Jurnalis Bersatu Wujudkan Demokrasi dan Kembalikan Wajah Kebebasan Pers

Herry F.F. Battileo,S.H, M.H
Herry F.F. Battileo,S.H, M.H

Kupang-InfoNTT.com,- Wajah kebebasan pers di Indonesia kembali tercoreng dengan adanya tindak kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput acara malam munajat 212 di lapangan Monas, Kamis (21/2). Barisan keamanan dari panitia penyelenggara menghalang-halangi belasan jurnalis untuk melakukan tugasnya meliput aksi pencopetan.

Massa memaksa jurnalis untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto maupun video. Beberapa jurnalis bahkan mengalami tindak kekerasan fisik. Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polda Metro Jaya.

Bacaan Lainnya

Jelas, pelaku kekerasan dan usaha menghalang-halangi pekerjaan jurnalis telah melanggar UU Pers No 40 Tahun 1999. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, aksi kekerasan, intimadasi, dan persekusi jurnalis mulai marak sejak Pilkada DKI Jakarta 2017.

Rentetan kekerasan dan persekusi terhadap jurnalis terus terulang. Ada rentetan kasus, seperti yang dialami oleh Jurnalis Metro Tv dan Global Tv saat meliput aksi 112 tahun 2017. Saat itu, mobil Kompas Tv di di usir oleh massa aksi.

Kemudian juga ada aksi persekusi jurnalis Detik.com yang hendak mengambil foto sampah dalam aksi Bela Tauhid II, November 2018 lalu.

Sebelum itu juga terjadi persekusi terhadap jurnalis Kumparan saat membuat liputan tentang imam besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab. Persekusi juga menimpa jurnalis CNNIndonesia.com yang membuat berita kutipan doa dari tokoh politik Amien Rais.

Rentetan kasus-kasus persekusi ini menunjukkan adanya ancaman kekerasan nyata bagi jurnalis saat bekerja. Selain kekerasan fisik langsung, ada juga pola kekerasan baru yaitu persekusi dengan cara doxing atau tracking data pribadi jurnalis, kemudian di-upload di media sosial dengan manambahkan narasi provokatif.

Menyikapi kasus-kasus kekerasan dan intimidasi yang kerap menimpa jurnalis pada tahun politik ini, AJI Jakarta dan LBH Pers mengadakan diskusi dengan tema “Intimidasi Jurnalis, Cederai Demokrasi” di sekretariat AJI Jakarta, Minggu (3/3/2019) sore.

Direktur LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan, tindakan sekelompok massa yang mengintimidasi jurnalis saat meliput di ruang-ruang publik, bisa dikategorikan sebagai sensor terhadap produk jurnalistik. Tindakan itu termasuk dalam pelanggaran pidana yang melanggar UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

“Kalau kita perhatikan, sejak aksi massa 212 pada tahun 2016 sampai dengan malam munajat 212, selalu saja ada kekerasan yang dialami jurnalis saat meliput. Ada persekusi yang menimpa jurnalis Metro TV, Tirto.id, CNN Indonesia, dan Detik,” kada Ade.

Menurut Ade, harus ada komitmen dan ketegasan dari stakeholder terkait untuk mendukung iklim kebebasan pers di Indonesia. Baik itu dari aparat kepolisian, pimpinan organisasi kemasyarakatan, bahkan dari perusahaan media tempat jurnalis bekerja.

“Terutama dari Ormas, harus ada instruksi langsung dari pemimpinnya, bahwa tidak boleh ada tindak kekerasan terhadap jurnalis saat meliput. Ketegasan itu diperlukan sebagai bentuk dukungan terhadap iklim demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia,” ujar Ade.

Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani menegaskan, setiap usaha yang menghalang-halangi kerja jurnalistik sama saja dengan menciderai demokrasi. Sebagai pilar keempat demokrasi, pers berfungsi untuk mengawasi semua sektor dalam sistem bernegara baik itu eksekutif, yudikatif, maupun legislatif.

“Bagaimana jurnalis bisa melakukan fungsi pengawasan kalau saat meliput selalu mendapat tekanan dari massa? Ini kegelisahan yang dirasakan oleh teman-teman di lapangan. Polisi harus tegas menidak pelaku menggunakan UU Pers,” ujar Asnil.

Sementara itu, Sekjen Asosiasi Media Siber Indonesia Wahyu Dhiyatmika menyerukan agar semua jurnalis bersatu untuk memerangi tindak kekerasan ini. Menurutnya, tidak mudah untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kebebasan pers.

“Yang diperlukan adalah kekompakan. Kita bisa belajar dari kasus remisi Susrama, bagaimana kita bersama-sama berjuang memerangi impunitas terhada pembunuh jurnalis. Penyerangan terhadap wartawan adalah penyerangan terhadap demokrasi,” kata Wahyu.

Selain itu, ia juga meminta manajemen redaksi dari perusahaan media untuk menyiapkan protokol keamanan untuk jurnalisnya. Bagaimanapun, jajaran redaksi harus aktif melindungi jurnalisnya yang mengalami kekerasan, baik saat melipun maupun saat produk jurnalistik itu telah terbit.

“Jangan biarkan wartawan berjuang sendirian. Harus didampingi untuk melapor dan menuntaskan kasusnya. Jangan berdamai dengan pelaku karena bisa menjadi impunitas,” tegasnya.

Untuk menggalang dukungan, AJI Jakarta dan LBH Pers meluncurkan petisi untuk mendesak aparat kepolisian agar menuntaskan proses hukum terkait kasus kekerasan malam munajat 212. Mengingat, sampai saat ini belum ada satupun kasus kekerasan jurnalis yang berakhir di meja hijau.

Terhadap rillis yang diterima redaksi dan memintai pendapat dari salah satu Advokad di Provinsi Nusa Tenggara Timur, juga sebagai Pendiri dan pengawas Lembaga Bantuan Hukum Surya NTT, Herry Battileo, S.H, M.H, ketika dimintai tanggapanya, mengatakan bahwa  kejadian-kejadian kekerasan terhadap Journalist merupakan hal yang sangat berlebihan di akhir-akhir ini.

Oleh karena itu sebaiknya para journalist harus bersatu untuk tidak meliput ormas-ormas yang memang selalu melakukan kekerasan atau cenderung ke arah radikalisme.

Masih menurut Herry, ormas-ormas menjadi besar oleh karena para kuli tinta tapi mereka tidak menyadari betapa pentingnya para journalist dalam menyuarakan perjuangan ormas tersebut. “Sekali lagi saya ajak rekan-rekan tidak meliput kegiatan apapun dari ormas yang tidak taat hukum dan cenderung radikalisme,” tutup ketua Dewan Pimpinan Wilayah Media Online Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. (Tim)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *