkuak.

Harry Battileo sebagai pengacara handal ditantang sang Sutradara untuk bisa menunjukan bakatnya dalam penampilan di adegan film ini sebagai peran utamanya.

Herry sendiri akan beradegan untuk menguatkan diri, bahwa pernah ada orang yang tidak bersalah tapi harus menanggungkan beban karena peradilan yang sepihak. Seperti itulah keadilan, selalu datang terlambat saat sudah memakan korban.

“Hal-hal seperti ini tentu saja bukan tidak mungkin juga terjadi di banyak negara di dunia ini, termasuk Indonesia. Seperti yang saya tulis dalam Film ini, Di mana para buruh menuntut perusahaan agar bisa memberikan hak sewajarnya. Penggusuran tanah juga terjadi di mana mana,” ungkapnya.

Hal ini menjadi kenyataannya, malah berkebalikan. Buruh dikriminalisasi, juga dituding menciptakan kegaduhan dan instabilitas. Sehingga akhirnya mereka harus berujung pada penangkapan dan penjara setelah diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi, diinjak-injak badannya, dipukul, ditendang perutnya, kepala, wajah dan seluruh badannya digeret-geret seperti penangkapan pelaku kriminal, lalu dijebloskan dalam sel.

“Sungguh ini tuduhan yang tidak masuk akal, konyol, serta memuakkan. Dalam persidangan mereka dinyatakan bersalah pula. Membandingkan itu, saya seperti melihat drama yang sama seperti di film ini,” jelas Roy.

Roy menjelaskan, kesan dalam film ini adalah kuasa atas hukum dan keadilan itu linier dengan kuasa modal. Siapa yang punya uang banyak, maka ia bisa membeli keadilan, karena instrumen keadilan tersebut adalah subjek yang telah menjadi komoditi bisnis sejak lama. Sehingga wajar yang salah bisa menjadi tidak bersalah, sementara yang tidak bersalah bisa jadi bersalah.

“Kemiskinan, kekurangan, ketidakberdayaan sepertinya dianggap tidak layak bersaing di dunia ini. Alih-alih hidup berdampingan dengan mereka yang menggenggam sumber penghidupan, karena kemiskinan, kekurangan serta ketidakberdayaan pada faktanya selalu jadi korban,” pungkasnya. (*Tim)

Pos terkait