Opini : Suara Pemberdayaan Oleh Aries Usboko

Aries Usboko

Everyone has the rights to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family,including food,clothing housing,and medical care. (Universal Declaration of Human rights,article 25)

Selama ini, pendekatan konvensional yang umumnya digunakan para ekonom dalam mengukur kemiskinan adalah dengan garis kemiskinan. Dalam perkembangannya, pendekatan konvensional itu telah banyak di tantang dengan pola pendekatan yang mencoba memasukkan kriteria-kriteria yang lebih luas daripada hanya sekedar ukuran pendapatan atau konsumsi.

Kriteria-kriteria tersebut antara lain pemenuhan kebutuhan pokok dan kapabilitas untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang secara intrinsik berharga bagi seorang manusia dalam kehidupannya. Amartya K Sen (1983) memperkenalkan konsep kapabilitas personal (Person’s Capabilities) yakni seseorang seharusnya memiliki sumber daya yang memadai untuk mencapai atau menjalankan seperangkat fungsinya sebagai manusia dalam hidup dan kehidupannya. Sen berargumentasi bahwa deprivasi dalam hal kapabilitas individu dapat berimplikasi kepada deprivasi relatif dalam hal pendapatan,sumber daya, atau komoditas.

Secara singkat, Hertel(2006)menyimpulkan ada tiga hal mendasar defenisi hak-hak ekonomi yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara dengan memerhatikan perdebatan akan hal itu masih terus berlangsung.Hak-hak ekonomi tersebut mencakup hak untuk kecukupan standar hidup (termasuk subsistence rights), hak untuk mendapatkan pekerjaan,dan hak untuk mendapat pendapatan dasar yang menjamin mereka-mereka yang tidak mampu (anak-anak, penganggur dan lansia) untuk dapat menopang kehidupan mereka.

Sejalan dengan pernyataan Sen diatas, dewasa ini berkembang pemikiran mengenai hak asasi manusia sebagai modal ekonomi. Younis (2004) menunjukkan pada dasarnya kaum miskin pun memiliki kemampuan untuk mengakumulasi modal (Capital) baik dalam bentuk fisik (infrastruktur), keuangan (kredit), dan manusia (pendidikan).

Pada kenyataannya masih sedikit sekali perhatian yang ditujukan terhadap kaum miskin dalam kaitannya mengenai kemampuan mereka mengakumulasi modal dalam bentuk-bentuk lain seperti modal natural, kelembagaan, dan budaya. Hak asasi manusia disini seharusnya dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari modal. Hak asasi manusia adalah bentuk capital endowment yang diperlukan oleh kaum miskin untuk dapat diakumulasi dalam konteks modal-modal lainnya yang dapat diakumulasi dan bisa keluar dari kemiskinan.

Kemiskinan yan masih melilit bangsa ini memerlukan sesuatu penanganan yang serius dari semua pihak. Pendekatan state-centered yang selama ini digunakan dalam mengatasi kemiskinan sudah seyogianya bergeser kearah penyelesaian masalah kemiskinan yang melibatkan multiaktor dan pluralis. Kaum miskin pun jangan hanya dilihat sebagai masalah dalam angka,tetapi yang lebih penting adalah memberdayakan mereka dan membuka akses bagi mereka seluas-luasnya untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi.Yang paling penting adalah jangan hanya sekedar melaporkan angka-angka kemiskinan, tetapi yang utama adalah bagaimana langkah nyata dan dukungan bagi saudara-saudara kita yang belum beruntung untuk dapat menjalani kehidupannya sebagai manusia dengan lebih bermartabat. (Teddy Lesmana,peneliti pada pusat penelitian ekonomi LIPI).

Sementara itu, Atkinson dan Bourguignon (1999) menggunakan kerangka berpikir yang sama mereka mendefenisikan kemiskinan sebagai ketidakcukupan kekuatan untuk mengakses sumber daya ekonomi. Sejumlah kapabilitas yang mutlak dimiliki seorang manusia dalam menjalankan kehidupannya kemudian di terjemahkan kedalam sejumlah persyaratan keperluan hidup yang relatif dalam setiap Kelompok masyarakat dengan ukuran standar hidup yang dipandang layak dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Kapabilitas manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya itu sendiri memiliki hierarki.

Setidaknya ada dua fokus perhatian mengenai kapabilitas yang di perlukan seorang manusia. Pertama, kapabilitas yang menyangkut kemampuan yang bersifat fisik yang memerlukan sejumlah kebutuhan hidup yang mutlak diperlukan seperti makanan dan minuman untuk memenuhi persyaratan gizi yang diperlukan oleh manusia untuk dapat menjalankan hidupnya. Kapabilitas itu memiliki prioritas yang sangat penting.

Kedua, kapabilitas seorang manusia dalam menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat seperti. BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (Income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective dan subjektive.

Pendekatan kebutuhan dasar, melihat bahwa kemiskinan sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capibilities) seseorang,keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi.

Sedangkan pendekatan pendapatan, melihat bahwa kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset dan alat-alat produktif seperti lahan pertanian dan perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang didalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.

Demikian pula pendekatan kemampuan dasar yang menilai bahwa kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Menurut Michael Sherraden bahwa dalam berbagai bentuk, teori budaya miskin ini berakar pada politik sayap kiri (Lewis) dan politik sayap kanan (Banfield).

Dari sayap kiri, perspektif ini dikenal sebagai situasi miskin yang mengindikasikan bahwa adanya disfungsi tingkah laku ternyata merupakan adaptasi fungsional terhadap keadaan-keadaan yang sulit (Michael Sherraden : 2006,Parsudi Suparlan : 1995). Dengan kata lain kelompok sayap kiri cenderung melihat budaya miskin sebagai sebuah akibat dari struktur social.

Sebaliknya kelompok sayap kanan melihat tingkah laku dan budaya masyarakat kelas bawah yang mengakibatkan mereka menempati posisi di bawah dalam struktur social.Semakin meningkatnya harga sembako (sembilan bahan pokok) masyarakat saat ini, tentu sangat terbuka pula ruang kejahatan untuk tercipta entah kapan dan di mana saja ada kesempatan.

Gerakan yang sangat radikal seperti teroris, pencurian, perdagangan manusia, prostitusi perkampungan, bahkan lebih marak lagi kawin kontrak kerap dilakukan oleh masyarakat kecil guna pemenuhan kebutuhan hidup yang bisa bertahan lama. Sikap dan tindakan yang dilakukan bukan berarti bahwa pelaku tersebut memiliki karakter seseorang penjahat namun tetap munculnya hasrat dan keinginan itu di picu oleh kebutuhan hidup yang semakin rumit untuk dipecahkan.karena itu tiga tahapan yang perlu diperhatikan pemerintah.

Pertama dialog, pendidikan dan belajar hidup dalam perbedaan, agar masyarakat yang berada pada garis kemiskinan bisa berusaha dan menemukan solusi terbaik daripada kemiskinan tersebut bukan lagi memaksakan diri untuk berbuat kejahatan. Kedua, pemerintah perlu mengurangi ketimpangan sosial, mempreoritaskan peningkatan ekonomi masyarakat serta menciptakan lapangan kerja. Ketiga, para elit politik harus berani membuat kebijakan yang benar-benar menunjukkan keterpihakan pada masyarakat kecil selayaknya pada masa kampanye politik dengan tujuan untuk mendulang suara terbanyak sehingga bisa meloloskan dirinya duduk dibangku pimpinan.

Meluasnya jejaring kejahatan dalam bangsa ini seolah-olah merupakan cambuk kecil bagi para penggerak roda pemerintah yang telah dipercaya oleh banyak masyarakat luas, dengan pengertian bisa melepaskan masyarakat dari jeratan trali kesengsaraan. Artinya bahwa,bukan hanya sekedar menggerakan para eksekutor untuk mengeksekusi dan memvonis para pelaku kejahatan, namun pemerintah harus mampu berdiri bersama dengan masyarakat, sehingga sama-sama berjuang agar keluar dari angka kemiskinan.

Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga. Seiring meloncatnya harga-harga sembako yang makin menyulitkan kehidupan sehari-hari bagi rakyat, maka banyak golongan dalam masyarakat akhir-akhir ini menggelar berbagai kegiatan atau aksi-aksi, untuk memanifestasikan kemarahan mereka dan aspirasi mereka akan adanya perubahan untuk perbaikan hidup mereka.

Banyaknya aksi-aksi dan beraneka-ragamnya tuntutan yang mereka lancarkan adalah tanda yang penting dan menggembirakan yang menunjukkan bahwa sebagian besar rakyat berani bangkit dan mengeluarkan suara-suara mereka untuk mengkritik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak beres, untuk menghujat korupsi dan penyelewengan kekuasaan, dan untuk melawan segala ketidakadilan. Sebab, perkembangan perjuangan berbagai golongan ini akhirnya akan melahirkan pemimpin-pemimpin baru, setelah melalui “seleksi” jangka panjang oleh rakyat yang mendambakan demokrasi dan keadilan.

Dalam situasi semacam ini, peran kaum elite dari berbagai kalangan adalah sangat penting,sebagai bagian dari agen-agen perubahan, karena semakin jelas sudah sekarang ini, bahwa banyak lembaga negara dan pemetintahan (umpanya DPR)semakin kehilangan kepercayaan rakyat. Maka aksi-aksi atau kegiatan extra-parlementer akan memegang peran yang penting dan utama dalam mengusahakan adanya perubahan-perubahan yang besar dan mendasar.

Kemiskinan sekarang terus melanda indonesia secara luas,pengangguran yang membengkak Sampai puluhan juta orang, anak-anak balita yang kurang gizi yang begitu banyak (26% dari seluruh balita di Indonesia), korupsi yang terus merajalela, kerusakan moral dan kebejatan iman yang telah membusukkan kehidupan bobroknya sistem hukum dan peradilan, pada bangsa ini adalah semuanya produk satu kekuasaan politik.

Pos terkait