Brain-Friendly Classrom (B-FC), Kelas Ramah Otak

Pengantar

Pada mula aksara ini saya perlu menyampaikan kepada pembaca bahwa selama lebih dari 10 tahun bertugas sebagai salah satu guru di antara begitu banyaknya guru SD di empat kecamatan yang dulunya hanya satu kecamatan, saya melakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran di kelas pada setiap tahun pelajaran, atau ketika berada di sekolah tetangga, termasuk hasil percakapan-percakapan dengan rekan-rekan guru dari kecamatan lain se-Amarasi Raya.
Hasil pengamatan dan interview mengantarkan kepada suatu generalisasi bahwa proses pembelajaran terjadi dengan keaktifan lebih dominan pada guru. Artinya para guru lebih menguasai kelas dibanding para siswa. Dampak ikutannya adalah, para siswa manut pada keinginan guru, sementara kreativitas, ide dan kemauan para siswa untuk self develop menjadi “terhalang”. Tentu generalisasi ini harus lebih obyektif sampai kepada penelitian yang mendalam.

Bila ada yang berkesempatan mengunjungi sekolah-sekolah dasar (yang berada di Amarasi Raya), dominan semua kelas bertembok dengan cat berwarna cerah hingga gelap. Pada tembok digantungkan peta, papan-papan informasi berupa papan absensi, jadwal pelajaran, klapper, pembagian tugas harian siswa, dan lain-lain yang sejenis. Belum nampak di tembok-tembok kelas terpajang karya siswa dan karya guru sebagai mana apa yang diharapkan kelas sebagai Brain-Friendly Classroom (selanjutnya disingkatkan menjadi B-FC). Hal ini yang memberikan motivasi agar saya mencoba menuangkan pikiran dalam tulisan ini, yang sebetulnya terinspirasi dari fakta.

Pembaca, dan terutama para guru tentu mempunyai pengalaman tersendiri terhadap ruang-ruang belajar di sekolah-sekolah. Pasti ada sekolah yang memamerkan hasil belajar mereka di dalam ruang kelas, yang disebut dengan the product corner dan the reading corner. Sementara tembok/dinding ruang belajar biasanya dipakai untuk papan-papan informasi, dan menggantung peta-peta. Itu bukan suatu kesalahan. Tetapi apakah masih ada sampai tulisan ini dibuat? Pergilah ke ruang-ruang belajar sekolah dasar, dapatkah kamu akan menemukan the product corner dan the reading corner? Bisa saja masih ada, namun berapa prosen yang tersedia? Bukankah ini menjadi suatu masalah yang dapat diteliti dengan pendekatan ilmiah untuk suatu tulisan ilmiah?

BFC dan Mental Siswa SD di Pedesaan

Istilah B-FC dikenal sebagai suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang rasanya begitu asing pada telinga dan perasaan para guru di pedesaan yang rata-rata kurang mengikuti perkembangan dunia ilmu pengetahuan, khususnya di bidang pendidikan. B-FC menggunakan nama baptis yang keren, yang artinya secara harfiah Otak-Teman Kelas. B-FC dimaknai sebagai suatu ruang belajar, ruang kelas yang bersahabat untuk perkembangan otak anak-anak yang adalah para siswa yang memanfaatkan ruang belajar itu. Singkat kata, B-FC adalah ruang kelas ramah otak. Bila suatu ruang belajar “kosong”, hanya ada meja, kursi, lemari, papan tulis, papan-papan informasi lainnya, belum mendukung perkembangan otak anak. Ruang kelas itu menjadi kurang bersahabat, kurang ramah terhadap otak para siswa.
Pada masa implementasi berbagai kurikulum dan pendekatan yang menyertainya, sesungguhnya B-FC sudah trend. Saya pernah mendapat suatu kesempatan pada tahun 2007 mengikuti 1st Malaysian Indigenous Peoples’ Conference on Education (MIPCE) di Kota Belud-Sabah, Malaysia. Ketika itu kami mengunjungi beberapa sekolah di kota Kinabalu. Saya terkesan dengan ruang-ruang belajar yang nampaknya sangat ramai dengan karya para siswa. Jika itu terjadi di ruang-ruang kelas di NTT, mungkin orang beranggapan amat ribet. Ada produk tertulis sebagai ejawantah dari buah pikir siswa, ada produk kreatif sebagai ejawantah dari ketrampilan para siswa. Sangat variatif. Saya bertanya, bagaimana ini dapat terjadi? Beberapa guru menjawab, bahwa mereka menerapkan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Para siswa aktif, guru aktif, kemudian menunjukkan keaktifan itu dengan produk.

CBSA sudah pernah berlangsung di Indonesia. Guru-guru di Indonesia rasanya sudah “membuang” CBSA dan menjadikan proses pembelajaran dimana guru lebih aktif (banyak omong). Akibatnya, banyak guru (apalagi SD) mengeluh karena merasa lelah setelah melakukan proses pembelajaran dalam sehari untuk maksimal 3 mata pelajaran bagi guru kelas, dan untuk guru mata pelajaran minimal 2 kelas dalam sehari.

Praksisnya sebagai satu tindakan nyata saya mencobakannya dengan melakukan apa yang disebut sebagai pohon pengetahuan. Ide ini sudah pernah dipraktikkan beberapa tahun lalu oleh seorang rekan guru di Kota Kupang. Saya tidak mengikuti perkembangannya seperti apa di kota Kupang. Akan tetapi, saya menyadari bahwa hal ini dapat dilakukan oleh semua siswa. Jika pohon pengetahuan itu dipajang dengan sejumlah pajangan yang dibuat oleh guru sendiri, maka yang kreativitas ada pada sang guru. Tetapi, bila sang guru memotivasi siswa untuk berkreasi sendiri, maka akan nampak karya-karya siswa. Hal lain yang sudah saya lakukan sebagai upaya pembuktian atas teori B-FC adalah meminta para siswa menggambar sebagai hasil berimajinasi terhadap suatu kondisi tertentu. Saya memberikan suatu tema, kemudian menjelaskan tema itu dalam rangkaian rekayasa imajinatif yang kira-kira mendekati situasi konkrit. Para siswa kemudian menuangkannya di atas kertas gambar, ditempelkan pada dinding ruang belajar. Mereka bersemangat dan mau memamerkan karya mereka, lalu berbangga atas kreasi itu.

Saya mencoba buktikan dengan kesibukan para siswa yang saya ampu. Mereka begitu sibuk untuk menemukan informasi baru atau yang sudah lama hilang dari ingatan mereka. Mereka mencari informasi pengetahuan itu dari buku-buku siswa baik di kelasnya sendiri maupun pada kelas di bawahnya. Suatu kesibukan yang menggerakkan organ-organ tubuh mereka bekerja secara simultan. Antara mata, tangan, telinga, kaki, otak; ada daya imajinasi, diskusi, saling bertanya, argumentasi yang menjengkelkan dan membanggakan sesama anggota siswa, dan ada pula yang saling memuji dan memberi harapan. Walau begitu, saya sadar pula, bahwa mereka siswa SD pedesaan yang perlu diberi motivasi untuk mempunyai ketrampilan bertanya (pada orang dewasa/guru), ketrampilan menulis dari hari ke hari mesti lebih baik, ketrampilan berbicara. Kendala terberat seorang guru SD di pedalaman adalah beban psikologis yang dibawa anak dari rumah. Sekolah adalah tempat dimana mereka akan dididik dengan “hukuman/sanksi” sehingga tercipta trauma pada diri mereka sebelum tiba di sekolah.

Suatu perkembangan proses belajar yang membuat para siswa kelihatan aktif, walaupun keaktifan siswa di pedesaan tentu saja berbeda dengan keaktifan siswa di perkotaan. Di pedesaan rasa sungkan, enggan, malu sangat nampak. Mereka tidak dapat secara segera mengungkapkan perasaan, pikiran dan ide baik diminta maupun tidak diminta. Mereka akan sampai kepada situasi itu jika mereka dipaksa. Kreativitas siswa harus terus diasah. Dukungan yang nyata mesti datang dari berbagai pihak. Pertama, kondisi internal sekolah. Ketersediaan fasilitas belajar yang memadai, ruang belajar yang tidak feodalistis, sumber-sumber literatur yang cukup, dan termasuk di dalamnya guru yang kompeten. Kedua, kondisi lingkungan internal sekolah. Pekarangan sekolah yang tertata apik, pepohonan dan variasi tanaman yang mendukung proses pembelajaran; dan ketiga, yaitu lingkungan eksternal yang lebih luas di sekitar sekolah. Semua itu akan memberi dukungan optimal kepada para siswa Sekolah Dasar dalam kerangka penggalian dan pengembangan otak.

Penutup

B-FC, Kelas Ramah Otak, dapat dijadikan sebagai suatu pendekatan pembelajaran. Jika ada kebijakan sekolah ramah anak sekaligus sebagai suatu pendekatan pendidikan, maka B-FC/KRO dapat menjadi satu pendekatan yang memberi peluang yang “memerdekakan” siswa dalam pengembangan diri mereka. Semoga. On re’ naan, tua.

by : Heronimus Bani

Pos terkait