Rupanya Pendidikan di NKRI ini belum Menemukan Model yang jitu?
Sejak NKRI berdiri, entah sudah berapa banyak kebijakan diberlakukan di Departeman/Kementrian Pendidikan dan Pengajaran, Departemen/Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen/Kementerian Pendidikan Nasiolan, dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari perubahan nomenklatur departemen/kementrian saja, jelas ada perubahan pada kebijakan dan isinya. Padahal, di ruang-ruang kelas, proses pembelajaran terus berlangsung entah dengan adanya perubahan, pergeseran atau bahkan drastitis pergantian apapun namanya kebijakan. Semua berdampak di ruang kelas yang tidak ada dalam pengetahuan murid/siswa/peserta didik.
Murid/siswa/peserta didik selalu ada dalam hal aktif ke sekolah, mengikuti proses pembelajaran baik yang teoritis maupun yang praktis, baik yang oral maupun yang demonstratif, dan lain-lain pendekatan yang dampaknya kiranya baru dapat terlihat atau dirasakan pada waktu yang berbeda. Suatu perubahan dalam hal akumulasi pengetahuan dan ketrampilan dapat terlihat dari hasil evaluasi (Ujian Sekolah, EBTA/NAS, UN) ketika menyaksikan perolehan nilai. Nilai menjadi tolok ukur. Sementara yang bersifat karakter, seringkali diasumsikan saja dalam kategori, Baik, Sedang, Cukup, Kurang.
Semua usaha dari Mendikbud manapun yang sudah-sudah telah berkontribusi pada kepentingan bangsa dan negara. Permasalahan kita adalah, kita tidak/belum puas manakala kita membanding-bandingkan tingkat pencapaian pengetahuan dan ketrampilan siswa di negara ini dengan pencapaian siswa negara tetangga. Sering atau bahkan selalu perbandingan itu dibuat sehingga kita seakan “mengutuk” diri sendiri sebagai belum keluar dari kegelapan dunia pendidikan, kita masih berada di area samar-samar, abu-abu. Saya kira tidaklah demikian.
Sekali lagi, semestinya kita yang berada di dunia pendidikan sekarang ini, baik yang berada di level pengambil keputusan/kebijakan, akademisi, praktisi (guru dan tendik), jangan mengasumsikan bahwa kebijakan-kebijakan yang sudah lalu semuanya keliru, atau salah sasaran, tidak jitu, atau apapun namanya yang menegaskan stigma kurang pada kebijakan-kebijakan itu. Tidak ada yang sempurna dalam suatu kebijakan. Tengokah NKRI kita yang setiap tahun antara DPR RI dan Presiden (melalui para pembantunya) bekerja keras untuk melahirkan UU, baik yang baru maupun yang UU Perubahan.
Jika kita terus-menerus berada di jalur “masih mencari format” model pendidikan yang jitu di negri ini, kita belum akan sampai pada cita-cita negara ini yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa. Mungkinkah orang sudah menelaah makna frase itu? Mencerdaskan, bukan memintarkan atau memandaikan. Kecerdasan yang dikejar. Di dalam kecerdasan ada pintar, pandai, ketrampilan/keahlian/kepakaran, karakter yang semestinya disimultankan dalam proses pembelajaran. Karena itu tugas guru adalah mengajar dan mendidik. Dua tugas dan fungsi pokok yang berjalan beriringan.
Mendikbud kita sekarang mungkin berpikir selama ini para guru masih berada di koridor mengajar saja. Mengapa? Karena dengan mengajar para guru sedang mentransfer pengetahuan belaka untuk mengejar nilai setinggi-tingginya sebagai tanda keberhasilan dalam proses pembelajaran. Sementara yang bersifat akhlak, moral, etika (karakter) belum nampak. Bisa jadi, seinyalemen itu benar.
Baiklah kita terus belajar. Para guru di milenium ketiga ini, tuntutannya semakin kompleks sekalipun ada upaya menyederhanakan segala hal yang sifatnya administratif yang menjadi tanggung jawab guru di kelas (Guru Kelas, Guru MP). Kebijakan sehebat apapun, pada akhirnya para gurulah yang akan mengimplementasikannya di ruang-ruang kelas. Evaluasi dilakukan oleh para birokrat pendidikan bersama para akademisi/pengamat pendidikan, lalu dapat dipastikan, akan ada perubahan lagi ketika seorang menteri baru menduduki kursi kementerian pendidikan dan kebudayaan.
Maka, tidak heran jika di Indonesia ada varian sekolah, terlebih sekolah-sekolah yang telah diberi label, favorit. Semua sekolah favorit, seringkali memasukkan kurikulum adopsi untu digandeng bersama kurikulum yang sedang berlaku di NKRI ini. Pendekatan pembelajaran pada sekolah-sekolah favorit nampaknya berbeda dan menyolok sehingga terlihat oleh masyarakat di sekitarnya. Sekolah-sekolah favorit sekalipun seperti sedang mengkapitalisasi pendidikan, tetapi tetap difavoritkan. Berapapun biaya yang harus dikeluarkan, orang tua akan mau menyekolahkan anaknya ke sana, bahkan oleh para pengambil kebijakan pun mengirim anaknya ke sana, lalu sekolah-sekolah yang memberlakukan kurikulum yang ditetapkan justru seakan diabaikan karena sekolah-sekolah itu dibangun untuk masyarakat kelas bawah.
Kita, dunia pendidikan dasar dan menengah di NKRI ini sedang berada di satu masa baru dimana pernyataan-pernyataan sang Mendikbud, Nadiem A. Makarim seperti kesejukan baru di sana, walau ada kontroversi di dalamnya. Angin segar melalui pernyataan dan yang kemudian dirumuskan dalam kebijakan-kebijakan, selanjutnya akan terus digodok bersama DPR RI yang bersuara atas nama rakyat, kiranya memberi nuansa kemudahan. Namun, dalam kemudahan di zaman ini, kecepatan dan ketepatan sasaran menjadi objek akhir dari kebijakan-kebijakan itu. Gurulah yang akan menanggung tugas-tugas itu.
Maka, marilah menjadi guru yang terus belajar dan mengajar dengan menciptakan sesuatu yang “berbeda” di kelas. Sebarkan virus “tampil beda” dalam proses dengan tidak mengabaikan kode etik sebagai guru. Kiranya, perubahan kebijakan seperti apapun itu, ruang-ruang kelas mesti terus bergerak dalam proses pembelajaran yang menelorkan lulusan dengan nilai pengetahuan, nilai karakter/sifat, dan nilai ketrampilan. Itulah paling kurang tiga hal yang akan tetap ada yang diberikan oleh sekolah. Nilai dalam hal ini, memang bukan ukuran standar, tapi dengan itu orang beranggapan terhadap lulusan. Anggapan itu jatuh pada lulusan itu sendiri, pada guru, pada sekolah dan pemangku kepentingan di sekitar sekolah, dan akhirnya berdampak pada pengambil kebijakan baik di daerah mapun di pusat.