OLEH: MARIA ANILSA ADAK
InfoNTT.com-, “… Aku dibawa kembali pada hari dimana aku kehilangan dirimu, hari dimana kau meninggalkan kami dan menghadap Sang Pencipta. saat itu hariku berjalan baik, seakan semuanya akan tetap seperti itu hingga esok dan mungkin nanti … yang tidak aku ketahui adalah, saat aku menjalani hari dengan baik,saat itu juga, aku telah kehilangan dirimu untuk selamanya, Papa.“
Awan yang cerah digantikan hujan germis yang perlahan turun semakin deras. Aku menatap langit , sejauh pandanganku awan hitam menggantung penuh sehingga sang mentari tidak terlihat lagi. Butiran air bening itu dalam sekejab membasahi pepohonandan halaman yang gersang. Lalu handphone milik sahabatku berdering. Aku melirik layer, rupanya nomor baru entah siapa yang menelpon, segera dia menjawabnya. Setelah beberapa menit sahabatku berbincang diberikannya padaku. Akupunmenjawab. Dalam percakapan singkat itu aku hanya mendengar kakakku bertanya tentang handphone yang tidak bisa dihubungi sejak pagi dan berkata untuk segera pulang ke rumah.
Aku duduk menanti hujan yang turun semakin lebat itu untuk berhenti sehingga aku bisa melanjutkan perjalanan pulang bersama sahabat baikku. Hujan tak kunjung berhenti. Saat itu perasaanku baik-baik saja dan tidak khawatir tentang apapun. Hujan tetap tak mau mengalah. Rupanya kerinduannya denganbumi tak tertahankan. Sahabatku terlihat gelisah. Kulihat dia telah memakai jaket dan membawa serta tas pakaian kami dari dalam kamar tidur.
Katanya “Ayo Cha, kita berangkat.” Kulihat keluar jendela hujan masih turun dan masih sangat lebat. Aku pun berdiri lalu bergegas memakai jaket dan mengemasi barang-barangku. Di luar hujan masih setia mengguyur kampung yang ada di Amarasi Selatan itu.
Kami berdua pamit kepada seorang bapak dan ibu yang sudah bersedia memberi kami tempat menginap dan membantu tugas penelitian kami. Keluarga yang baik. Kami pun melakukan perjalanan dan menembus hujan, cuaca saat itu sangat dingin. Dengan menggunakan sepeda motor milik sahabatku kamimelaju melewati hutan lindung dan beberapa kampung lainnya hingga sampai di jalan yang lebih ramai penuh dengan kendaraan. Dan masih aku menikmati hari itu. Aku tertawa dan sahabatku pun ikut tertawa, kami menikmati perjalanan dan hujan yang masih turun dan membasahi kami. Hari ini masih aku anggap baik.
Sepeda motor kian dipacu kencang. Tidak seperti biasanya sahabatku ini. Ini perjalanan pulang kami setelah menginap sehari semalam di rumah keluarga bapak Bani.
“Mungkin kami bisa sedikit menikmati perjalanan sebelum besok harus kembali berkutat dengan tugas kuliah dan lain sebagainya,” aku membatin.
Sepeda motor yang membawa kami dipacu lebih cepat, meninggalkan semua kendaraan lain di belakang kami. Aku tersenyum saja, menikmati perjalanan ini yang rasanya menyenangkan.
Hingga pada akhirnya dari kejauhan aku melihat suasana berbeda dari biasanya di halaman rumah kami. Kulihat susasana di depan rumah tidak seperti biasanya. Banyak kendaraan bermotor diparkir di sana-sini. Para tetangga turut hadir dan beramai-ramai duduk di depan halaman rumah kami.
Aku menatap heran lalu bertanya pada sahabatku, “Ada apa di rumah?“
Aku tak segera menemukan jawaban dari sahabatku hingga kami berhenti tepat di depan halaman rumah. “Masuk saja dulu Cha.” katanya kini sambil meneteskan air mata.
Aku mengambil langkah kecil perasaanku campur aduk, dan sampailah aku di dalam rumah. Dari arah belakang sudah banyak orang berkumpul. Adik dari mamaku yang biasa kupanggil mama kecil, menghampiriku, lalu memelukku sambil menangis bersama-sama. Sampai di sini akupun menangis dan masih kupikirkan, “Apakah hari ini akan tetap menjadi baik?”
Aku menangis, namun tidak tahu apa yang aku tangisi. Aku dibawa ke kamar. Terasa amat membingungkan. “Ada apa ini? Mengapa?”
Kulihat keluar. Kakek dan nenek masih duduk sambil menangis. “Ada apa ini?” teriakku dalam hati.
Lalu seorang perempuan di belakangku berkata sambil memelukku, “Kaka, bapa su tidak ada. Besok kaka pagi-pagi berangkat dengan pesawat. Kaka balik ke Ruteng, ya!?”.
Tangisku pecah. Hariku tidak lagi menjadi hari yang baik. Pikiranku kemana-mana, “Bagaimana mungkin? Mengapa papa pergi meninggalkan kami? Mengapa seperti ini?”
Aku mendengar suara di sampingku samar-samar. Mereka menceritakan bagaimana kejadian ini bisa terjadi, bagaimana papa akhirnya meninggalkan kami. Aku menangis. Sakit di hatiku begitu luar biasa. Sungguh, aku tidak mengharapkan hal ini. Kulihat sahabatku menangis, ia ada tepat di sebelahku menemaniku melewati hal paling sulit dalam hidupku yang harus aku lalui.
Dari luar masuk seorang perempuan tua, rambutnya telah beruban. Ia berjalan dengan tongkat sebagai alat bantu yang dipegangnya erat. Ia datang memelukku lalu menangis. Perempuan tua beruban dan yang wajahnya kini penuh dengan kerutan adalah perempuan yang melahirkan lelaki yang kusebut, papa. Kami menangis dan hati kami sakit kehilangan orang yang kami cintai.
Kini aku berduka. Tak ada lagi hari yang menyenangkan. Aku kehilangan sosok yang sangat aku butuhkan dalam hidupku. Seorang papa.
****
Kukemasi barang-barangku besok pagi aku akan berangkat kembali ke kota dingin itu. Namun kali ini semuanya akan berbeda ketika aku tiba di sana. Keluarga dan kerabat berdatangan dan mengucapkan turut berduka cita. Untuk semua perhatian dan dukungan itu aku berterima kasih. Entahlah didepan mereka aku tak bisa meneteskan air mata lagi walaupun hatiku tidak dalam keadaan baik-baik saja saat ini. Waktu berlalu cepat secepat perginya papandaku. Satu per satu orang-orang meninggalkan tenda duka dan beberapa masih setia duduk dan bercerita.
Aku masuk ke kamar. Aku membuka leptop hadiah dari papa saat aku menamatkan pendidikan sekolah menengah pertamaku. Kubuka folder yang berisi potret kenangan keluarga kami, ada foto papa di sana . kubuka satu persatu dan air mataku menetes membahasi pipiku. Tak akan ada lagi sosok papa, tak akan ada lagi senyum dan segala canda tawa juga suara itu yang mampu menghapus segala penat ketika aku mendengarnya. Aku berhenti pada potret masa kecil kami. Dalam potret itu ada papa yang sedang berbaring di sofa lalu ada kakak sulungku dan aku. Dalam potert itu kami bercerita entah apa memori itu hilang dimakan waktu dan hanya sebuah potret yang menjadi saksi bisu bahwa kami pernah bercerita dan entah apa. Aku menangis memandangi foto itu lalu tertidur lelap dan sadar bahwa hari esok sesak di dada akan setia menemani di kala aku mengingat akan dia yang kucintai telah pergi.
Waktu sudah menunjukan pukul 11.36 WITa. Aku dan saudara sepupuku sedang menanti di ruangan tunggu badara El Tari Kupang. Kami menanti pesawat yang akan kami tumpaggi menuju Labuan bajo lalu dengan perjalanan darat akan membawa kami ke Ruteng. Tidak lama berselang peswat yang kami tunggu telah mendarat. Para petugas memanggil penumpang dengan tujuan Labuan Bajo. Kami bergegas dan masuk ke dalam peswat beberapa menit kemudian peswat lepas landas dan meninggalkan kota karang itu. Kutarik napasku panjang “Papa, sebentar lagi kita berjumpa. Tunggu aku.”
Setelah satu jam lebih berada di udara kami akhirnya medarat di Bandar Udara Komodo Labuan bajo. Rasa syukur kepada Tuhan karena boleh tiba dengan selamat diucapkan. Kami pun keluar dari pintu kedatangan. Di luar kulihat wajah yang tidak asing lagi. Dua orang kerabat datang menjemput kami di bandara. Kami berjabat tangan lalu memeluk dengan hangat , sudah lama tak berjumpa dan air mata masih belum nampak dan diri ini sedang mencoba untuk terlihat kuat di depan mereka dan berkata bahwa aku baik-baik saja.
Kami melanjutkan perjalanan ke kampung ujung salah satu tempat banyak orang menjajakan makanan di Labuan Bajo. Kedua kerabat yang biasanya aku sapa dengan sebutan bapa kecil, juga nenek bagiku menepikan kendaraan. Kami mampir untuk makan sembari menunggu adik dari papa yang datang dari Kalimantan. Kebetulan adik dari papa itu akan tiba sejam kemudian dari kami. Dua jam kemudian ia tiba di tempat kami menunggu. Pandangan dan langkah kakinya tertuju padauk.Lalu, ia memeluku erat dan berkata, “Yang kuat ya, nak!”
Aku menangis menitikkan air mata yang sedari tadi kutahan.
Setelah beristirahat beberapa menit dan menikmati makanan yang dihidangkan, kami melanjutkan perjalanan menuju Ruteng. Saat itu jam sudah menunjukan pukul 18.06. Mobil yang kamitumpangi melaju meninggalkan Labuan Bajo.
Sesampainya di Ruteng sekitar pukul 21.46 WITa. Kami disambut keluarga yang sudah menanti saat itu. Beberapa suudara membantu membawakan tas dan menemani aku masuk ke dalam rumah. Dadaku sesak. Tangisku tak dapat kubendung lagi ketika melihat apa yang ada di depanku. Kuayunkanlangkahku masuk kedalam tenda duka di depan rumah suara tangis pecah saat mereka melihatku masuk akupun menangis. Pertemuan kali ini menyesakkan hati papa. Kulihat tubuhnya kaku terbaring di atas tempat tidur. Di sampingnya dikelilingi orang-orang yang dikasihinya. Mamanda yang duduk sambil menangis dengan suara serak memanggil nama papa, berharap lelaki yang sudah tidur dalam keabadian itu bisa menatapku sebentar saja.
Aku menangis dan menjatuhkan diriku di samping tempatnya berbaring. Rasa sesal belum membuat papa bangga seakan mencambuk diriku dengan kuat. Aku sungguh kecewa pada diriku sendiri. Di sampingku mama merangkul dengan kuat kami pun menangis dengan hebat. Lama aku berada di samping tubuh yang tak lagi bernyawa itu. Kutatap wajahnya yang membuat hatiku pedih dan semakin terasa sesak. Papa telah tiada.
Tidak ada lagi sosok papa dalam hidupku yang selalu menyemangati. Tidak ada lagi pelukan hangat saat aku kembali ke rumah. Tidak ada lagi perhatian kecil yang membuatkunyaman. Tidak ada lagi sosoknya. Papa pergi meninggalkan mama, kakak, aku dan bungsu. Kami berduka, kami bersedih, selamat jalan papa. Kudoakan papanda di keabadian bersama Sang Abadi. Kami di sini dalam jasad yang bernafas, masih akan berusaha untuk berjasa.