Kupang-infontt.com,- Pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sepertinya memberikan ketidakpastian dari setiap penyelesaian persoalan yang sering terjadi. Mulai dari hasil yang penuh dengan tanda tanya penyelesaian, hak-hak rakyat juga menjadi korban dalam setiap putusan yang tidak memuaskan.
Terkait persoalan persoalan di atas maka Aliansi Solidaritas untuk Marosi yang terhimpun dari kelompok tani Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) beserta kelompok mahasiswa dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia berkumpul serta bersatu dalam suatu himpunan pejuang yang berusaha menyampaikan tuntutan keadilan bagi kedaulatan hak rakyat dalam demonstrasi di depan Mapolda NTT, Senin (24/9/2018) siang.
Deputi Walhi NTT Umbu Tamu Ridi Djawamara kepada media ini dalam sela-sela demonstrasi mengatakan, aksi demonstrasi aliansi ini membawa tuntutan tegas bagi Negara agar dapat memberikan sikap prikemanusiaan dalam menyelesaikan suatu permasalahan. Gerakan aksi ini juga merupakan tuntutan terhadap penyelesaian beberapa kasus di Propinsi NTT terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Kami dari Solidaritas untuk Marosi yang sudah bergerak melakukan aksi sejak tanggal 25 April 2018 yang lalu atas kematian petani Lamboya Almarhum Poroduka yang mati ditembak oleh anggota Polres Sumba Barat, yang mana sampai hari ini belum ada tindakan maksimal yang dilakukan oleh Polri dalam hal ini polda NTT untuk mengusut tuntas siapa anggota polisi pembunuh Almarhum Poroduka pada saat pengamanan pelanggaran atau kasus di Marosi,”ujarnya.
Ia menambahkan kasus di Marosi tersebut adalah Kasus perampasan tanah rakyat yang dilakukan PT Sutera Marosi Karisma pada tanggal 24 April 2018. Di mana adanya pengukuran secara paksa pada wilayah kelola masyarakat dan wilayah ritual masyarakat Lamboya.
Menurut Ridi dari pembunuhan tersebut dirinya mengganggap tindakan tersebut sebagai suatu pelanggaran berat yang dilakukan oleh Negara, dalam hal ini Polres Sumba Barat dan Polda NTT.
“Sejauh ini kami sudah melakukan aksi sebanyak lima kali untuk menuntut pertanggung jawaban Polda NTT agar bertanggung jawab mengusut tuntas kasus ini, tetapi mereka melakukan politisasi dan propaganda bahwa selama ini bukan anggota polisi yang melakukan penembakan, yang mana sampai saat ini hasil uji balistik belum disampaikan kepada publik, apakah benar itu adalah peluru atau tidak,”ujarnya.
Menurut Ridi, yang pasti dari hasil otopsi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Sumba Barat pada 25 April 2018 yang lalu, di mana Dokter RSUD tersebut mengatakan korban tewas akibat peluru yang menembus jantung, dan ini menjadi suatu peristiwa keji yang terjadi di Propinsi NTT dan Negara harus bertanggung jawab.
Ridi pun menjelaskan pada aksi yang ke lima kali ini masa demonstrasi menuntut Kapolda NTT Irjen Pol Raja Erizman agar dapat bertemu bersama massa dan menerima tuntutan yang harus di selesaikan dengan jelas.
“Pada aksi yang kelima kali ini kami menuntut Raja Erisman sebagai Kapolda NTT untuk mengusut tuntas siapa sebenarnya yang melakukan pembunuhan. Karena selama ini mereka hanya menyampaikan bahwa kasus ini sebagai pelanggaran kode etik, sementara ini kan pembunuhan terhadap rakyat, perampasan tanah milik rakyat dan ini kami anggap sebagai suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat. Oleh karena itu kami mengharapkan Kapolda NTT dapat bertemu dengan massa dan memberikan pertanggungjawaban terkait persoalan HAM di NTT saat ini,”tegas Ridi.
Tujuan aksi dari Aliansi Solidaritas Untuk Marosi ini, Ridi menegaskan bahwa aksi ini bertepatan juga dengan momentum Hari Tani Nasional yang ke 58 Tahun. Di mana memberikan suntikan energi bagi aliansi penuntut kebenaran tersebut untuk menjadikan terik matahari Timor sebagai penyemangat dalam membawa bongkahan ketidakadilan bagi kaum tani yang terkubur lama.
“Kami juga telah melakukan aksi di kantor Gubernur, kantor DPRD, dan saat ini kami melakukan di depan Mapolda NTT. Di DPRD kami meminta agar dewan terhormat dapat memanggil Kapolda NTT untuk melakukan rapat dengar pendapat dan mengusut tuntas kasus kematian Poroduka. Yang kedua terkait kasus pengakuan kepemilikan tanah dan hutan Kubabu di TTS, ketiga berkaitan dengan kepemilikan tanah masyarakat Enolanan Kecamatan Amabi Oefeto Timur di Kabupaten Kupang, ke empat kasus ekspansi PT. Djarum Group di Sumba Timur yang telah merusak hutan, memonopoli air dan perampasan tanah pada enam kecamatan di Sumba Timur,”ungkap Rodi.
Menurut Ridi, sebenarnya ada sembilan tuntutan, seperti pada kantor Gubernur para demonstran meminta untuk memanggil Kepala BPN agar jangan bermain mata untuk penerbitan sertifikat tanah, karena dari beberapa kasus di atas akibat dari sertifikat ganda di Marosi yang dikeluarkan BPN NTT.
Ia mengharapkan Gubernur NTT Viktor Laiskodat segera memanggil Kepala BPN NTT dan Kepala BPN Sumba Barat untuk bertanggung jawab atas mall administrasi dan pembohongan publik terhadap kepemilikan tanah di masyarakat Marosi Sumba Barat.
Terkait kasus-kasus di atas Ridi menilai persoalan agraria adalah bom waktu di mana sewaktu-waktu dapat menjadikan perampasan hak rakyat atas nama pembangunan. Oleh karena itu dirinya berharap agar negara dapat hadir dengan mengedepankan keadilan.
“Jadi kami aliansi dari beberapa kelompok yakni kelompok tani dari Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTS, Kelompok mahasiswa dari beberapa universitas, NGO, Wahana Lingkungan Hidup dan dari saya sebagai Deputi Wahli menilai bahwa persoalan agraria adalah bom waktu yang sewaktu-waktu akan meledak.Perampasan tanah rakyat akan terjadi dengan menatas namakan pembangunan, oleh karena itu kami berharap agar Negara benar-benar harus bertanggung jawab,” ujar Ridi.
Laporan: Rocky Tlonaen
Editor: Redaksi