KEPAHLAWANAN GURU DAERAH TERPENCIL
Pengantar
Hari ini, (10/11/18) Hari Pahlawan. Sekilas sejarah, mengapa sepuluh November disebut Hari Pahlawan? Tidak perlu untuk dijelaskan. Semua warga negara Indonesia telah mengetahuinya secara amat sangat detil, bahwa di Kota Surabaya pada 10 November 1945 telah gugur pejuang-pejuang kemerdekaan. Mereka rela berhadapan dengan bedil terhunus, merelakan jiwa dan raga demi kemerdekaan yang telah diraih, demi merah putih, demi martabat bangsa dan demi mengumandangkan kepada dunia internasional bahwa Indonesia telah merdeka.
Indonesia bukan lagi berada di bawah kekuasaan kolonial. Indonesia negara berdaulat. Sekelumit kisah itulah menjadi catatan teramat berharga dalam sejarah bangsa ini. Maka, penetapannya sebagai hari pahlawan adalah sangat tepat. Penggelaran Pahlawan pada bulan November untuk tokoh tertentu pun dilakukan setiap tahun.
Lalu, apakah guru di Indonesia mempunyai semangat kepahlawanan dalam tugasnya?
Guru Daerah Terpencil
Sesungguhnya menyebut dan membahas daerah terpencil di Indonesia, orang langsung melayangkan imajinasinya ke pedesaan, daerah pegunungan, lembah, dan wilayah pantai, hingga perbatasan antarnegara. Imajinasi lainnya adalah kesulitan-kesulitan seperti, akses jalan, sarana angkutan, air bersih, listrik, jaringan seluler, merasa terasing hingga cara memenuhi kebutuhan pokok, dan lain-lain yang selalu dalam asumsi kesulitan sehingga tidak mudah diatasi.
Dalam imajinasi seperti itu, guru manakah yang rela mengabdi ke daerah dengan gambaran kesulitan yang tidak mudah diatasi? Apalagi mereka harus bertugas untuk waktu yang lama. Tetapi, tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayan pernah mengirim 3000 guru mengajar di daerah terpencil (http://aceh.tribunnews.com/).
Lalu, program itu berakhir karena para guru bertugas hanya setahun karena mereka dikontrak. Setelah itu, mereka kembali dan mencari profesi baru, ada pula yang mau tetap menjadi guru tetapi di daerah lain, walau ada pula yang mau mengabdi tetap sebagai guru di daerah terpencil itu (https://nasional.sindonews.com/; https://www.jawapos.com/pendidikan/31/07/2018/) walau harus rela untuk menjadi relawan saja tanpa tunjangan daerah terpencil sebagaimana yang diatur oleh pemerintah (Cq.Kemendikbud dan kementerian terkait).
Dalam kondisi alam di mana orang merasa terasing misalnya, guru daerah terpencil harus tetap berjuang dalam semangat dengan dedikasi yang tidak diukur dengan seberapa besar nilai rupiah yang harus diterimanya. Mari memperhatikan apa yang dilakukan oleh Pujakesuma Budi yang membagikan pengalamannya dalam Grup FB Forum Guru Indonesia (Kamis,09/11/18). Bangunan sekolah parmanen, tetapi akses jalan untuk mencapai bangunan itu sangat memprihatinkan.
Bukan hanya Pujakesuma Budi, lihatlah apa yang digambarkan dalam media sosial youtube, https://www.youtube.com/watch?v=6OMkxZbr-l0; sang guru mengatakan bahwa, butuh kesabaran. Ia berada di tempat dimana sangat minim akses jalan, listrik, dan jaringan seluler. Tapi, ia tetap bersemangat. Bukankah ini suatu sikap kepahlawanan?
Lain Pujakesuma Budi dan kisah guru yang diunggah oleh Hasbi TubeHD. Dalam vidio yang dikirim Hasbi Tube dalam di link https://www.youtube.com/watch?v=RHDeU11l2bI, guru harus berjalan kaki sejauh 20 km untuk mencapai SD Negeri 60 Bung, Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep. Dalam perjalanan itu ada pula siswa sekolah dasar bersama-sama agar mendapatkan haknya dalam pendidikan sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi negara ini.
“Guru-guru yang bertugas di daerah terpencil perlu mendapat perhatian dari pemerintah sebab banyak guru yang belum mendapat sertifikasi dan tunjangan mengajar di daerah terpencil. Padahal sulit mendapatkan guru yang mau mengajar di daerah terpencil.” Saya mengutip pernyataan jurnalis Ebed de Rosary dalam https://www.cendananews.com/2018/07/. Bahwa di Nusa Tenggara Timur yang provinsi kepulauan di sana ada guru di pedesaan semisal apa yang ditulis oleh Ebed de Rosary itu. Tugas seperti itu tidaklah mudah, tetapi perjuangan dalam semangat mencerdaskan kehidupan bangsa tidak luntur pada mereka.
Kondisi pendidikan di Maluku Utara selama ini dinilai masih belum merata. Masih banyak anak-anak hidup di daerah terpencil belum merasakan akses pendidikan layak. Kondisi ini yang mendorong para anak-anak muda Maluku Utara yang peduli terhadap pendidikan untuk membentuk komunitas 1000 guru regional di Malut. Tujuannya untuk membantu mendidik anak-anak di daerah terpencil tersebut (https://komunita.id/). Nampaknya berita seperti ini menyenangkan. Namun, sifatnya kontemporer dan insidentil. Siapa yang rela datang menjadi guru dalam waktu lebih lama dari setahun di daerah terpencil?
Bagaimana jika kita sedikit menengok satu saja kondisi pendidikan dasar (SD) di Papua Barat. Kabar pendidikan dalam https://kabarpapua.co/ guru telah berada di sekolah. Bangunan sekolah belum memadai jumlah ruangan maupun perlengkapan yang semestinya tersedia. Hal ini terjadi di dua Sekolah Dasar di Kabupaten Tambraw Papua Barat.
Apakah kondisi serupa masih ada di pulau Jawa? Pulau Jawa hampir selalu identik dengan sentuhan “lebih” pada berbagai aspek dan bidang pembangunan. Mungkinkah dunia pendidikan di sana sudah tidak ada yang disebut terpencil?
Oh… ternyata Provinsi Jawa Timur mempunyai masalah yang sama dengan daerah lain dalam hal pendidikan di daerah terpencil. awa Timur dengan wilayah yang luas dan secara geografis maupun sosiokultural sangat heterogen. Pada beberapa wilayah peyelenggaraan pendidikan masih terdapat berbagai permasalahan, terutama pada daerah yang tergolong terpencil dan tertinggal. Kutipan berikut oleh http://www.jatimmengajar.org/.
Beberapa permasalahan penyelenggaraan pendidikan, utamanya di daerah terpencil dan tertinggal antara lain adalah permasalahan pendidik, seperti kekurangan jumlah (shortage), distribusi tidak seimbang (unbalanced distribution), kualifikasi di bawah standar (under qualification), kurang kompeten (low competencies), serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dengan bidang yang diampu (mismatched).
Program Jatim Mengajar merupakan program yang digagas oleh YDSF bekerja sama dengan Unesa sebagai bentuk kepedulian dalam pembangunan pendidikan di daerah terpencil dan tertinggal di Jawa Timur. Program ini selain diharapkan untuk mengisi kekurangan guru baik dalam hal mutu maupun jumlahnya (khususnya di SD/MI negeri/swasta), juga diharapkan sebagai wahana dakwah khususnya pada daerah-daerah yang rawan pendangkalan aqidah, sekaligus untuk memberdayakan masyarakat desa.
Nah, apakah artikel ini akan membahas banyak daerah terpencil di Indonesia yang muatan pendidikannya pasti ada guru di sana? Tidak. Ini sedikit bahkan teramat sedikit di antaranya yang dapat dimunculkan. Maka, wahai para guru di daerah terpencil, jadilah guru bernyali pejuang. Jadilah guru yang menyalakan suar harapan pada anak di arena pengabdianmu.
Penutup
Pendidikan yang tergambar jelas dalam konstitusi sebagai salah satu visi besar yang harus dicapai adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Itulah sebabnya, seluruh warga bangsa ini harus dapat mengecap alam pendidikan itu, baik mereka yang berada di perkotaan maupun pedesaan. Mereka yang berada di kota besar maupun kota kecil. Mereka yang berada di pulau besar maupun pulau kecil. Pulau terluar dan terdepan berbatasan dengan negara tetangga, dan dalam kondisi yang kontradiktif antar daerah pun, semua harus mendapatkan layanan pendidikan itu, terutama pendidikan dasar (SD dan SMP).
Guru
Guru adalah faktor yang menentukan bahwa warga bangsa ini telah melek aksara dan angka (literated). Tidak peduli apakah mereka bertugas di tempat “empuk” atau di tempat “terhempas”. Mereka memiliki semangat yang jika diperkenankan dapatlah disebutkan sebagai pahlawan. Mereka pahlawan pendidikan. Pahlawan yang jasanya hanya bisa diukur dengan satu kata, Terima kasih.
Maka, pada hari pahlawan tahun 2018 ini, sebagai guru di daerah terpencil di Nusa Tenggara Timur, saya (penulis) merasa perlu untuk menyatakan bahwa ada nyali dan suar nyala kepahlawanan pada Guru di daerah terpencil.
Selamat berefleksi di hari Pahlawan ini.