Hujan dan Cintanya
By :Roni Bani
Hujan beberapa hari ini cukup menggetarkan raga dan rasa. Pepohonan dan rerumputan dan berjenis hewan pun turut larut di dalam raga dan rasa alamiah mereka. Pohon yang kuat dan pongah sekalipun, tumbang pada ciuman mesra angin berputar lingkar. Dahan terkulai melemah tanda hormat dan sungkem pada sang bayu. Ranting dan dedaunan beterbangan mengikuti perintah dan petunjuk arah.
Akh…
Aku teringat kata sastrawan, siapa menabur angin menuai badai.
Hujan tak sudi mendengar ocehan ranting. Dahan membisu sekalipun ditampar depan dan belakang. Pohon mencoba tersenyum sambil mengerlingkan mata sayu kehujanan.
Hujan berkata pada pohon lontar, “Hai, kamu! Seberapa kuatnya kamu sekalipun kutampar berkali? Sering pula aku mencumbu ragamu yang pongah. Tapi kau tetap tegar berdiri!”
Lontar tersenyum saja. Rona wajahnya bercerita, “Aku koq dilawan!”
Tiba-tiba. “Braak!” Terdengar bunyi pohon tumbang. Ternyata pohon beringin tua di pinggir jalan itu sudah tak kuasa lagi untuk bertahan pada sentuhan akhir sang bayu dalam kisah cinta mereka.
Angin berjingkrak girang. Beringun merengsek di jalan. Bangsa semut berlarian menghindari terpaan banjir kecil di lorong bergorong bekas dudukan akar beringin.
Hujan tak sudi memberi maaf pada lontar. Ia menengok kelapa, pinus dan cemara. Mereka tersenyum saja sambil membungkus raga dengan ketebalan kulit masing-masing.
Jehatian terpaksa melebarkan daun seperti keladi di bibir aliran sungai kecil. Mahoni tertawa. Rambutnya makin rimbun saja.
Rerumputan meloncat girang tapi tak setinggi padi sawah dan di ladang. Semuanya bergirang sambil menahan rasa yang lain di benak bersanubari. Bila hujan terus mengguyur diamini angin yang terus menerpa dan menampar, berapa kuatnya batang tubuh kami di sawah dan ladang?!
Tikus-tikus sawah menggigil kedinginab tapi juga gemeyaran karena dihantui gelisah bercemas. Mereka tak hendak berkemas meninggalkan gubuk keteduhan rasa. Mereka mencintai lubang berpintu tiga yang hanya terdeteksi ular pemangsa.
Seekor anjing mengibaskan ekornya minta mendekat agar dipeluk kehangatan api unggun tuannya.
Hujan bergeming. Sungai meluap membawa material buangan kaum berakhlak mulia bermoral dan beretika ekologi.
Got dan saluran di pasar dan jalan beraspal berteriak memohon dibukakan pintu sumbatan. Siapa mendengar untuk peduli?
Penghuni daerah dataran labdai berlarian meninggalkan rumah. Mereka berdiri di tanah lapang sambil memeluk dada menahan emosi.
Seorang anak duduk di sudut ruang kelas di sekolahnya. Ia menulis.
“Hujan mencintai bumi berpori.
Laut menjadi muara cintanya hujan.
Nusa bersorak bila habis menyerap cinta air hujan.
Mata air terbelah memuncrat gembira.
Indahnya cinta yang taburkan berbalut angin sepoi hingga badai.
Amarasi Selatan, 1 Feb 2019