(suatu uraian dari focus diskusi)
Heronimus Bani
Pengantar
Pada tanggal 6 Maret 2018, Prof. Dr. Barbara Dix Grimes, Ph.D (Barbara Grimes) dan Carla Smith, MA (Carla Smith) berkunjung ke Sekolah Dasar Inpres Buraen, di Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Siapa mereka dan apa tujuan mereka berkunjung ke sana? Kedua orang ini beda profesi tetapi mempunyai kepedulian yang sama pada pendidikan dasar, khususnya pada pengembangan pendidikan dasar melalui pendekatan pembelajaran multi bahasa.
Barbara Grimes, seorang antropolog dari Australian National University (ANU) yang memperhatikan dan mempelajari antropologi di sekitar Asia-Pasifik. Kini lebih fokus pada penelitian bahasa-bahasa lokal di Australia Utara dan Nusantara bagian Tenggara (di Indonesia). Ia ditunjuk sebagai Direktur Australian Society and Indigenous Languages (AuSIL) di Darwin-Australia. Suatu lembaga yang mempunyai tugas penelitian bahasa local untuk penerjemahan alkitab dan pengembangan pendidikan bahasa local.
Carla Smith, seorang konsultan pendidikan multi bahasa yang telah berkarya di beberapa tempat, terutama di Malaysia dan Timor Leste. Ia sangat memperhatikan pendekatan pembelajaran yang multi bahasa dengan dasar/fondasi bahasa ibu atau bahasa anak sendiri. Pendekatan multi bahasa (MLE ~ multi lingual education) telah dipraktikkannya dalam program yang sederhana. Ia dan rekan-rekan pemerhati pendidikan pra sekolah dan sekolah dasar bekerja sama dengan penutur asli bahasa local dalam rangka pembelajaran dengan pendekatan MLE.
Mengapa mereka memilih SD Inpres Buraen?
Sesungguhnya bukan SD Inpres Buraen yang disasarkan dalam hal ini. Secara kebetulan di Sekolah Dasar Inpres Buraen, ada seorang guru yang ikut memperhatikan bahasa local/bahasa ibu. Si guru SD tersebut pernah mempraktikkan pendekatan MLE di SD sebelumnya yaitu SD Inpres Nekmese’ Kecamatan Amarasi Selatan Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Praktik yang dilakukannya itu “setengah hati” karena alasan kekuatiran akan “dianggap melawan” kebijakan nasional. Walau begitu hal ini dianggap positif sehingga patut didiskusikan untuk pelaksanaan yang semestinya bisa berkelanjutan. Sementara ketika si guru bertugas ke SD Inpres Buraen, ia belum mempraktikkan MLE atas alasan tertentu. Namun demikian kedua pakar pendidikan ini rindu berdiskusi. Maka, mereka berdua bersepakat untuk datang dari tempat berbeda (Australia dan Timor Leste) untuk maksud itu.
Maafkan karena informasi di atas begitu singkat sebagai perkenalan agar pembaca tidak bias pikir.
Materi Diskusi
Berdiskusi dengan pakar sebagaimana kedua orang ini, bagi seorang guru SD tentulah sangat ruwet. Level kepakaran, pengetahuan, ketrampilan, dan lain-lain tentu sangat tidak berimbang. Kedua pakar sangat menguasai disiplin ilmu dan bidang tugas mereka secara sangat professional, bahkan berpengalaman dalam praktik pada berbagai level hingga level internasional. Apakah seorang guru SD mampu berdiskusi dengan mereka?
Sederhana saja. Mereka tidak berteori yang meribetkan kepala si guru SD. Mereka masuk pada hal-hal praktis yang sudah menjadi “makanan” para guru SD di Indonesia khususnya di Kabupaten Kupang. Apa saja materi diskusi? Secara gamblang materi diskusinya terdiri dari:
- Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia
- Pembelajaran dengan Pendekatan MLE
- Peran Pemerintah Daerah dalam kerangka Pembelajaran dengan Pendekatan MLE
Secara gamblang pula akan diurai, walau tidak mungkin dapat menjawab uneg di hati pembaca.
- Kurikulum pendidikan dasar di Indonesia
Kurikulum, sudah dalam pengetahuan umum kaum pendidik dan dunia pendidikan. Mereka paham bahwa tanpa kurikulum pelaksanaan pembelajaran di kelas tidak dapat terjadi. Kurikulum menjadi dasar pijak, patokan, dan panduan bagi para pendidik dan pemangku kepentingan di sekitarnya. Mereka harus memahami kurikulum untuk dapat menuangkannya dalam bentuk-bentuk sederhana yang praktis untuk proses pembelajaran.
Pertanyaan diskusinya? Apakah di Indonesia sampai saat ini kurikulum sudah baku? Pertanyaan seperti itu, jawabannya, sudah atau belum. Pilihannya pada, belum.
Nah, berhubung ini diskusi, maka ada pertanyaan lanjutan, mengapa belum ada kurikulum yang baku di Indonesia?
Si guru SD bukan pengambil kebijakan. Maka, jawaban singkatnya adalah, tidak tahu! Bahkan lebih extrim lagi mestinya menjawab, “akh… itu bukan urusan saya!”
Namun, bila dapat dijelaskan berdasarkan pengetahuan umum yang berkembang, bahwa Kurikulum yang sedang berlaku sekarang khusus untuk pendidikan dasar yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) atau yang dikenal pula dengan nama Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013 atau yang dikenal dengan nama K-13.
Tentang KTSP, sedang berada di senja kala masa berlakunya yang tinggal setahun. KTSP sebetulnya merupakan suatu kurikulum yang baik, oleh karena pemerintah (dhi. Kemendiknas/kemendikbud) memberi ruang agar para pemangku kepentingan di sekitar sekolah secara bersama-sama meramu sendiri apa yang hendak diprosesbelajarkan pada anak-anak mereka. Panduan standarnya ditentukan oleh pemerintah melalui standar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap mata pelajajaran.
Sayangnya, ada kelemahan dalam penyusunannya. Setiap tahun, KTSP harus disusun oleh tim yang dibentuk oleh sekolah yang terdiri dari Guru, orang tua/komite, konsultan pendidikan, pemuka agama, birokrasi pendidikan, dan lain-lain. Bayangkan bagaimana menghadirkan satu tim kerja yang terdiri dari minimal 5 orang saja. Dalam kerja tim seperti itu, apa saja yang diperlukan. Sederhana. Kebutuhan yang sifatnya akomodatif menjadi prioritas dalam persepsi, bukan konten apa yang akan dibawa untuk masuk dalam usul indicator pembelajaran atau materi pembelajaran.
Padahal untuk menghadirkan orang dalam tim kerja, kesulitan terbesarnya adalah mendapatkan orang-orang yang kredibel, dan “dianggap ahli”, paling kurang dapat menjadi narasumber karena pengetahuan dan ketrampilan mereka di sektor pendidikan ini, khususnya pendidikan dasar. Hal seperti ini bukan tugas yang mudah. Apalagi, hasil kerja mereka harus dikonsultasikan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk selanjutnya dilegalformalkan sebagai kurikulum. Bila hal ini tidak dilakukan, seharusnya sekolah-sekolah tidak boleh melakukan pembelajaran.
Maka, terjadi “kongkalikong” pembuatan KTSP. KTSP yang seharusnya dikerjakan oleh tim, justru dikerjakan oleh mereka yang rindu “mendulang rupiah”. Jual-beli paket KTSP terjadi agar ada kepemilikan kurikulum di sekolah dan pembelajaran dapat berlangsung. Hal ini bukan menguatkan peran guru dan pemangku kepentingan di sekitar sekolah, tetapi justru menjauhkan guru dari salah satu perannya sebagai kritikus dan penyusun kurikulum. Lalu, guru menjadi pelaksana kurikulum yang tidak tentu oleh karena KTSP-nya kopi-paste (kopas).
Sementara itu, K-13 telah diberlakukan secara bertahap di semua sekolah dasar di Indonesia. Beberapa sekolah yang mula-mula ditunjuk untuk melaksanakan K-13 sudah disertakan dalam Ujian Nasional. Keunggulan K-13 menurut para pakar kurikulum, standar kompetensi dan kompetensi dasar ditetapkan di dalamnya yang sama dan sebangun dengan KTSP. Bedanya, pendekatan pembelajarannya tematik. Materi ajar sama untuk seluruh wilayah NKRI. Pengadaan buku-buku sumber belajar, baik untuk siswa maupun guru, terpusat. Contoh pemusatan itu adalah ketika sekolah-sekolah harus memesan buku secara on line (buku sekolah on line/elektronik (BSE)).
Apa maksudnya pembelajaran dengan pendekatan tematik?
Sejumlah tema telah ditetapkan. Pembelajaran dengan pendekatan ini mengarahkan guru untuk menganalisis satu tema dengan menarik jaringan kompetensi dasar dan indicator dari mata pelajaran ke dalamnya. Jadi, satu tema dapat mencakup lebih dari dua mata pelajaran dengan sejumlah kompetensi dasar dan indikator yang harus diprosesbelajarkan untuk dicapai dalam limit waktu tertentu sepanjang satu semester regular. Turunan dari tema, disebut sub tema. Dalam sub tema-sub tema inilah guru melakukan pembelajaran yang lebih spesifik.
Ada hal yang dianggap memudahkan guru dan siswa. Guru mendapatkan buku panduan dan siswa mendapat buku siswa. Tetapi, pengambil kebijakan menunda pelaksanaan K-13 secara menyeluruh di seluruh sekolah dengan alasan, kurikulum masih dalam proses pengembangan. Belum final.
Tentang Buku Panduan Guru (BPG) dan Buku Siswa (BS).
Seluruh BPG dan BS kepada sekolah diwajibkan untuk memesan dalam jaringan. Terdapat sejumlah perusahaan rekanan pemerintah (dhi.Kemendikbud), yang dihadirkan untuk mengikuti proses tender pengadaan buku. Buku-buku yang digandakan telah dimiliki oleh Kemendikbud dengan membeli hak cipta dari para penulis buku. Kemendikbud melegalformalkan buku-buku itu dan dilelang kepada para penyedia jasa pencetakan, penggandaan, pengepakan dan distribusi.
Beralamatkan link para perusahaan itu, sekolah-sekolah memesan BPG dan BS. Apakah BPG dan BS tiba tepat waktu? Waktu terus berlalu. PBM/KBM tidak menunggu BPG dan BS. Banyak sekolah mengeluh karena sudah mentransfer sejumlah rupiah kepada perusahaan-perusahaan itu. BPG dan BS tidak muncul.
Lalu dari mana guru dan siswa memperoleh BPG dan BS sebagai sumber belajar dan media belajar sekaligus?
Antara tugas dan ogah melaksanakan PBM/KBM, guru harus bisa mendapatkan/menemukan cara yang tepat guna untuk mengatasi kekurangan buku, khususnya BS.
Sekedar bercerita, pengalaman di SD Inpres Buraen, Kecamatan Amarasi Selatan. PT Temprina sebagai salah satu perusahaan pemenang tender pengadaan BSE, belum tuntas mengirim buku sesuai jumlah permintaan sekolah. Padahal transfer rupiah lunas dalam sekali kirim. Mengapa lunas? Karena dalam triwulan II tahun anggaran 2017, ada 20% anggaran disediakan untuk wajib pengadaan buku. Anggaran sebesar 20% itu disetorkan seluruhnya berdasarkan jumlah permintaan.