By: Roni Bani
InfoNTT.com-, Jam dinding tua yang digantung di dinding bebak menunjuk pukul 04.15 ketika itu. Dewa Gunung tak memicingkan mata sepanjang malam berhubung udara teramat dingin yang tidak seperti biasanya. Ia menekuk lututnya, tubuhnya di letakkan di atas sebongkah batu ceper mencari kehangatan sebisa mungkin.
Dewa Gunung menerawangkan pandang. Ia melihat kekacauan di suatu negeri nan jauh di sana. Sejenak ia berpikir, bolehkah ia turun ke tempat itu dan menitis pada seseorang atau beberapa orang agar kekacauan itu dapat terkendalikan?
Dewa Gunung terus menerawang dalam duduknya yang demikian. Angin di puncak gunung memainkan rambut sang Dewa. Ia terus menerawang. Dilihatnya pegiat demokrasi bercanda sinis mengikuti jejak berlalu yang mereka torehkan. Sindiran berlangsung, tawa tanpa nilai dagelan dipertontonkan. Ada tangis kemunafikan berjejer di layar berlukisan indah.
Seseorang maju berbicara di antara kerumunan banyak orang yang mengangkat tangan sambil menunjukkan benda-benda penangkap suara. Sang Dewa yang belum turun gunung mengusap matanya untuk mencermati situasi itu, khususnya pada mereka yang berkerumun sambil mengarahkan tangan-tangan yang memegang perlengkapan-perlengkapan itu. Sang Dewa Gunung memang menetap di gunung sehingga tak mengetahui bahwa kota-kota telah mengalami kemajuan dari era modernisasi ke era milenium. Yang belum diubah yaitu tubuh manusia yang masih ada dengan semua anggota dan fungsi yang difungsikan atara benar dan tepat, benar berkeliruan, benar dianggap salah, salah yang hendak dibenarkan hingga benar-benar salah dan lain-lain.
Dewa Gunung mendengarkan kata-kata si pembicara, oh… si tua itu bijak berkata. Tapi, di sebenarnya dalam penerawangan ada pembicara lain merespon dengan ekspresi sumringah. Dewa Gunung sedikit menggeleng lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
Serombongan orang menuju tangga benda ciptaan manusia yang diterbangkan. Dewa Gunung tersenyum. Ia dapat masuk ke dalam tubuh orang yang menaiki tangga itu, tapi keburu tangga itu dipindahkan dan pintupun tertutup. Tapi, mata Dewa Gunung dapat menerawang jauh melintasi laut dan samudera sehingga ia dapat mengikuti ke arah mana sang tokoh pergi. Ternyata sang tokoh bersekutu dengan tokoh-tokoh lain sejagad. Mereka sedang bersiskusi tentang isi dari era milenium yang dihadapi bersama. Di era ini derap dan gerak maju suatu bangsa bergandeng mesra dengan bangsa lain, atau sebaliknya keretakan dapat terjadi atas kecerobohan anak bangsa.
Dewa Gunung hendak memicingkan mata. Tiba-tiba selembar kelor terbang melintas. Ia segera membuka mata dan menerawang. Di sana anak-anak sedang bermain dengan beberapa batang kelor yang tak terurus dengan baik. Dewa Gunung memutar waktu untuk melihat masa sebelum adanya batangan kelor di tempat itu. Ahhh.. Ternyata sebenarnya kelor bukan barang baru. Ia diberi sentuhan baru setengah hati rupanya sehingga anak-anak bermain saja dengan batangan kelor.
Dewa Gunung hendak bangkit dari duduknya. Terdengar bunyi berderap disertai hentakan berirama. Suara manusia padang terdengar. Kuda-kuda diarak memenuhi padang-padang sabana, sementara kaum perajin kapas menghasilkan tenunan khas di antara erosi karakter bekas pemimpin yang sedang disidik.
Riuh-rendah di sebelah Timur. Bunyi bertalu diiringi teriakan khas. Di sana seribu tifa nan tufu ditabuh. Para penabuh meliuk-liukkan tubuh mereka menyambut pesta kaum pembobol gawang di Selatan negeri.
Sementara ada sejumlah kecil orang membawa gerak indah dan suara merdu di negeri lain yang disambut sukacita dan berbalik pun sambil menangis haru di pelukan pertiwi.
Nun jauh di sana, seorang perempuan muda berpidato dengan suara lantang menyerukan penghentian hoax. Ia menunjukkan fakta-fakta ketidaktahuan bangsa lain atas situasi terkini negeri berjuta rakyat yang beridiologi lima asas.
Dewa Gunung akhirnya turun gunung. Ia terbang ke salah satu ruang di satu kota. Di sana ia masuk untuk mengunjungi seseorang yang pernah bernazar. Sang Dewa Gunung ingin mengetahui pembuktian nazar. Ia mendengarkan percakapan batin pembuat nazar. “Aku tak dapat mewujudkan nazarku. Sungguh! Mana mungkin aku rela menghilangkan salah satu anggota tubuh ini, sementara dialah yang vital milikku. Biarlah aku menunduk sejenak di ruang sempit ini. Aku akan terus berefleksi atas nazar yang telah kuucapkan. Sungguh telah terjadi kekeliruan padaku mengikuti nalar tak sehat ini.”
Dewa Gunung tersenyum. “Aku yang dewa pun tak mau bernazar apalagi bila akan menghilangkan anggota tubuhku.”
Wao… Dewapun tak bernyali.
Lelogama, 6 Juli 2019