Prolog
“Tao Babaf,” begitu kata seorang anak pada teman bermainnya. Saya memperhatikan sepintas setiap kali mereka bermain. Tao Babaf sendiri sebenarnya adalah satu istilah dan sekaligus satu jenis permainan anak-anak Amarasi Raya yang juga permainan khas anak-anak di berbagai tempat dengan nama yang khas sesuai bahasa lokal dimana permainan itu berlaku. Dalam bahasa Melayu Kupang, tao babaf diterjemahkan secara harfiah artinya buat, bekin paman, om. Padahal yang dimainkan di sana nyata ada yang menjadi: ayah, ibu, anak, om, tante, kakak, adik, dan lain-lain yang sifatnya fungsi-fungsi kekerabatan. Bila ke kota Kupang, maka permainan ini disebutkan oleh anak-anak sebagai main masak-masak. Sementara bila diperhatikan di antara mereka ada yang berperan sebagai: ayah, ibu, anak, kakak, adik, om, tante, dan lain-lain.
Sesungguhnya saya memperhatikan permainan ini dari aspek edukasi. Saya menyadari bahwa ketika masih anak-anak seumuran mereka yang hari-hari ini memainkan permainan ini, saya pun melakukan hal yang sama. Seiring bergulirnya waktu, saya mendapati makna edukasi di dalam permainan ini.
Memainkan tao babaf
Ketika anak-anak memainkan tao babaf apa saja yang kelihatan secara kasat mata? Ternyata yang kelihatan adalah pertama satu suasana dapur dimana ada tungku, periuk, barang pecah-belah lainnya yang dipergunakan oleh anak-anak untuk bermain masak-masak. Jadi, sebenarnya mereka sedang bermain masak-masak. Kedua ada percakapan layaknya para orang tua; ketiga ada pembagian tugas/fungsi di antara para pemain. Tugas/fungsi-fungsi itu antara lain: ayah, ibu, anak. Pada tugas/fungsi anak masih dibagi lagi ada yang menjadi kakak, dan ada pula yang menjadi adik. Tugas/fungsi yang dibagi-bagi itu ternyata dapat saja meluas untuk Om, Tante, Ba’i/Opa, Nenek, sepanjang jumlah pemain yang dapat memerankan tugas/fungsi itu.
Apa saja yang dilakukan ketika mereka memainkan tao babaf? Jawabannya adalah: mereka membagi tugas antarmereka. Ada yang bertugas memasak. Hal ini jelas dilakukan oleh ibu dengan bantuan anak perempuan. Jika ada anak lelaki, maka mereka akan diminta membantu kalau perannya menjadi kakak laki-laki. Namun, bila perannya menjadi ayah, maka mereka tidak memintakan bantuan, kecuali bisa sangat terdesak untuk itu. Begitu pula halnya, bila ada lelaki dan posisi peran yang dimainkan adalah om atau opa/ba’i, maka kepada mereka tidak dimintakan bantuan. Mereka yang memainkan peran sebagai ayah, om, ba’i/opa akan menjadi orang-orang layaknya “bos” dalam permainan itu. Mereka duduk, pangku kaki, seakan-akan merokok, mensrudut kopi, dan berbicara layaknya para orang tua yang sedang merencanakan sesuatu untuk masa yang akan datang, sementara kaum perempuannya di dapur mempersiapkan konsumsi.
Terlihat pula pembagian tugas yang mulai meluas. Ada yang ditugaskan ke pasar, menerima telpon, mengirim sms, dan lain-lain tugas yang diperluas dari dapur ke ruang keluarga dan ruang tamu, bahkan ke luar lingkungan rumah yaitu pasar,kios, dan toko.
Dapakah diiImplementasikan di sekolah?
Di sekolah, para guru telah paham sejumlah besar metode pembelajaran. Salah satu di antaranya adalah bermain peran (sosiodrama). Jika seorang guru dapat memenej materi pembelajaran dengan metode sosiodrama, sambil memperhatikan model anak-anak bermain peran sebagai suatu kebiasaan, maka kiranya akan memudahkan pada implementasinya.
Tengoklah pelajaran Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora (IPS, PKN, Bahasa Indonesia di SD). Pada materi-materi pembelajaran yang menuntut bermain peran, metode sosiodrama dapat dipergunakan sambil menimbang cara anak-anak bermain peran dalam tao babaf atau main masak-masak
Epilog
Sepanjang saya mengamati jenis-jenis permainan yang dilakukan anak-anak di pedesaan, ternyata ada nilai edukasi di dalamnya. Sayangnya seringkali atau tepatnya hampir selalu dilarang oleh para orang tua, karena bermain itu membuang-buang waktu dan tenaga. Waktu dan tenaga yang ada di luar jam reguler sekolah, bagi mayoritas orang tua, semua itu harus dipergunakan untuk membantu tugas-tugas rumahan dan luar rumahan para orang tua. Belajar hanyalah terjadi di sekolah. Pada malam hari antara jam 18.30 – 19.30, bila mungkin itulah wkatu untuk belajar di rumah, entah mengerjakan pekerjaan rumah yang dibawa dari sekolah atau membaca buku. Di luar itu, bukan belajar namanya.
Sebagai guru, saya mengamati dan seringkali mengarahkan anak-anak itu dalam penanaman konsep-konsep tertentu ketika masuk dalam proses belajar-mengajar. Dengan begitu, mereka belajar dalam permainan. Semoga tulisan ini ada manfaatnya. Thank you, makasi.On re’ naan, tua
Penulis: Heronimus Bani