Oelamasi-infontt.- Sejumlah 8 orang guru SD Inpres Lili mengadakan suatu perjalanan proses pembelajaran pada Kamis (23/04/20). Kerinduan berjumpa dan berinteraksi secara normal dengan para siswa telah membuncah di dada ketika pandemic covid-19 menjadi penghalang teramat besar. Seluruh institusi pendidikan diperintahkan untuk melakukan proses pembelajaran di rumah. Suatu hal yang masih harus dicarikan formatnya oleh para ahli, walau dalam hal ini jaringan internet telah dapat menjawab sebahagian kebutuhan itu.
Apakah institusi-institusi pendidikan khusus Sekolah Dasar di Kabupaten Kupang sebagai salah satu wilayah NKRI telah dapat melakukan proses pembelajaran itu secara baik?
Berikut ini salah satu di antara sekian banyaknya sekolah-sekolah dasar di Kabupaten Kupang yang sedang melaksanakan proses pembelajaran dengan cara yang disebutkan mereka sendiri sebagai offline.
Delapan orang guru SD Inpres Lili mengambil inisiatif mengunjungi siswa-siswi mereka di salah satu kampung, yang menurut laporan kepada media ini, kampung tanpa nama? Agak mengherankan saja, di sekitar Fatule’u ada kampung tanpa nama. Tapi, itulah yang terjadi. Para guru berjalan kaki saja (hiking) ke sana. Mereka patuh pada protokol kesehatan yang sedang diterapkan saat ini. Bermasker. Lalu dalam gaya backpacker mereka tiba di kampung itu menyeberangi sungai.
Ketika memasuki sungai, seorang anak telah melihat kedatangan para guru. Sang anak begitu bergirangnya. Ia lalu meneriaki sang guru, “Ibuuuu…. Beta di sini! Beta ada ame aer … !”
Rasanya ingin berlari memeluk sang anak yang dalam keadaan normal akan ke sekolah dan duduk di bangku kelas I, rombongan ketiga (I C).
Anak ini bersama para guru berangkat memasuki kampung. Ia tidak lupa membawa beban air yang wajib baginya. Setibanya di rumah, ia memanggil teman-temannya dan mengabarkan bahwa guru-guru sedang mengunjungi mereka. Betapa terkejutnya, semua anak dan orang dewasa di kampung ini tidak bermasker. Apa yang harus dilakukan para guru dengan protokol kesehatan yang ditegaskan oleh pemerintah?
Proses belajar dilakukan. Anak-anak berebutan mengambil buku-buku pelajaran dan mulai membaca. Para guru tidak lupa untuk memberikan penjelasan pada materi yang sedang dibacanya. Dalam situasi ini mereka amat sangat polos. Tanpa beban mereka berbicara dengan para guru yang juga sedang memendam rindu untuk berinteraksi dalam proses pembelajaran yang mestinya normal di sekolah.
Para orang tua yang ditemui menyaksikan proses pembelajaran ini. Mereka menceritakan kondisi ekonomi mereka yang seadanya. Sebahagian dari bangunan rumah masyarakat di sana sangat jauh dari dianggap layak. Hasil ladang tahun ini yang gagal, diperparah dengan covid-19 yang memaksa harus bekerja dari rumah saja. Padahal, mereka sedang tidak punya pengetahuan tentang protokol kesehatan, sehingga tak satupun yang menggunakan masker, menyiapkan kebutuhan cuci tangan di rumah dan lain-lain sesuai petunjuk yang sudah berlaku dan dalam pengetahuan umum.
Para guru sungguh tersentuh hati. Tapi apa daya mereka. Di antara mereka ada yang statusya honorer. Menunggu jatah dari dana BOS yang masih jauh di awang-awang. Para guru telah melirik kampung ini. Mungkin baiknya kampung ini dinamai Kampung Lirik, sehingga para pemangku kepentingan dapat melirik masyarakatnya di sana.
Proses pembelajaran yang berlangsung dalam durasi waktu kurang dari dua jam, walau hanya dengan membaca, menjelaskan materi dan tugas, tanya jawab berakhir. Para guru melangkah pulang. Rasa rindu, haru, senang bercampur dan tergambar pada senyuman di wajah walau lelah tubuh karena harus hiking dan melewati sungai. Dapatlah dibayangkan bagaimana perjuangan anak-anak dari Kampung Lirik ini datang dan pulang dari rumah ke sekolah bila musim penghujan tiba.
Covid-19 menghalangi proses pembelajaran normal di sekolah. Interaksi guru-siswa terjadi dalam kerinduan bila guru mengambil inisiatif bertemu. Entahkah di sekolah lain telah melakukannya?
Laporan: Yustina Boymau
Editor : Roni Bani