Belajar Apa pada Hardiknas tahun 2020 ini?

gambar istimewa ranah publik

Belajar Apa pada Hardiknas tahun 2020 ini?
(catatan refleksi guru kampung di tengah pandemik covid-19)

 

Bacaan Lainnya

Pengantar

Heronimus Bani

Mungkin belum ada sejarahnya bila suatu hari besar nasional tidak ada upacaranya. Hari Buruh pada tanggal 1 Mei 2020 kemarin, diwarnai demonstrasi kecil-kecilan di beberapa tempat. Biasanya demonstrasi besar-besaran sehingga mendapat perhatian publik dan pemerintah sebagai sasaran suatu demonstrasi. Kecil-kecilan pun dapat menjadi perhatian publik dan pemerintah asal mesti kreatif menggelitik. Besar-besaran jika hanya untuk unjuk kebolehan sebagai orator, akan lalu begitu saja dibawa angin ke lautan luas dan hilang di sana. Bila sempat diterima dan menghasilkan suatu dokumen yang ditandatangani untuk tindak lanjut, dokumen itu akan masuk laci menunggu giliran karena ia belum tentu menjadi prioritas.

Hari ini 2 Mei 2020, untuk kesekian kalinya Ki Hajar Dewantoro selalu dikenang. Hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Presiden NKRI, Ir. Soekarno pada 16 Desember 1959 mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 316 tahun 1959 tentang penetapan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei. Pada tanggal ini setiap tahun insan dan dunia pendidikan di NKRI ini merayakannya.

Pada 2 Mei 2020 ini, peringatan Hari Pendidikan Nasional di bawah Tema, Belajar dari Covid-19. Tema ini telah diedarkan secara luas melalui seluruh saluran media. Surat Mendikbud Nomor 42518/MPK.A/TU/2020 tanggal 29 April 2020, tentang Pedoman Peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2020 menegaskan hal ini.

Hardiknas 2020 Sangat Sesuatu Begitu

Jika membaca sendiri atau mendengar pernyataan belajar dari covid-19 logika sederhana guru kampung seperti saya bertanya, apa yang mau dipelajari dari virus? Virus ini telah mewabah bahkan statusnya bukan lagi endemik tetapi pandemik sehingga umat manusia di planet bumi ini sudah bergetar, menggigil ketakutan karena angka kematian setiap hari bertambah, walau diselingi angka pasien yang sembuh. Jadi, virus memberi pelajaran apa?

Tapi baiklah kita semua mau belajar, sebab selama masih bisa belajar dari rumah maka belajarlah. Tembok dan dinding rumah tak boleh menjadi penghalang untuk terus belajar ketika anjuran dan penegasan untuk tetap beraa di rumah selama pandemik covid-19 ini berlangsung.

Lalu, belajar apa pada si pembunuh yang tak berpedang. Ia tidak memegang kendali di ruang kontrol untuk mengontrol pasukan di medan tempur. Ia tidak mengatur strategi pemenangan yang meminimalisir korban. Ia justru terus maju melalui jembatan yang disiapkan oleh manusia, insan yang tak patuh, makhluk berakhlah yang tidak peduli protokol kesehatan atas alasan perut hendak diisi, dompet telah terkuras habis, dan berbagai alasan penting dan genting.

Suatu hal yang wajar pada siapapun. Semua orang membutuhkan makanan dan uang. Jika orang tidak mempunyai uang asalkan ada makanan, karena dalam ilmu ekonomi hal itu sangat prioritas, kebutuhan yang primer tidak dapat ditunda. Uang masih dapat ditunda sepanjang masih ada makanan. Sayangnya, bagaimana agar ada persediaan di rumah bila kantong telah terkuras. Pada mereka yang telah memiliki tabungan (saving) hal yang demikian enteng nan ringan saja. Zaman milenium telah mengajarkan kenikmatan berbeda. Anda mengklik hanya dari alat bantu di rumah saja atau di manapun anda berada, handphone. Di sana sejumlah aplikasi pemanjaan telah tersedia. Uang mengalir masuk dan keluar hanya dengan sekali klik di bawah satu detik.

Apa yang dapat dipelajari dalam masa pandemik covid-19 agar dapat menjadi pengetahuan dan pengalaman pada dunia pendidikan di NKRI?

Hal itu tentu banyak aspeknya. Mengapa? Karena konteks dunia pendidikan di tanah air ber-Pancasila ini problemnya sangat beragam, walau ada seragamnya. Siswa datang ke sekolah-sekolah dengan pakaian seragam, guru dan tendik berseragam. Mata Pelajaran dan muatan karakter seragam dalam satu Kurikulum. Semua yang seragam itu sangat kasat mata. Ada keseragaman yang kasat mata pula. Gedung Sekolah, atau bangunan darurat beratapkan dedaunan dan ilalang. Lantai tanah, tidak berdaun pintu, meja-bangku atau kursi sangat tradisional di era modern nan canggih, mencapai lokasi sekolah harus terengah-engah. Itu keseragaman lain yang membedakan dunia pendidikan kita. Masih tentang keseragaman, sekalipun gedung sekolah ada di kota besar, metropolitan hingga megapolitan, atau di pedesaan, hingga kampung tradisional, ada keseragamannya, ukuran ruang belajar sama. Muatan meja-bangku, sama. Kualitas bangunan dan layanan menjadi tanda tanya di sana.

Mari saya ajak kita berefleksi di tengah terpaan korona. Korona telah memaksa kita belajar. Mungkin hal ini yang menjadikan Mas Menteri Nadiem Makarim bersama jajaran Kemdikbud menetapkan tema: Belajar dari Covid-19. Ya, korona menjadi pemicu pelajaran baru. Sebagai guru kampung apa yang saya pelajari?

  • Kesenjangan. Dunia pendidikan di NKRI tercinta ini ada kesenjangannya. Ada gap yang memisahkan dan membedakan pelaku dan pemangku kepentingan di sana. Paling kurang di sana ada siswa dan guru yang berinteraksi setiap hari reguler. Ada yang melaksanakannya secara luar biasa bersemangatnya karena telah ditunjang fasilitas yang serba wah, sementara di tempat lain fasilitasnya bagai telah ditelan wabah.
  1. Di kota-kota, institusi pendidikan formal bersaing bagai perusahaan dengan usaha mencapai profit yang sebesar-besarnya. Maka, mereka menghadirkan kebonafitan tampilan. Sekolah-sekolah bonafit menjadi favorit. Mereka yang tampil apa adanya tiada ada apa-apanya akan didatangi oleh mereka yang apa adanya asalkan dapat duduk di ruang belajar bersama guru-guru dan fasilitas yang juga apa adanya.
  2. Di kota-kota kecamatan, sekolah-sekolah tampil bagai gadis bergincu dan berdandan mewah. Isi bangunannya belum dapat dipastikan sebagai wah walau pandangan masyarakat desa di sekitarnya, sekolah itu sudah wah. Siswa dan guru datang berinteraksi di sana. Mereka bersuka dalam proses bagai kepura-puraan sambil menanti datangnya hari dimana ASN menuju ke bank menarik dan membawa pulang slip tanda telah mengambil gajinya. Guru dengan status lainnya memandang dengan mata kosong pada ruang hampa, menunggu saatnya tiba, ruang kosong itu akan terisi, ketika itu mata berbinar, wajah sedikit memerah karena liang-liang kecil akan segera dapat diratakan atau paling tidak diberi asupan tanpa membuatnya kenyang.
  3. Di desa-desa berbukit dan berlembah hingga daerah pantai; ruang-ruang kelas bagai arena bermain. Guru dan siswa bertemu dalam limit waktu 240 menit belajar. Lalu berkeluhkesahlah para guru karena lelah. Mengapa? Lokasi sekolah jauh dari domisili. Ini satu alasan. Apa saja alasan lainnya? Guru membangun rumah di luar kompleks. Mereka tidak rela lagi menghuni rumah-rumah yang dibangun oleh pemerintah dengan anggaran yang dialokasikan dari pajak rakyat. Guru harus bekerja tambahan sebagai petani, peternak, atau pedagang mingguan. Guru di desa menambah tugas-tugas kemasyarakatan yang katanya tidak dapat digantikan oleh orang lain, karena sang guru berpendidikan lebih baik. Maka, tupoksinya menjadi kurang terurus.
  4. Ketrampilan pada zaman digitalisasi. Ketrampilan ini mutlak diperlukan pada masa ini. Guru dan siswa paling kurang sudah harus mempunyai ketrampilan ini sesederhana mungkin sambil terus belajar. Tidak peduli guru itu ada di kota atau di desa. Tidak peduli lokasi itu ada jaringan internet yang dihubungkan dengan BTS-BTS. Tidak peduli apakah harus menambah uang rutin keperluan untuk persediaan pulsa. Guru harus terus belajar bukan lagi untuk pintar pada pengetahuan yang bertumpuk dan bertimpuk di otak, tetapi yang harus dapat dilihat dalam aksi. Guru dapat saja mengajar dengan pendekatan ceramah yang kaya kata dan ungkapan menakjubkan, tetapi bila ia gagap teknologi, dunia luar akan menutup dirinya bagai kapal besar berpenumpang mencapai ribuan orang yang sandar di dermaga. Kapal itu tidak kelihatan oleh mata pendatang baru dari pegunungan.
  5. Kemampuan survival. Apakah guru dapat survival? Semestinya menurut saya, dapat. Guru itu belajar sepanjang menjadi guru di kelas, dan terus belajar karena ia tetap diterima sebagai guru di tengah masyarakat. Pengetahuan dan ketrampilannya tidak stagnan hanya pada didaktik-metodik; pedagogik dan segala teori di dalamnya. Ia mesti menambah pada dirinya sesuatu. Oleh karena itu ia mestinya cerdik bagai ular. Kecerdikan bagai ular ini dicatat kitab suci dengan tendensi positif-negatif. Sifat-sifat negatif ular yang licik dan licin ada dalam pengetahuan yang tidak mesti implementatif. Sifat cerdiknya yang patut diikuti seperti mengganti kulit, meremajakan diri. Guru yang mampu meremajakan diri sangat besar kemungkinannya untuk memberi nuansa berbeda. Kedewasaan sebagai guru akan menjadi perhatian ketika berada di lingkungan kecil antarsesama guru, dan lingkungan yang lebih luas di sekitar sekolah yaitu di tengah-tengah masyarakat.
  • Kepedulian
  1. Pemerintah NKRI dan jajaran Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, Kota telah menjalankan tugas pokok dan fungsinya pada dunia pendidikan. Pemerintah hendak mewujudkan cita-cita bangsa ini yang jelas dan terang tertulis dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, mencerdaskan kehidupan bangsa. Siapa yang tidak mengingatnya? Pemerintah telah peduli pada pendidikan bahkan sejak masih di bawah penguasa kolonial, telah ada usaha-usaha untuk membangun sekolah demi mengangkat derajat kemanusiaan manusia “pribumi” pada masa itu. Pemerintah masa itu yang belum Indonesia pun telah peduli pada sekolah, tentulah pada masa NKRI telah merdeka sampai umur yang ke-75 pada 17 Agustus 2020 nanti. Seberapa besar kepedulian pemerintah pusat dan daerah? Anggaran Negara untuk dunia pendidikan jelas dan terang angka prosentasenya dalam pasal-pasal amandemen UUD 1945; Silakan pembaca membaca pasal 31 UUD 1945. Lihat dan cermati ayat (3) dan (4). Di sini patut kita diskusikan kepedulian pemerintah pusat dan daerah. Sekedar bertanya, apakah sejauh ini lulusan-lulusan berpengetahuan tinggi telah menunjukkan akhlak mulia dan iman dan taqwa? Apakah sejauh ini anggaran 20% telah sungguh-sungguh nyata tanpa persinggahan di terminal sisipan? Sejauh reformasi telah berjalan hingga saat ini, kepedulian itu ada baik pada sekolah negeri maupun swasta. Tengoklah hasilnya. Pandanglah permukaannya secara gamblang.
  2. Masyarakat, sesuai peraturan yang berlaku dapat menjadi penyelenggara institusi pendidikan. Semangat ini tentu harus mendapat respon sekaligus kebanggaan. Respon itu datang dari pemerintah dan masyarakat sekitar. Kepedulian masyarakat “berkelas” yang demikian kiranya tidak disertai motif profit. Sekolah-sekolah swasta berdiri dengan ciri khas yang membedakan satu dengan yang lainnya. Bergegas dan berbarislah orang tua membawa anak ke sana. Sekolah-sekolah milik organisasi keagamaan tak kelah bersaingnya dengan yayasan yang bereksistensi nasionalisme. Pada organisasi keagamaan X, anggotanya menyekolahkan anak-anaknya di institusi pendidikan yang dibangun oleh yayasan Y. Di sana mereka memberikan sumbangsihnya berupa ide pengembangan yang memajukan sekolah, sementara di internalnya yang ada sekolah, ia abaikan sekalipun sekolah itu berdiri di lingkungan pelayanannya.
  3. Dunia usaha. Dunia usaha selalu mempunyai sesuatu yang disisihkan menurut undang-undang. Profitnya dibawa ke dalam dunia pelayanan, termasuk pendidikan. Mereka membantu dalam berbagai hal. Ada bantuan yang khusus pada konstruksi bangunan saja. Ada yang membantu fasilitas di dalam ruang-ruang kelas. Ada yang membantu dengan memfasilitasi tambahan pengetahuan dan ketrampilan guru. Ketika mereka pergi, kembalilah kita kepada kepedulian.

Penutup

Dunia pendidikan pada hari ini sedang ada dalam situasi waspada sekaligus mungkin perlu berduka. Waspada pada beberapa hal:

  1. Kualitas interaksi guru-siswa sesudah masa belajar dari rumah berakhir. Waspadalah oleh karena kebiasaan mengajar yang masih sering bermuatan masalah, kini mengalami degradasi pada masa pandemik covid-19.
  2. Kualitas peserta didik. Mari mengambil contoh. Ketika interaksi guru-siswa secara reguler berlangsung, orang masih mempertanyakan kualitas out put, yang memberi dampak luas pada out come. Mari mempertanyakan, apakah sesudah pandemik covid-19 ketika para siswa kembali ke sekolah mereka akan tetp seperti dulu, sedikit bergeser “naik” atau justru sebaliknya sedang “turun”?
  3. Kualitas dukungan orang tua. Skeptis dan pesimis. Optimisme dibangun di atas kebiasaan yang rutin. Baiklah kita membangun optimisme baru di sekolah di atas keraguan dan rasa gagal.

Masih banyak hal dapat kita pelajari. Kiranya peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2020 ini memberi nuansa yang mengingatkan guru, siswa, orang tua, birokrasi pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya untuk berbenah lebih baik lagi pada masa sesudah covid-19. Kita berharap, sungguh-sungguh berharap, covid-19 meninggalkan dunia kita. Bila ada lokusnya di mana ia diperkenankan hidup dan berbiak di sana tanpa korban, baiklah ia berada di sana. Tokh dia pun makhluk.

Selamat hari pendidikan nasional.

 

Heronimus Bani

Pos terkait