Anak Petani-Nelayan Bersekolah Seharian?

Siswa bermain
Heronimus Bani

Pengantar
Entah tiba-tiba, entah telah terpikirkan secara matang, Mendikbud, Muhadjir Effendy melontarkan ide full day school yang saya terjemahkan menjadi bersekolah seharian. Sontak lontaran ide ini mendapat tanggapan beragam mulai dari Wapres Jusuf Kalla, pengamat pendidikan, praktisi pendidikan dasar, birokrat, politisi dan lain-lain. Tidak dipungkiri pasti banyak orang tua siswa pun ikut membicarakan paling tidak di warung kopi dan pak laru. Nah, apakah bersekolah seharian di pedesaan Timor cocok? Saya mencoba memberi opini sebagai seorang guru di pedalaman Timor.

Kondisi Persentuhan Guru-Siswa SD di Pedesaan dan Daerah Pantai
Sudah bukan rahasia lagi, sekolah-sekolah di pedesaan jauh dari pengawasan. Bahkan antara guru dan pengawas sekolah bisa ada “main mata”. Sebagian guru memilih menetap di kota dengan alasan akses informasi dan komunikasi yang lebih mudah dibanding tinggal di desa. Walau begitu tidak berarti jumlah mereka lebih banyak. Masih banyak guru yang memilih menetap di desa. Pertanyaannya, apakah jam belajar sudah sesuai ketentuan yang berlaku? Sebagaimana diketahui, jam belajar untuk semua jenjang sekolah adalah 07.15 – 12.40. Mayoritas jam belajar di sekolah-sekolah dasar pedesaan di Timor tidak selalu sesuai apa yang ditentukan. Mengapa? Berbagai alasan dapat ditemui. Jarak tempuh siswa dari rumah ke sekolah. Jika sekolah dekat di dalam perkampungan sekalipun, tidak selalu tepat waktu dimulainya proses belajar-mengajar, karena keterlambatan guru. Mengapa guru terlambat?
Banyak guru di desa mendapat tugas-tugas tambahan kemasyarakatan dan keagamaan. Hal-hal ini sering menjadi alasan para guru tidak tepat waktu ketika harus ke sekolah. Maka, jam belajar biasanya baru dimulai pada pukul 08.00, dan berakhir sesuai jam reguler yaitu 12.40. Hal ini berarti telah terjadi kerugian di pihak siswa (implisit orang tua siswa sebagai salah satu pemangku kepentingan pendidikan). Seringkali kelas-kelas ditinggalkan kosong, maka para siswa berkeliaran sendirian. Kekosongan itu terjadi karena guru kelas harus bertugas ke kota Kabupaten atau kota kecamatan. Pada sekolah-sekolah tertentu ada kekurangan tenaga guru sehingga terjadi tugas mengajar rangkap kelas. Nah, kondisi seperti ini sangat mengganggu proses belajar-mengajar, terutama pada persiapan dan pelaksanaannya, sekalipun para guru telah dibekali dengan mata kuliah yang khusus untuk itu.
Pada sekolah-sekolah yang disebut SD Kecil, jumlah siswa antara 60 – 100 orang, guru yang tersedia maksimal 3 orang. Ini jelas akan terjadi mengajar rangkap, termasuk kepala sekolah harus mengajar.

Dapatkah Siswa Di Pedesaan dan daerah pantai Bersekolah seharian?
Menariknya ide full day school yang disampaikan Mendikbud Munadjir Effendy. Alasan sebagaimana yang dikutip Kompas.com “Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja,” kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu (7/8/2016). Pernyataan Mendikbud seperti ini seakan melihat persoalan pendidikan hanya pada masyarakat pekerja di perkotaan. Artinya, orang kota benar pergi pagi, pulang sore/malam, sehingga asumsinya para siswa ketika pulang hanya berteman dengan pembantu rumah tangga. Rupanya pak Menteri lupa bahwa sebagian orang yang bekerja di kota, perginya malam, pulangnya pagi. Artinya, ada kesempatan mengurus anak pada pagi hari. Nah, ada pula para pelaut yang perginya berbulan,dan lain-lain.

Bagaimana dengan orang di pedesaan? Masyarakat pedesaan yang agraris bekerja di ladang, sawah, tegalan, tambak dan lain-lain. Mereka pun berangkat pagi, bahkan pulangnya bisa sama dengan orang kota yaitu pada sore hingga malam hari. Tetapi, para siswa/anak ketika pulang ke sekolah selalu ada orang tua, ada tetangga, dan ada teman sehingga kehidupan sosial kemasyarakatan akan terus terjalin. Tidak semua orang tua di pedesaan meninggalkan rumah. Lebih banyak kaum lelaki yang meninggalkan rumah daripada kaum perempuan. Maka, para ibu rumah tangga menjadi “tulang punggung” perhatian pada anak ketika mereka akan ke dan sekembalinya dari sekolah.

Pada masyarakat nelayan, tidak ada nelayan melaut pagi hari. Kesempatan bersama anak di pagi hari bagi para nelayan selalu ada. Ketika malam, apalagi jika angin keras, pasti para nelayan tidak melaut. Kebersamaan dengan anak semakin intens, walau pada aspek lain mereka merasa rugi. Pada masyarakat nelayan pun kaum lelaki yang meninggalkan rumah, para ibu rumah tangga berada di rumah. Intensitas pertemuan anak dan orang tua (dhi.ibu) lebih tinggi. Maka, yang mengurus dan memberi perhatian pada anak ke sekolah pun adalah ibu. Demikian pula ketika anak pulang dari sekolah.
Melihat kondisi intensitas pertemuan orang tua dan anak pada masyarakat di daerah pertanian dan daerah pantai, maka rasanya pemberlakuan full day school di kedua wilayah itu tidak perlu. Jika disamakan saja alasan intensitas pertemuan dengan orang tua supaya terjadi pada malam hari, rasanya hal itu harus dikaji lagi. Alasan itu kelihatannya sangat sederhana. Sekalipun Mendikbud mendapatkan dukungan dari Wapres Jusuf Kalla, tokh ide itu butuh kajian mendalam. Indonesia bukan pulau Jawa.

Pendidikan di Indonesia tidak harus bergaya pesantren, atau sekolah berasrama seperti sebagian sekolah-sekolah yang dikelola oleh yayasan-yayasan para misionaris Katolik dan Kristen. Mendikbud menunjuk sebagian sekolah swasta yang memberlakukan full day school. Benarkah mereka lantas 80% memperhatikan aspek karakter dibanding pengetahuan? Rasanya antara sekolah berasrama dengan non asrama memberlakukan proses belajar mengajar yang fokusnya pada pengetahuan. Hal itu dilakukan karena sistem ujian akhir tidak mengujui karakter, tetapi pengetahuan.

Penutup
Mengakhiri tulisan pendek ini, saya ingin mengatakan, sebaiknya pak Mendikbud fokus membenahi dulu kurikulum yang masih belum tuntas antara KTSP dan K-13. Sementara ini sebagian sekolah melaksanakan KTSP dan sebagiannya K-13. Dalam rangka mewujudkan satu kurikulum maka telah diadakan pelatihan-pelatihan para guru. Bila K-13 harus dilaksanakan maka para guru harus sampai 100% terlatih, dan kurikulum pun jangan segera berubah. Banyak masalah di dunia pendidikan dasar menunggu sentuhan pak Menteri, antara lain sarana-prasarana pendidikan, fasilitas pendukung proses pembelajaran, ketrampilan mengajar para guru yang mesti terus diasah, dan berbagai permasalahan pendidikan yang kompleksitasnya lebih dipahami pak Menteri daripada seorang guru SD di desa dan pegunungan.

Pak Mendikbud juga perlu ketahui bahwa banyak juga sekolah yang memberlakukan dua shift sekolah (pagi dan siang). Nah, jika full day school bagaimana sekolah-sekolah seperti itu? Oh, sungguh kompleks masalah pendidikan di Indonesia. Belum mungkin terselesaikan dengan hanya mengganti menteri dan mengganti kebijakan. Mari menunggu akhir dari polemik ini. Terima kasih.

Pos terkait