Lockdown dan Liburan
Hari-hari ini dua kata di atas sedang naik daun sehubungan dengan kepanikan dan kecemasan tahun 2020 ini yang baru berjalan sampai Maret. Semua anak bangsa di China menjadi teramat panik ketika kota Wuhan merelakan penghuninya secara massal berdiam diri di dalam rumah, walau pada akhirnya korban berjatuhan dan bagai tak hendak dapat diupacarakan.
Pemerintah China bergerak teramat cepat membangun satu unit rumah sakit super komplit perlengkapannya. Entah para pekerja bangunan rumah sakit itu mengenakan perlengkapan keselamatan kerja seperti apa, oleh karena mereka pun harus terhindarkan dari “serangan” virus mematikan corona yang kemudian dalam pemberitaan selanjutnya namanya menjadi covid-19.
Pemerintah negara-negara tetangga mulai memasang ancang-ancang dalam rangka memproteksi negara dan warga negaranya agar terhindar dari serangan covid-19. Tetapi siapa yang dapat menahannya? Apakah ada negara yang mempunyai kekebalan terhadap serangan covid-19 yang bagai senjata biologi ini?
Menurut wartaekonomi.co.id, ada 11 negara telah memberlakukan kebijakan lockdown. Ke-11 negara itu, China, Malaysia, Italia, Irlandia, Denmark, Prancis, Polandia, Spanyol, Filipina, Lebanon, Selandia Baru.
Di Indonesia pemberlakuan kebijakan apa yang disebut sebagai lockdown itu memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Menurut Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian sebagaimana dilansir tagar.id, ada sejumlah pertimbangan untuk kebijakan yang satu ini. Dia menegaskan, untuk menerapkan kebijakan lockdown di suatu wilayah harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.
Tidak ada waktu luang untuk berdiskusi. Pertimbangan dan keputusan rasanya harus berjalan simultan sehingga segera tiba pada eksekusi lapangan. Sampai saat ini belum ada kota di Indonesia yang menerapkan kebijakan lockdown.
Media daring solopos.com menggunakan term semi lockdown yang sudah diberlakukan di Bogor, Banten, Sragen, Solo dan Malang. Beberapa kota telah memberlakukan kebijakan itu secara hati-hati mengingat pertimbangan rasional dan humanis.
Sementara itu pemberitaan tentang “serangan” covid-19 terus merebak. Gaungnya memberi dampak besar terutama pada kepanikan dan kecemasan. Padahal, kepanikan dan kecemasan pun sesungguhnya akan turut menjadikan tubuh ini rentan terhadap suatu penyakit. Mungkin saja bukan virus itu yang menyerang, tetapi justru penyakit lain yang menyerang tubuh.
Media daring jabar.idntimes.com memberikan sejumlah data pPenyebaran virus corona di DKI Jakarta yang terus bertambah. Menurut media ini, berdasarkan data yang ditampilkan Pemprov DKI Jakarta dalam situs Corona.Jakarta.go.id, hingga Kamis (19/3) per pukul 07.00 WIB, kasus covid-19 sudah mencapai 583 kasus. Angka tersebut terdiri dari 208 orang dinyatakan positif sedangkan 375 sisanya masih menunggu hasil pemeriksaan.
Pemberitaan-pemberitaan itu yang masif berdampak pada kegiatan berbagai aktivitas masyarakat, bahkan umat beragama pun mau tidak mau harus patuh pada seruan pemerintah untuk tidak berkumpul di rumah-rumah ibadah demi memutus rantai penyebaran virus ini. Suatu hal yang menyebabkan polemik antar para pemimpin agama sendiri di satu pihak dan pada sisi lain dapat saja dipolitisasi untuk kepentingan pragmatis.
Betapa covid-19 telah menggemparkan.
Kota-kota di pulau Timor pun tak berdiam diri. Di sana para pemimpin mula-mula menghimbau agar warga masyarakatnya menjaga kesehatan khususnya dengan mencuci tangan, memakai masker, menghindari kerumunan, jaga jarak ketika bertemu, tidak bersalaman, lebih baik lagi, jika terpaksa bersalaman harus dengan cara yang tidak biasa yang menjadi trend baru, dan masih banyak hal lainnya.
Kota Kupang menjadi semacam barometer dan rujukan kota-kota kabupaten.Ketika mobil berplat merah di Kota Kupang berkeliling kota dengan kabar himbauan agar masyarakat terus menjaga kebersihan dan kesehatan, kota-kota kabupaten lainnya pun seakan tertarik masuk dalam hal itu. Tentu saja bukan karena faktor kota Kupang, tetapi, kebijakan di tiap daerah berbeda oleh karena berbagai faktor yang mesti menjadi perhatian dan pertimbangan.
Kota Kabupaten Kupang, Oelamasi misalnya, dari sana mula-mula lahir kebijakan terbatas, membatalkan perjalanan dinas para ASN atau melarang ASN keluar dari wilayah Kabupaten Kupang. Lalu, terakhir muncul surat dari Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kupang Nomor: 800/569/PK/III/2020, tanggal 19 Maret 2020, perihal Liburan Sekolah.
Sangat disayangkan. Mengapa menggunakan term liburan? Bukankah liburan bermakna membebaskan dari bekerja? Jika term yang digunakan adalah liburan sekolah, padahal isi surat itu ada penugasan dan penegasan, mengapa mesti diliburkan? Libur itu memberi ruang kebebasan, ruang bergerak keluar dari rutinitas untuk mendapatkan kesegaran, rileks, refresh.
Akh…
Ketika surat itu beredar di berbagai grup WhatsApp, ada yang menanggapi secara guyon, “Enaaak!
Libur!”
Padahal, ketika hari pertama kembali ke sekolah, di sana ada tugas yang maha penting, ujian.
Kesadaran belajar mandiri pada masyarakat kita di Kabupaten Kupang rasanya belum ada. Membangun kesadaran itu masih diperlukan entah mungkin untuk lima sampai sepuluh tahun lagi ketika dunia digital telah merambah sampai ke seluruh pelosok Kabupaten Kupang. Pada waktu seperti itu mungkin orang akan segera masuk ke berbagai portal belajar mandiri yang ditawarkan.
Pada saat ini masyarakat pendidikan kita belum sampai pada titik berangkat belajar mandiri dengan menggunakan akses internet terutama yang “serius” yaitu belajar. Sementara belajar tertuntun saja masih banyak siswa merasa belajar adalam “beban” daripada kebutuhan dirinya untuk menyiapkan masa depannya. Maka, tidak heran jika ada siswa yang “menyiksa” guru hingga para guru harus bersimbah solidaritas dengan berdemo secara damai di Kota Kupang.
Lockdown ~ isolasi kota telah terjadi di kota-kota tertentu di banyak negara. Beberapa kota di Indonesia memberlakukan semi lockdown, dimana orang masih dapat keluar dari rumah untuk bekerja. Sementara di kota lain memberlakukan libur sekolah pada siswa dan guru.
Pilihan-pilihan diksi yang sulit. Mari mengisolasi diri, menahan diri untuk tidak keluar rumah sambil bekerja.Mengikuti himbauan pemerintah tentulah tidak salah agar memutus penyebaran cavid-19 yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop. Berlibur bukanlah sesuatu yang salah dan keliru.
Bijaklah.
Koro’oto, 19 Maret 2020