Real Supervisi
-
Ada hati yang teriris, sangat sakit hingga lahirlah ungkapan, “Kami seperti tidak bekerja selama ini. Mengapa bukan kepala sekolah yang melakukannya pada kami? Mengapa pengawas Pembina yang melakukannya?” Dan terlebih lagi, ada tangisan dan air mata guru dewasa.
Pertanyaan di atas lahir setelah para guru mendapat kunjungan di kelas oleh satu tim yang dipimpin Kepala UPT Dinas P & K Kecamatan bersama pengawas dan 4 orang kepala sekolah. Mereka berkunjung ke kelas-kelas (I, II, III, IV, V, VI). Di dalam kelas, mereka mengkondisikan sedemikian rupa agar para siswa segera menjadi akrab. Kemudian terjadilah interaksi antara guru (tamu, GT) ke guru (kelas); dan GT dengan peserta didik (PD).
Suasana harmonis yang dibangun kemudian mengakrabkan GT dan PD. Sejurus kemudian GT dan PD berinteraksi dalam proses apa yang disebut tes membaca. Tes ini dilakukan untuk mengetahui level kemampuan siswa paling kurang pada tiga hal, (i) mengenal huruf/aksara, (ii) menggabungkan huruf dalam suku kata untuk dibaca (mengeja), dan (iii) membaca. Level ketiga ini dapat dikelompokkan lagi, (i) membaca bersuara belum lancar, (ii) membaca bersuara lancar belum dapat menceritakan kembali (belum paham), (iii) membaca bersuara lancar dan dapat menceritakan kembali inti materi yang dibaca (paham), (iv) membaca diam kemudian dapat menceritkan kembali dengan kata-kata sendiri (paham).
Proses ini telah berlangsung di sekolah tempat saya bertugas. Dua orang Pengawas Pembina dengan dukungan empat kepala sekolah, mereka telah melakukan tes membaca kepada seratusan peserta didik (kelas 1 – 6).
Latar belakang dari masalah ini adalah, ditemukan 39 peserta didik dari 105 peserta didik Kelas III, IV, V, dan VI, belum dapat membaca secara baik. Ada yang baru mengenal huruf, ada yang baru mengeja. Jika kelompok yang mengeja itu ada di kelas II atau III mungkin masih dapat dimaklumi. Tetapi, hal ini terjadi sampai kelas atas (IV, V, dan VI).
Hal ini saya informasikan kepada Kepala UPT Dinas P & K Kecamatan. Laporan lisan ini ditindaklanjuti dengan supervisi khusus. Supervisi khusus ini disasarkan pada salah satu kemampuan dasar yang wajib dimiliki peserta didik yaitu, membaca.
Guru-guru merasa “dipermalukan”. Mungkin ini yang ada dalam benak, sehingga ada pernyataan, “Kami sakit!”
Saya berasumsi bahwa dengan merasa “disakiti” secara positif pasti ada kesadaran untuk memperbaiki diri (introspeksi). Perbaiki pendekatan dalam proses pembelajaran. Bukan sekedar hadir di sekolah dengan rata-rata hadir dalam sebulan 20-25 hari kerja efektif. Jika aspek kuantitas yang diperhatikan karena intensitas kehadiran tinggi, semestinya ada perubahan pada sasaran proses pembelajaran.
Intensitas kehadiran yang tinggi jika tidak dibarengi dengan intesitas interaksi yang berkualitas dengan peserta didik, maka hasilnya seperti yang sudah diketahui yaitu, sejumlah peserta didik belum dapat membaca secara baik, bahkan sampai kelas enam.
Real supervise. Beginilah yang dapat saya hadirkan di sekolah. Mengubah minset bahwa supervisi itu harus pada guru dalam hal: administrasi proses pembelajaran (Prota, Prosem, Silabus, RPP, daftar-daftar: hadir, nilai, buku tamu, buku klaper, jadwal pelajaran, dan lain-lain) dan action di dalam kelas atau di luar kelas dengan sejumlah hal pendukungnya. “Supervisi” juga harus terjadi pada peserta didik. Tentu, supervisi yang demikian telah terpikirkan, tetapi siapakah yang sudah memulainya?
Kami mencobanya. UPT Dinas P & K Kecamatan bersama-sama dengan para Kepala SD, mau melakukannya untuk semua sekolah dasar, agar rantai tudingan ke bawah dapat diputus. Rantai tudingan ini terjadi, ketika lulusan sekolah dasar melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama, tetapi belum mempunyai salah satu ketrampilan dasar yaitu, membaca.