Sebenarnya, apa itu pelakor? Pelakor merupakan akronim dari ‘perebut lelaki orang’. Istilah ini diidentikkan dengan perempuan yang memicu keributan akibat merebut seorang laki-laki (suami) dari istri sahnya.
Naranto Makan Malay, dosen Undana yang juga ahli bahasa Indonesia, ketika dihubungi InfoNTT.com menjelaskan, berkembangnya kosakata dari media sosial sebenarnya bukan hal yang aneh.
“Saya pikir fenomena itu biasa. Curcol, curhat, baper juga sama jalurnya: dari kalangan tertentu, lantas meluas ke banyak kalangan,” ujar Naranto,Selasa (05/3/2018).
Meski demikian, ia mengingatkan bahwa kata pelakor punya konotasi negatif, karena mengesankan yang salah hanya perempuan.
“Saya merasa lebih pas dengan istilah zaman dulu: WIL (wanita idaman lain). Konotasinya lebih netral,” ujarnya menjelaskan.
Memang ketika membicarakan pelakor, kata ini tidak bersifat netral. Secara umum, istilah ini sangat berpihak kepada laki-laki karena meminggirkan peran perempuan dalam suatu hubungan. Artinya, jika menyebut kata pelakor, kita secara otomatis akan menyalahkan perempuan atas sebuah peristiwa perselingkuhan, yang sebenarnya terjadi karena peran kedua belah pihak.
Sementara jika menyebut WIL, terasa ada peran laki-laki yang mengidamkan perempuan lain di luar hubungan pernikahannya.
Ketika dihubungi, Senin 05 Maret 2018, beliau (ahli bahasa), mengatakan, “Pengambil atau pencuri lelaki orang mengesankan bahwa yang diambil atau dicuri adalah pasif. Yang aktif adalah sang pencuri atau pengambil. Padahal, pada kejadian itu keduanya sama aktif secara sembunyi-sembunyi.”
Ia menambahkan, “Keduanya tidak setia pada pasangannya masing-masing. Karena itu, baik pelakor, pebinor (perebut bini orang), dan letise (lelaki tidak setia) harus dipakai sesuai kenyataan yang ada.”
Bahasa Indonesia memang memiliki beragam kosakata yang medan maknanya hampir serupa dengan pelakor, seperti sundal, perek, atau wanita jalang. Semua menempatkan perempuan sebagai objek penderita yang paling disalahkan, sehingga tampak ada ketimpangan gender di sini.
Lanjutnya beliau mengatakan, “Munculnya kata pelakor yang memiliki medan makna mirip dengan kata-kata yang sudah muncul sebelumnya menandakan bahwa ini fenomena yang tidak asing dan bukan sesuatu yang baru. Kata pelakor menarik karena baru. Menurut saya, kata ini dua tahun lagi juga sudah tidak dipakai orang.”
Ia menegaskan, istilah-istilah musiman ini akan selalu muncul dan hanya waktu yang akan menentukan kelestarian mereka.
“Namun, umumnya waktu akan menyirnakan mereka. Misalnya saja kata jayus,bokap,bokin,kepo—yang berarti ‘tidak lucu,ayah,kekasih,ibu dan keingintahuan’. Orang akan mengingat itu sebagai istilah pada zaman mereka. Kemudian sekarang dikenang sambil tertawa-tawa,” ucap Naranto menambahkan.
Syarat Kata Masuk KBBI
Semakin maktifnya penggunaan kata pelakor, mungkinkah kata ini masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia?
Ada beberapa syarat sebuah kata bisa dimasukkan ke dalam KBBI.
Menurut Naranto, untuk mengusulkan entri baru, masyarakat setidaknya harus mempertimbangkan lima hal, yaitu: (1) unik konsepnya dan belum ada dalam bahasa Indonesia, (2) seturut kaidah bahasa Indonesia, (3) tidak berkonotasi negatif, (4) sedap didengar secara bunyi, dan (5) frekuensi pemakaiannya cukup tinggi.
Jika kata baru tersebut sudah kerap digunakan dan wilayah penggunaannya cukup tersebar, maka salah satu syaratnya sudah terpenuhi
Setelah sebuah kata diusulkan masuk dalam KBBI, menurut beliau, usulan yang masuk akan diteruskan ke meja redaktur, lantas ke meja validator yang kemudian menggelar lokakarya untuk menentukan apakah kosakata tersebut layak dimasukkan ke dalam KBBI atau tidak.
Kadang-kadang terjadi berbagai perdebatan karena para pekamus yang bekerja menyusun KBBI memiliki berbagai macam acuan. Sebab, Badan Bahasa menerapkan seleksi yang sangat ketat untuk menjaga mutu KBBI, utamanya dalam ketepatan definisi.
Naranto, juga merinci ada beberapa pertimbangan dalam pemilihan kata. Pertama, kata yang masuk diteliti sumbernya, siapa pengguna kata tersebut, dan prediksi penggunaan kata. Sementara bagi kata yang berupa nama, akan ditilik keluasan penggunaan kata tersebut sebagai verba.
Meski sudah melalui beberapa tahap untuk dimasukkan ke KBBI, sebuah kata bisa saja tertolak. Alasannya, konsep kata dianggap sudah ada dalam bahasa Indonesia atau sudah ada di bahasa daerah yang sudah masuk ke KBBI. Kata yang terlalu perinci dan memiliki bunyi tak sedap didengar juga akan ditolak.
Khusus kata pelakor, Ia mengatakan, Badan Bahasa akan mempertimbangkan medan kata itu yang bersifat negatif.
“Iya, itu pertimbangan berikutnya, tetapi KBBI punya perangkat berupa label ragam bahasa. Bisa jadi kata tersebut akan dilabeli kas yang menunjukkan ragam kasar,” tegas Naranto. (Sandi Lette)